Hayati Syafri bercadar.
HAJIMAKBUL.COM - Isu pemecatan Hayati Syafri sebagai PNS terus menggelinding. Secara resmi yang terjadi adalah proses administratif belaka. Seperti dikatakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama bahwa Hayati Syafri diberhentikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan karena cadar, tapi lantaran mangkir dalam menjalankan tugas sebagai PNS.
"Yang bersangkutan diberhentikan bukan karena perkara cadar, tapi karena mangkir," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin lewat akun Twitter resminya @lukmansaifuddin seperti dilihat Hajimakbul.com, Minggu (24/2/2019). Lukman meluruskan informasi liar yang beredar bahwa Hayati diberhentikan karena mempertahkan cadar.
Kasubbag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Nurul Badruttamam, dalam keterangannya juga menyampaikan hal senada. Keputusan pemberhentian Hayati Syafri sebagai ASN karena rekam jejak kehadiran.
"Hayati Syafri diberhentikan sebagai ASN karena melanggar disiplin pegawai. Keputusan ini didasarkan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger printnya di kepegawaian IAIN Bukittinggi," ujar Nurul Badruttamam.
Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja.
Menurut Nurul, tidak benar bahwa Hayati diberhentikan karena keputusannya mempertahankan cadar. Pertimbangan pemberhentian menurutnya semata-mata karena alasan disiplin.
Nurul mengatakan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Pasal 3 ayat 11 dan 17, PNS yang tidak masuk kerja secara akumulatif minimal 46 hari kerja tanpa keterangan yang sah dalam satu tahun, harus diberikan hukuman disiplin berat berupa diberhentikan secara hormat/tidak hormat sebagai PNS.
Selain masalah ketidakhadiran di kampus sebanyak 67 hari kerja selama 2017, lanjut Nurul, Hayati juga terbukti sering meninggalkan ruang kerja dan tidak melaksanakan tugas lainnya pada 2018. Tugas dimaksud misalnya, menjadi penasihat akademik dan memberikan bimbingan skripsi kepada mahasiswa.
"Itu merupakan pelanggaran disiplin berat yang harus dikenai hukuman disiplin berat, yaitu: diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Jika ada keberatan, Hayati Syafri masih mempunyai hak untuk banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) ataupun ke PTUN," tegasnya.
Namun masalah cadar justru mengemuka. Ini aneh. Bahkan ada aksi mahasiswa menyusul peristiwa ini sampai-sampai Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat, menuding pimpinan IAIN Bukittinggi memanfaatkan mahasiswa untuk menolak pemakaian cadar di lingkungan kampus itu. Penolak dicurigai diarahkan untuk mendukung kebijakan kampus yang menonaktifkan seorang dosen gara-gara bercadar.
"Ada upaya mobilisasi terhadap mahasiswa oleh pihak kampus (IAIN Bukittinggi)," kata Ketua MUI Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar, pada Rabu malam, 21 Maret 2018.
Gusrizal menyesalkan tindakan memanfaatkan mahasiswa itu. Begitu juga, pandangan yang mengaitkan penggunaan cadar dengan radikalisme Islam, jelas tidak tepat.
"Seharusnya, sebagai intelektual muslim, mereka ikut meluruskan tuduhan seperti itu, bukan malah ikut-ikutan," ujarnya.
Sebagai seorang dosen, Gusrizal mengaku sudah berulang kali menyampaikan pandangannya seputar polemik cadar. Dia sampaikan langsung kepada unsur pimpinan maupun melalui diskusi online via aplikasi percakapan Whatsapp. Namun, semua yang ia sampaikan tidak diterima oleh pihak pimpinan.
Tak didengar pandangan saya, dan pihak pimpinan tetap bersikukuh dengan aturan larangan cadar. Itulah, kemudian membuat saya memilih mengundurkan diri dari jabatan dosen. Sebelum mundur, saya juga sudah berkonsultasi dengan beberapa tokoh, dan mereka setuju," ujar Buya Gusrizal.
