HAJIMAKBUL.COM - Kisah ini tertulis dalam kitab Ayqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam Li Ibn Athaillah al-Iskandari, halaman 257. Kisah tentang seorang kiai kampung bernama al-Hasan bin Samun. Ia tinggal dalam rumah gubuk yang menghadap langsung ke arah musalla kecil yang juga sangat sederhana. Aktivis kesehariannya dihabiskan di antara dua tempat itu. Ia memimpin shalat berjamaah di mushalla dan selebihnya menjamu tamu yang datang silih berganti di rumahnya.
Dari mulut ke mulut, tamu-tamu berdatangan dari jauh meminta doa keberkahan al-Hasan bin Samun. Mereka memiliki latar belakang profesi yang beraneka ragam, seperti pedagang, pejabat, dan lainnya.
Ketenaran al-Hasan bin Sam'un ini rupanya melahirkan rasa penasaran seorang terpelajar yang ahli ilmu nahwu. Ia ingin tahu keahlian al-Hasan bin Sam'un yang banyak dibicarakan orang dengan berpura-pura bertamu mencari keberkahan.
Ahli nahwu itu ikut antrean dengan tamu-tamu lain hingga tibalah giliran dia bertemu al-Hasan bin Sam'un. Di depan pintu rumah al-Hasan, sebab masih ada tamu di dalam, seorang ahli nahwu itu memperhatikan doa yang dilafalkan kiai kampung tersebut.
Ia kaget sebab menurutnya kiai yang banyak dibicarakan orang karena keramat doanya itu banyak salah bacaannya. Semestinya dibaca rafa' malah dibaca fathah, dhamir bentuk muannats malah digunakan kata ganti muzdakkar, dan lainnya. Ulama Nahwu itu beranggapan al-Hasan tak kenal ilmu nahwu-sharaf sehingga banyak salahnya.
Dia pun mengurungkan niatnya bertemu dengan kiai Kampung itu sebab jelas-jelas bukan orang pintar. Ia bermaksud balik arah pulang, tetapi tiba-tiba dipanggil oleh al-Hasan.
"Tak boleh orang sudah berniat makmum tiba-tiba membatalkan shalatnya," Kata al-Hasan dengan maksud menyindir orang yang sudah berniat silaturahim dan sampai di depan pintu namun tiba-tiba mengurungkan maksudnya.
Mendengar perkataan al-Hasan, ahli nahwu itu membalas: "Betul katamu! Tapi karena imam saya bacaannya tidak fasih maka lebih baik aku membatalkan bermakmum dengan dia."
Kiai kampung itu tersenyum, lalu berkata: "Ooh, kalau kesanmu terhadapku begitu, maka aku ingin bertanya kepadamu: Kenapa Tuhan memilih Nabi Musa sebagai pemimpin ummat Yahudi? Kenapa bukan nabi Harun padahal beliau lebih fasih daripada nabi Musa?!"
Pertanyaan itu tak sanggup dijawab oleh ahli nahwu. Sebaliknya ia justru berjalan membungkuk mendekati al-Hasan. "Maafkan aku, tuanku! Aku salah menilai orang sebab yang kuperhatikan hanya kulitnya," katanya lirih.
Penulis: M Ishom El-Saha/Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten/kemenag.go.id
Keterangan foto: M Ishom El-Saha