(foto: AFP/GETTY IMAGES)
HAJIMAKBUL.COM - Berhaji momen sangat amat istimewa bagi muslim. Maklum, berhaji bisa jadi hanya sekali selama hidup mengingat ibadah ini sangat berat, baik secara fisik, rohani, sosial-budaya, maupun finansial. Secara sosial-budaya, haji bahkan bisa melebihi ibadahnya sendiri, sehingga sering kita jumpai orang bisa sangat marah atau tersinggung bila gelar hajinya tidak dihargai, tidak disebutkan dalam sebuah kesempatan, misalnya. Bahkan, yang tragis, ada orang sampai sangat malu, gila, hingga bunuh diri saat gagal naik haji lantaran aturan-regulasi maupun sebab lain, seperti ditipu biro yang memberangkatkannya.
Karena momen sangat penting ini, sering kali jamaah haji meluapkan kegembiraannya ketika tiba di tanah suci. Bila ekspresi kegembiraan itu ditunjukkan dengan menggiatkan ibadah, tentu sangat bagus, sebab tujuan esensialnya tercapai, tapi sebaliknya banyak pula yang bernafsu untuk melampiaskan kesenangan duniawinya. Misalnya antusias belanja dan fenomena mutakhir adalah mendokumentasikan proses ibadah hajinya. Ini kurang pas bila pendokumentasiannya dilakukan sendiri yang tentu akan mengganggu prosesi ibadahnya.
Selama di tanah suci, banyak jamaah melakukan swafoto alias selfie, baik dalam bentuk foto atau video. Pemandangan itu terlihat di hampir semua tempat, bahkan di area thawaf di sekitar Kakbah, tempat ibadah Sa'i dari Bukit Shafa ke Marwah, hingga di Padang Arafan dan Jamarat. Apalagi di tempat-tempat seperti Jabal Rahmah, Jabal Nur, Jabal Uhud, atau Jabal Tsur.
Yang menarik, di zaman now, bukan hanya untuk dokumentasi saja, tapi seringkali langsung di-share melalui media sosial, mulai facebook, instagram, maupun whatsapp. Tujuannya agar teman sosialnya tahu bahwa dirinya sudah melakukan ibadah haji dan umrah. Inilah garis berbahaya bagi para penghobi selfie ketika menjalani ibadah yang suci seperti berhaji dan umrah. Tujuan ibadah bukan karena Allah SWT tapi untuk berpamer ria. Bukan lillahita'ala, tapi untuk keuntungan dipuji manusia. Sungguh sangat disayangkan, khususnya bila pahala berhajinya sampai hilang dicabut oleh Allah SWT.
Saat melakukan umrah beberapa tahun lalu, saya juga sibuk melakukan selfie. Termasuk di tengah lautan jamaah di sekitar Kakbah, pada area Thawah, Hijir Ismail, dan Hajar Aswad. Momen yang begitu dramatis sulit untuk tidak saya abadikan dalam format video untuk dikenang. Namun, saat pulang ke Tanah Air, dan melihat kembali rekaman video, saya jadi malu sendiri, sebab saya ternyata sibuk bikin video ketimbang beribadah. Inilah yang mendorong saya ingin beribadah umrah lagi dengan lebih baik, lebih khusyuk, sebelum melaksanakan ibadah haji yang sesuai porsi tahun 2022.
Terus terang, meski sedikit, saya mengunggah foto ketika umrah di facebook. Tujuannya, ada terbersit rasa bangga ketika berada di Tanah Suci, apalagi bila dikomentari bernada pujian oleh teman-teman. Selangkah lagi pasti saya tergelincir pada sifat riya, yang memang menunggu dipicu oleh sebuah momen untuk muncul di permukaan.
Foto selfie semacam menjadi adzab bagi yang melakukannya apabila foto tersebut diperlihatkan demi tujuan riya’ atau pamer. Seperti ditulis dalamislam.com, Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 142 berfirman:
“Sesungguhnya ciri-ciri orang munafik itu adalah mereka yang menipu Allah, dan Allah akan senantiasa membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk melakukan sholat, mereka akan berdiri dengan malas. Mereka akan bermaksud riya’ dihadapan manusia lain. Dan tidaklah mereka menyebut asma Allah SWT kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’ 4: 142).
Hukumnya Haram
Saqifa Robi'ah Al Adawy, mahasiswi Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dalam tulisannya di nu.or.id, menyatakan selfie merupakan tentang bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri dan merupakan suatu cara untuk mencari jati diri kita. Faktor lainnya karena didukung oleh derasnya kemajuan teknologi yang semakin canggih, yang menyajikan perangkat dan modifikasi foto dengan kualitas yang lebih baik.