Walau saat ini sudah tidak lagi menjadi bagian IAIN Bukittinggi, Buya Gusrizal sangat berharap otoritas kampus dapat mencabut aturan larangan bercadar. Sebab, selain memang tidak tercantum dalam aturan dan kode etik, larangan bercadar juga dapat memicu keresahan.
Dikonfirmasi perihal tudingan itu, Kepala Biro IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menegaskan, sama sekali tidak mengerakkan massa, atau memobilisasi mahasiswa untuk mendukung kebijakan larangan bercadar. Soal aksi demonstrasi kemarin, itu murni inisiatif mahasiswa, tanpa campur tangan pimpinan kampus.
"Tidak ada kita memobilisasi mahasiswa. Demo kemarin itu, murni keinginan para mahasiswa sendiri. Silahkan datang ke kampus. Kampus kami baik-baik dan aman-aman saja, kok," kata Syahrul.
Tudingan Gusrizal itu menyusul aksi demonstrasi mahasiswa IAIN Bukittinggi pada Selasa lalu, 20 Maret 2018. Para mahasiswa menyatakan menentang setiap upaya dari luar untuk mengintervensi kebijakan kampusnya, termasuk kebijakan soal larangan mengenakan cadar.
Gusrizal sebelumnya menjadi dosen di IAIN Bukittinggi, mengajar mata kuliah ushul fiqh di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tetapi, dia kemudian mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas kebijakan kampusnya yang melarang penggunaan cadar, ditambah penonaktifan dosen Hayati Syafri.
Gusrizal yang baru empat semester menjadi dosen di kampus itu, memilih mundur sebagai dosen, lantaran berbeda prinsip dengan unsur pimpinan IAIN Bukittinggi. Dia juga mengeluhkan pendapatnya sebagai ketua MUI Sumatera Barat tak didengar oleh pihak kampus. (det/vvn)
HAJIMAKBUL.COM - Isu pemecatan Hayati Syafri sebagai PNS terus menggelinding. Secara resmi yang terjadi adalah proses administratif belaka. Seperti dikatakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama bahwa Hayati Syafri diberhentikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan karena cadar, tapi lantaran mangkir dalam menjalankan tugas sebagai PNS.
"Yang bersangkutan diberhentikan bukan karena perkara cadar, tapi karena mangkir," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin lewat akun Twitter resminya @lukmansaifuddin seperti dilihat Hajimakbul.com, Minggu (24/2/2019). Lukman meluruskan informasi liar yang beredar bahwa Hayati diberhentikan karena mempertahkan cadar.
Kasubbag Tata Usaha dan Humas Itjen Kementerian Agama, Nurul Badruttamam, dalam keterangannya juga menyampaikan hal senada. Keputusan pemberhentian Hayati Syafri sebagai ASN karena rekam jejak kehadiran.
"Hayati Syafri diberhentikan sebagai ASN karena melanggar disiplin pegawai. Keputusan ini didasarkan pada rekam jejak kehadirannya secara elektronik melalui data finger printnya di kepegawaian IAIN Bukittinggi," ujar Nurul Badruttamam.
Berdasarkan hasil audit Itjen, ditemukan bukti valid bahwa selama tahun 2017 Hayati Syafri terbukti secara elektronik tidak masuk kerja selama 67 hari kerja.
Menurut Nurul, tidak benar bahwa Hayati diberhentikan karena keputusannya mempertahankan cadar. Pertimbangan pemberhentian menurutnya semata-mata karena alasan disiplin.
Nurul mengatakan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Pasal 3 ayat 11 dan 17, PNS yang tidak masuk kerja secara akumulatif minimal 46 hari kerja tanpa keterangan yang sah dalam satu tahun, harus diberikan hukuman disiplin berat berupa diberhentikan secara hormat/tidak hormat sebagai PNS.
