Oleh: Gatot Susanto
Pemerintah melindungi warganya dari praktik tak terpuji bank nakal. Bank Indonesia misalnya melarang bank obral kartu kredit. Surat Edaran BI membataai nasabah dengan pendapat Rp 3 - 10 juta dilarang memiliki kartu kredit lebih dari dua buah.
Bila ketahuan memiliki lebih dari 2 kartu kredit, nasabah yang bersangkutan diminta memilih mana yang harus ditutup. Bila tidak, pihak yang menerbitkan akan menutup salah satu kartu kredit tersebut. Pemilik kartu kredit tentu kelas menengah ke atas, bagaimama dengan warga kelas bawah, misalnya usaha mikro, yang banyak terjerat rente bank titil? Tetap saja negara harus melindunginya.
Salah satunya dengan melakukan edukasi, kampanye meninggalkan bank titil, menyiapkan lembaga pembiayaan untuk usaha mikro, hingga penegakan hukum bagi bank titil. Sebab aksi penetrasi bank titil dilakukan dengan sangat masif ke tengah masyarakat bawah, yang memang membutuhkan bantuan modal, meski hanya Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Angka yang sangat kecil, tapi bagi pelaku usaha kecil yang sekecil itu sangat berarti bagi kelangsung usaha dan hidup mereka.
Masifnya aksi bank titil ini sangat dirasakan Ummu Kamilah. Pengusaha kuliner, pemilik warung soto dan siomay Rombong Ijo di Pujasera RZ Rahmah Bluru Permai Sidoarjo ini mengaku hampir setiap hari didatangi pelaku riba bank titil. Disebut bank titil karena pelakunya secara telaten, door to door, ke tempat usaha mikro dan kecil, di kampung kampung, pasar desa, toko pracangan, PKL, dan sejenisnya untuk ditawari pinjaman yang bunganya sangat mencekik. "Saya dirayu setiap hari, didatangi ke warung saya, diberi pinjaman berapa pun, tapi saya tahu mereka rente, lintah darat, sayabtidak mau kerja susah susah untuk mereka. Pengusa kecil tambah susah, boa mereka semakin kaya," katanya.
Sudah banyak pengusah mikro dan kecil terjerat rente. Seorang pedagang busana di Pasar Sumobito Jombang mengaku telah jadi korban. Dia tidak tahu bila pinjaman sekali sebesarRp 1 juta pada bank titil setengah tahun lalu itu telah membuatnya jatuh ke perangkap mengerikan bank titil. Mereka terus menawari pinjaman yang semakin lama semakin besar jumlahnya. Dia pun harus menutup utang dengan berutang pada pihak lain. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan sang suami, sehingga dia pun menikmati sistem gali lubang tutup lubang tersebut. "Karena selalu ada uang saya pun jadi suka belanja. Apalagi teman saya selalu membujuk saya untuk pinjam bila ingin membeli barang bagus. Kami sempat jor joran, tapi dia akhirnya pergi menghilang sebab utangnya sangat banyak," katanya.
Dia sendiri akhirnya harus menghadapi petaka kedua ketika sang suami menemukan tagihan berupa surat dari bank sebesar Rp 15 juta.Sang suami marah besar, bahkan hendak menceraikannya. Sang suami lalu melacak utang utang akibat manajemen gali lubang tutup lubang itu akhirnya diketahui sebesar Rp 80 juta. "Itu belum utang di koperasi dan di twman teman," katanya.
Kini nasi sudah menjadi bubur. Dia akhirnya pasrah pada sang suami. Toko di pasar Sumobito harus dijual untuk menutupi utang. Begitu juga mobil yang dibeli dari upaya mengumpulkan uang sejak sebelum terjerat bank titil. Yang jadi masalah dia harus menghadapi petugas bank titil yang setiap hari datang ke rumah. "Saya bayar utang saya,tapi kalo pas tak punya uang, merwka ngotot nagih, ya saya lawan, tetangga di desa siapsiapmelawan bank titil," katanya.
UMMU kamilah san pedagang busana di pasar Sumobito tadi merupakan salah satu pelaku UMKM. Saat ini ada sekitar 4,2 Juta UMKM di Jatim yang jelas menjadi sumber yang potensial untuk bisa menggerakkan ekonomi di Jatim. Sebab, selama ini sudah teruji di tengah berbagai krisis yang terjadi UMKM telah terbukti bisa eksis.Untuk mensukseskan program pemberdayaan masyarakat berbasis UMKM, saat ini di Jatim sudah ada 30 cabang bank UMKM. bank ini harus gencar membantu perang melawan bank titil.