HAJIMAKBUL.COM - Beberapa waktu lalu saya mengantar teman takziyah di rumah temanku yang lain. Dua teman ini juga merupakan bos dalam tanda petik bagiku. Dua bos ini saya yang mengenalkan ketika mereka melakukan hubungan bisnis. Sampai sekarang bisnis keduanya masih berlangsung.
Temanku ini mengajak saya takziyah ke teman satunya lagi karena saat istri temanku ini wafat, dia tengah berada di Kalimantan, untuk urusan bisnis tambang dan alat-alat berat. Saat pulang ke Surabaya, dia mangajak takziyah atau silaturahmi sebab sudah seminggu masa berkabung teman saya tersebut.
Bagi saya takziyah ini menarik secara nurani sebab kedua temanku ini memiliki nasib yang sama. Keduanya ditinggal sang istri yang sangat dicintainya. Istri kedua beliau ini sama-sama sakit. Stadium akut. Dan keduanya berstatus duda sekarang.
Saat bertamu, obrolan yang terjadi ngalor ngidul, mulai bisnis, pilpres, hingga masalah-masalah esensi hidup. Terutama ketika keduanya dengan sabar merawat istrinya yang sakit sangat lama. Bertahun-tahun.
Teman yang baru saja ditinggal istrinya menghadap Sang Khaliq, bercerita, saat ibadah haji, dia harus konsentrasi pada dua hal. Ibadahnya sendiri, yang secara umum sudah berat, dan ibadah sang istri yang sedang sakit. Dia tidak bisa menyewa orang untuk mengawal istrinya, sehingga harus turun sendiri, menjadi tangan dan kaki bagi proses ritual haji yang dilakukan istrinya.
Kadang mendorong kursi roda di mana istrinya duduk, untuk melakukan ibadah seperti Thawaf, Sai, dan lainnya. Kadang dia harus menggendong istrinya.
Dan Alhamdulillah, dia kuat. Dia ikhlas menjadi kaki dan tangan untuk istrinya selama menjalankan ritual wajib haji.
Tentu berat. Tapi semua masih ringan bila dibandingkan perjuangan Siti Hajjar kala bersama putranya Ismail harus hidup sendiri di padang pasir ditinggal sang suami, Ibrahim.
Mengingat kisah ini, si teman menjadi lebih semangat. Dia ingin kuat seperti Siti Hajjar. Setabah Ibunda Ismail. Dia resapi esensi haji. Dia meneguk kenikmatan dalam kesulitan proses ritual haji bersama sang istri. Bak Siti Hajjar bersama Ismail.
Dan ketika semua ritual haji bisa dilaksanakan dengan baik, sungguh lega. Sangat nikmat. Dia pun bersyukur. Bersujud kepada Allah SWT. Sebab hanya dengan pertolonganNya semua bisa terjadi.
Kisah yang hampir sama diceritakan teman satunya ketika berhaji bersama sang istri yang juga sakit parah. Bila istri teman tadi sakit jantung akut, tapi bisa bertahan cukup lama hingga meninggal di usia 60 tahun, istri teman satunya ini kena penyakit diabetes yang juga akut dan sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu dalam usia 43 tahun.
"Selain berhaji bersama, saya sempat ingin umrah bersama lagi. Saat itu saya menghadiri acara biro umrah. Ada undian berhadiah, istri saya mengisi data pada formulirnya. Dan rezeki itu datang, saya dapat undian. Yang nulis istri saya, tapi dalam formulir atas nama saya. Saya ajak umrah bersama tapi beliau tidak mau merepoti saya lagi. Padahal tidak merepotkan. Saya desak beliau tapi tetap tidak mau. Akhirnya saya berangkat sendiri. Beliau bilang, itu hadiah dari Allah karena ikhlas merawat istri yang sakit," kata teman tersebut.
Berhaji merupakan ibadah yang secara fisik dan spiritual berat. Karena itu kewajiban berhaji tidak dipukul rata untuk semua muslim. Namun khusus bagi yang mampu secara fisik termasuk finansial dan spiritual. Ruhani. Kejiwaannya.
