Oleh Gatot Susanto
PERANG ---dalam skala intelektual berupa fighting with ideas, diskusi, atau debat--memang harus terjadi. Yang kalah wajar marah, mencaci, tapi jangan pernah merasa benar-benar kalah. Yang menang boleh bersuka cita tapi jangan pula benar-benar merasa jawara.
Dalam peperangan tak ada kemenangan sejati sebab kemenangan sejati hanya bila para prajuritnya bisa menaklukkan nafsu dalam diri sendiri. Nafsu dalam wujud asli adalah kepentingan, keinginan sempit diri sendiri, egoisme, dan kroni-kroninya.
Dan Reformasi terjadi karena perang ini. Reformasi tak pernah berhenti. Dia terbentuk atas tarik menarik yang berkelanjutan. Yang jadi masalah, bagaimana para pihak, kubu-kubuan politik, mendefenisikan reformasi, mendesain untuk kepentingan sempit diri sendiri ataukah demi masyarakat, bangsa dan negara.
Bila kalah menang adalah lumrah, maka mengapa kita takut punya musuh. Bukankah musuh yang tangguh sejatinya sahabat yang baik? Alam menciptakan predator bukan hanya untuk memperlihatkan kesadisan, tapi juga untuk memberi keseimbangan. Ini agar harmoni bisa terjaga dengan baik. Begitu pula oposisi dalam konteks bernegara. Oposisi jadi terkesan sadis ketika yang dihamparkan hanya perilku asal bantai, tanpa nurani, sehingga namanya jadi dieufuismekan jadi penyeimbang. Padahal sejatinya sama aja.
Sesuatu harus diseimbangkan bila terlalu miring, terlalu serakah, terlalu sombong, terlalu dominan. Dan sang penyeimbang mestinya bergerak bukan karena hanya lantaran jatahnya kurang. Kita tahu fighting with ideas di senayan itu seperti apa? Kita juga boleh berfighting sendiri di FB, tapi ojok lali tetap seduluran kawan!