Media sosial merupakan faktor yang sangat memengaruhi hal tersebut, dengan mengambil foto dan membaginya dengan ribuan orang secara online kapan saja dan di mana saja, dan berdampak pada penilaian orang lain terhadap kita. Hal itu lah yang membuat pelaku sosial media ketagihan dengan selfie. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyalahgunakan hal tersebut untuk sekedar mencari perhatian, membuat sensasi, mendongkrak popularitas, riya’ hingga pamer. Dan apabila kita tidak berhati-hati ketika ber-selfie, hal tersebut dapat mencelakai kita, bahkan tak jarang jika selfie berujung pada kematian.
Lalu, bagaimana menurut kacamata fiqh perihal fenomena tersebut? Berfoto merupakan perkara mu’amalah yang hukum asalnya boleh. Menurut kaidah fiqh
الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَةُ الْإِبَاحَة حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمها
(Asal hukum mu’amalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya).
Namun, di kutip dari KaryaTulis.com, menurut hasil Bahtsul Masail para santri se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri pada 15 April 2015, selfie menjadi haram jika menimbulkan fitnah dan mengundang orang lain untuk bekomentar negatif.
الفقه الإسلامي وأدلته الجزء الرابع, ص: ٢٢٤الكتاب:
أما التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها غير الوجه والكفين، كالسواعد والسيقان والشعور، وهذا ينطبق أيضا على صور التلفاز . وما يعرض فيه من رقص وتمثيل وغناء مغنيات، كل ذلك حرام في رأيي
(Adapun hukum gambar dari hasil kamera itu boleh selama tidak mendatangkan fitnah seperti gambar wanita yang tampak sesuatu dari jasadnya selain wajah dan kedua telapak tangan).
الكتاب: توشيح على ابن قاسم, ص:١٩٧
الفتنة هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع أو مقدماته والشهوة هو أن يلتذ بالنظر
(Yang dinamakan fitnah adalah ketertarikan hati untuk melakukan zina atau pendahuluannya dan mengundang orang lain untuk berkomentar yang negatif).
Jadi, hukum selfie adalah boleh apabila yakin atau ada dugaan kuat bahwa hal tersebut tidak akan menimbulkan fitnah. Fitnah di sini yang dikehendaki berarti suatu hal yang dapat mendorong kemaksiatan atau ketertarikan hati untuk mendekati zina bahkan melakukannya, dan mengundang orang lain berkomentar senonoh yang tidak sesuai syariat Islam. Adapun haram tidaknya selfie tergantung dari niat dan tujuan si mukallaf (pelaku), apabila digunakan untuk menipu, menghina, dan melecehkan orang lain yang dapat menimbulkan penyakit hati, maka hukumnya haram. (gatot susanto)
HAJIMAKBUL.COM - Berhaji momen sangat amat istimewa bagi muslim. Maklum, berhaji bisa jadi hanya sekali selama hidup mengingat ibadah ini sangat berat, baik secara fisik, rohani, sosial-budaya, maupun finansial. Secara sosial-budaya, haji bahkan bisa melebihi ibadahnya sendiri, sehingga sering kita jumpai orang bisa sangat marah atau tersinggung bila gelar hajinya tidak dihargai, tidak disebutkan dalam sebuah kesempatan, misalnya. Bahkan, yang tragis, ada orang sampai sangat malu, gila, hingga bunuh diri saat gagal naik haji lantaran aturan-regulasi maupun sebab lain, seperti ditipu biro yang memberangkatkannya.
Karena momen sangat penting ini, sering kali jamaah haji meluapkan kegembiraannya ketika tiba di tanah suci. Bila ekspresi kegembiraan itu ditunjukkan dengan menggiatkan ibadah, tentu sangat bagus, sebab tujuan esensialnya tercapai, tapi sebaliknya banyak pula yang bernafsu untuk melampiaskan kesenangan duniawinya. Misalnya antusias belanja dan fenomena mutakhir adalah mendokumentasikan proses ibadah hajinya. Ini kurang pas bila pendokumentasiannya dilakukan sendiri yang tentu akan mengganggu prosesi ibadahnya.
Selama di tanah suci, banyak jamaah melakukan swafoto alias selfie, baik dalam bentuk foto atau video. Pemandangan itu terlihat di hampir semua tempat, bahkan di area thawaf di sekitar Kakbah, tempat ibadah Sa'i dari Bukit Shafa ke Marwah, hingga di Padang Arafan dan Jamarat. Apalagi di tempat-tempat seperti Jabal Rahmah, Jabal Nur, Jabal Uhud, atau Jabal Tsur.
Yang menarik, di zaman now, bukan hanya untuk dokumentasi saja, tapi seringkali langsung di-share melalui media sosial, mulai facebook, instagram, maupun whatsapp. Tujuannya agar teman sosialnya tahu bahwa dirinya sudah melakukan ibadah haji dan umrah. Inilah garis berbahaya bagi para penghobi selfie ketika menjalani ibadah yang suci seperti berhaji dan umrah. Tujuan ibadah bukan karena Allah SWT tapi untuk berpamer ria. Bukan lillahita'ala, tapi untuk keuntungan dipuji manusia. Sungguh sangat disayangkan, khususnya bila pahala berhajinya sampai hilang dicabut oleh Allah SWT.