Selain masalah ketidakhadiran di kampus sebanyak 67 hari kerja selama 2017, lanjut Nurul, Hayati juga terbukti sering meninggalkan ruang kerja dan tidak melaksanakan tugas lainnya pada 2018. Tugas dimaksud misalnya, menjadi penasihat akademik dan memberikan bimbingan skripsi kepada mahasiswa.
"Itu merupakan pelanggaran disiplin berat yang harus dikenai hukuman disiplin berat, yaitu: diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Jika ada keberatan, Hayati Syafri masih mempunyai hak untuk banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) ataupun ke PTUN," tegasnya.
Namun masalah cadar justru mengemuka. Ini aneh. Bahkan ada aksi mahasiswa menyusul peristiwa ini sampai-sampai Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat, menuding pimpinan IAIN Bukittinggi memanfaatkan mahasiswa untuk menolak pemakaian cadar di lingkungan kampus itu. Penolak dicurigai diarahkan untuk mendukung kebijakan kampus yang menonaktifkan seorang dosen gara-gara bercadar.
"Ada upaya mobilisasi terhadap mahasiswa oleh pihak kampus (IAIN Bukittinggi)," kata Ketua MUI Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar, pada Rabu malam, 21 Maret 2018.
Gusrizal menyesalkan tindakan memanfaatkan mahasiswa itu. Begitu juga, pandangan yang mengaitkan penggunaan cadar dengan radikalisme Islam, jelas tidak tepat.
"Seharusnya, sebagai intelektual muslim, mereka ikut meluruskan tuduhan seperti itu, bukan malah ikut-ikutan," ujarnya.
Sebagai seorang dosen, Gusrizal mengaku sudah berulang kali menyampaikan pandangannya seputar polemik cadar. Dia sampaikan langsung kepada unsur pimpinan maupun melalui diskusi online via aplikasi percakapan Whatsapp. Namun, semua yang ia sampaikan tidak diterima oleh pihak pimpinan.
Tak didengar pandangan saya, dan pihak pimpinan tetap bersikukuh dengan aturan larangan cadar. Itulah, kemudian membuat saya memilih mengundurkan diri dari jabatan dosen. Sebelum mundur, saya juga sudah berkonsultasi dengan beberapa tokoh, dan mereka setuju," ujar Buya Gusrizal.
Walau saat ini sudah tidak lagi menjadi bagian IAIN Bukittinggi, Buya Gusrizal sangat berharap otoritas kampus dapat mencabut aturan larangan bercadar. Sebab, selain memang tidak tercantum dalam aturan dan kode etik, larangan bercadar juga dapat memicu keresahan.
Dikonfirmasi perihal tudingan itu, Kepala Biro IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menegaskan, sama sekali tidak mengerakkan massa, atau memobilisasi mahasiswa untuk mendukung kebijakan larangan bercadar. Soal aksi demonstrasi kemarin, itu murni inisiatif mahasiswa, tanpa campur tangan pimpinan kampus.
"Tidak ada kita memobilisasi mahasiswa. Demo kemarin itu, murni keinginan para mahasiswa sendiri. Silahkan datang ke kampus. Kampus kami baik-baik dan aman-aman saja, kok," kata Syahrul.
Tudingan Gusrizal itu menyusul aksi demonstrasi mahasiswa IAIN Bukittinggi pada Selasa lalu, 20 Maret 2018. Para mahasiswa menyatakan menentang setiap upaya dari luar untuk mengintervensi kebijakan kampusnya, termasuk kebijakan soal larangan mengenakan cadar.
Gusrizal sebelumnya menjadi dosen di IAIN Bukittinggi, mengajar mata kuliah ushul fiqh di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tetapi, dia kemudian mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas kebijakan kampusnya yang melarang penggunaan cadar, ditambah penonaktifan dosen Hayati Syafri.
Gusrizal yang baru empat semester menjadi dosen di kampus itu, memilih mundur sebagai dosen, lantaran berbeda prinsip dengan unsur pimpinan IAIN Bukittinggi. Dia juga mengeluhkan pendapatnya sebagai ketua MUI Sumatera Barat tak didengar oleh pihak kampus. (det/vvn)