Saat ini banyak orang berhaji bermewah-mewahan. Ada yang berhaji tinggal di hotel paling mewah. Paling dekat dengan Masjidil Haram. Hotelnya bisa melihat langsung ke arah Kakbah. Bisa mendengar suara imam salat di Masjidil Haram.
Lalu dia pun menjadikan semua itu sebagai alasan untuk tidak salat lima waktu di masjid paling suci itu. Dia mengaku sudah salat jamaah di hotel mengikuti imam salat di Masjidil Haram. Bisakah salat jamaah model ini? Wallahua'lam.
Bagaimana dengan ibadah lain? Kalau bisa ya dibuat hal yang sama. Namun dia tidak berkutik sebab untuk Thawaf, Sai, lempar jumrah di Jamarat, apalagi Wukuf di Padang Arafah, harus dilakukan langsung di tempatnya. Tidak bisa digantikan meski bisa dibuat tenda yang disulap mewah.
Pertanyaannya, mengapa kita tidak merasakan getaran ibadah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Ibunda Siti Hajjar, yang penuh dengan kesulitan? Bila Allah SWT mau, bisa saja Allah membuat para manusia kekasih Tuhan itu hidup enak, tidak terlunta-lunta, tapi kan tidak demikian adanya. Dan para Beliau pun ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah untuk mereka. Kesulitan yang para Beliau hadapi berubah menjadi keindahan bersama Illahi Rabbi.
Pengabdian kepada Ibu
Saya jadi ingat kisah Uwais Al Qarni yang menggendong Ibunya naik haji. Tentu istri berbeda dengan Ibu. Namun persamaannya ada pada ikhlas. Hanya karena Allah. Bukan karena mertua atau anak.
Uwais tentu tidak bisa disamakan dengan dua teman tadi sebab Beliau seorang wali Allah yang namanya bahkan sudah terkenal di langit, namun tidak dikenal di bumi.
Yang sangat menarik dari Uwais Al Qarni, ternyata Beliau hidup di zaman setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat. Namun yang aneh Nabi SAW pernah bercerita tentang Uwais Al Qarni ini kepada sahabatnya Syayidina Umar dan Syayidina Ali. Padahal Rasulullah belum pernah bertemu dengan Uwais Al Qarni. Saat itu Rasulullah SAW berpesan kepada kedua sahabatnya, “Jika kamu bisa meminta kepadanya untuk memohonkan ampun (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) untukmu, maka lakukanlah!”.
Lantas, apa istimewanya seorang Uwais Al Qarni hingga Rasulullah sendiri meminta kedua sahabatnya untuk dimintakan ampunan kepada Allah melalui perantara Uwais Al Qarni?
Apa yang menyebabkan do’a Uwais Al Qarni begitu dimakbulkan oleh Allah SWT? Ya, karena keikhlasannya tadi. Ketakwaannya kepada Allah tadi.
Uwais Al Qarni adalah seorang pemuda dari Yaman yang tinggal berdua dengan ibunya yang sudah tua renta, lumpuh dan buta. Ayahnya sudah lama meninggal. Dia adalah pemuda yang bukan hanya taat beribadah namun juga taat kepada ibunya.
Apa yang dipinta ibunya, dia pasti akan segera melaksanakannya. Termasuk saat ibunya meminta naik haji.
Uwais Al Qarni hanyalah pemuda yatim yang miskin, jadi saat ibunya meminta naik haji, pikirannya menjadi kalut karena untuk naik haji membutuhkan perbekalan dan kendaraan. Tentu saja butuh uang banyak. Sedangkan unta saja mereka tidak punya.
Namun Uwais Al Qarni tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka ia pun mencari cara untuk mengabulkan permintaan ibunya.
Lalu muncullah ide yang aneh. Uwais Al Qarni membuatkan sebuah kandang di puncak bukit untuk seekor anak lembu miliknya.
Untuk memberi makan dan mengembalikan lembu ke kandang, dan harus menggendong lembu itu naik-turun bukit.
Hal itu dilakukannya setiap hari selama delapan bulan. Saat musim haji tiba, lembu Uwais Al Qarni telah berbobot 100 kg, dan tubuh Uwais Al Qarni sendiri menjadi lebih berotot dan lebih kuat akibat latihannya menggendong lembu naik-turun bukit setiap harinya selama delapan bulan.
(gatot susanto/bersambung)