Saat melakukan umrah beberapa tahun lalu, saya juga sibuk melakukan selfie. Termasuk di tengah lautan jamaah di sekitar Kakbah, pada area Thawah, Hijir Ismail, dan Hajar Aswad. Momen yang begitu dramatis sulit untuk tidak saya abadikan dalam format video untuk dikenang. Namun, saat pulang ke Tanah Air, dan melihat kembali rekaman video, saya jadi malu sendiri, sebab saya ternyata sibuk bikin video ketimbang beribadah. Inilah yang mendorong saya ingin beribadah umrah lagi dengan lebih baik, lebih khusyuk, sebelum melaksanakan ibadah haji yang sesuai porsi tahun 2022.
Terus terang, meski sedikit, saya mengunggah foto ketika umrah di facebook. Tujuannya, ada terbersit rasa bangga ketika berada di Tanah Suci, apalagi bila dikomentari bernada pujian oleh teman-teman. Selangkah lagi pasti saya tergelincir pada sifat riya, yang memang menunggu dipicu oleh sebuah momen untuk muncul di permukaan.
Foto selfie semacam menjadi adzab bagi yang melakukannya apabila foto tersebut diperlihatkan demi tujuan riya’ atau pamer. Seperti ditulis dalamislam.com, Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 142 berfirman:
“Sesungguhnya ciri-ciri orang munafik itu adalah mereka yang menipu Allah, dan Allah akan senantiasa membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk melakukan sholat, mereka akan berdiri dengan malas. Mereka akan bermaksud riya’ dihadapan manusia lain. Dan tidaklah mereka menyebut asma Allah SWT kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’ 4: 142).
Hukumnya Haram
Saqifa Robi'ah Al Adawy, mahasiswi Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dalam tulisannya di nu.or.id, menyatakan selfie merupakan tentang bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri dan merupakan suatu cara untuk mencari jati diri kita. Faktor lainnya karena didukung oleh derasnya kemajuan teknologi yang semakin canggih, yang menyajikan perangkat dan modifikasi foto dengan kualitas yang lebih baik.
Media sosial merupakan faktor yang sangat memengaruhi hal tersebut, dengan mengambil foto dan membaginya dengan ribuan orang secara online kapan saja dan di mana saja, dan berdampak pada penilaian orang lain terhadap kita. Hal itu lah yang membuat pelaku sosial media ketagihan dengan selfie. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyalahgunakan hal tersebut untuk sekedar mencari perhatian, membuat sensasi, mendongkrak popularitas, riya’ hingga pamer. Dan apabila kita tidak berhati-hati ketika ber-selfie, hal tersebut dapat mencelakai kita, bahkan tak jarang jika selfie berujung pada kematian.
Lalu, bagaimana menurut kacamata fiqh perihal fenomena tersebut? Berfoto merupakan perkara mu’amalah yang hukum asalnya boleh. Menurut kaidah fiqh
الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَةُ الْإِبَاحَة حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمها
(Asal hukum mu’amalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya).
Namun, di kutip dari KaryaTulis.com, menurut hasil Bahtsul Masail para santri se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri pada 15 April 2015, selfie menjadi haram jika menimbulkan fitnah dan mengundang orang lain untuk bekomentar negatif.
الفقه الإسلامي وأدلته الجزء الرابع, ص: ٢٢٤الكتاب:
أما التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها غير الوجه والكفين، كالسواعد والسيقان والشعور، وهذا ينطبق أيضا على صور التلفاز . وما يعرض فيه من رقص وتمثيل وغناء مغنيات، كل ذلك حرام في رأيي
(Adapun hukum gambar dari hasil kamera itu boleh selama tidak mendatangkan fitnah seperti gambar wanita yang tampak sesuatu dari jasadnya selain wajah dan kedua telapak tangan).
الكتاب: توشيح على ابن قاسم, ص:١٩٧
الفتنة هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع أو مقدماته والشهوة هو أن يلتذ بالنظر
(Yang dinamakan fitnah adalah ketertarikan hati untuk melakukan zina atau pendahuluannya dan mengundang orang lain untuk berkomentar yang negatif).
Jadi, hukum selfie adalah boleh apabila yakin atau ada dugaan kuat bahwa hal tersebut tidak akan menimbulkan fitnah. Fitnah di sini yang dikehendaki berarti suatu hal yang dapat mendorong kemaksiatan atau ketertarikan hati untuk mendekati zina bahkan melakukannya, dan mengundang orang lain berkomentar senonoh yang tidak sesuai syariat Islam. Adapun haram tidaknya selfie tergantung dari niat dan tujuan si mukallaf (pelaku), apabila digunakan untuk menipu, menghina, dan melecehkan orang lain yang dapat menimbulkan penyakit hati, maka hukumnya haram. (gatot susanto)