Ilustrasi serdadu penjaga jantung. (Pixabay.com)
HAJIMAKBUL.COM - Aktor Butet Kartaredjasa menjadi orang yang kesekian kalinya terkena serangan jantung secara mendadak. Bahkan ketika Butet sedang mementaskan lakon Kanjeng Sepuh di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Jumat, 22 Maret 2019 lalu.
Akibatnya Butet pun sempat mundur dari panggung. Setelah itu dia mendapatkan pertolongan medis. Namun ghirah berkeseniannya dan sebagai tanggung jawab profesionalnya kepada penonton, dia pun berusaha kembali ke panggung untuk mengakhiri pementasan drama itu.
Saya pun menjadi ingat gaya hidup seniman sebab saya pernah bersama mereka ketika menjadi reporter desk seni hiburan di Harian Sore Surabaya Post. Gaya hidup yang kurang sehat. Namun ini bukan saya menuduh Butet menerapkan gaya hidup tidak sehat.
Secara umum, banyak seniman menganut pola hidup kurang sehat. Tentu tidak semua, tapi sebagian besar suka melakukan kebiasaan buruk terkait kesehatan fisik mereka. Misalnya suka begadang, kurang tidur, merokok, makan tidak teratur, dan sejenisnya. Namun itu bukan hanya dilakukan seniman saja. Saya juga termasuk terseret gaya hidup semacam itu. Tuntutan pekerjaan, kejar target pendapatan, takut dimarahi bos, tekanan akibat kondisi ekonomi keluarga, merupakan hal lumrah yang harus disikapi dengan bijak. Bila tidak, kita tergelincir masuk jurang hidup tidak sehat tersebut. Contohnya sudah sangat banyak sehingga bisa kita jadikan pelajaran.
Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi tidak sehat, membuat angka penyakit tidak menular (degeneratif) semakin tinggi dibandingkan penyakit menular (infeksi). Ini tren yang mencemaskan manusia sebab penyakit menjadi seakan otomatis bekerja seiring dengan hal negatif dilakukan manusia. Kalau boleh sedikit bercanda, penyakit asli seperti bakteri, kuman, virus, bisa leha-leha tuh untuk beranak pinak dalam jumlah miliaran, lalu menyerbu manusia pada suatu saat. Tugas mereka lebih ringan menggerogoti tubuh manusia sebab tubuh yang semula perkasa itu rapuh dan layu sebelum berkembang. Ini pikiran guyonan saja. Tapi bisa juga kita renungkan bersama.
Salah satu penyakit degeneratif yang harus diwaspadai adalah serangan jantung. Sebab jantung sangat vital. Yang menarik dicermati penyakit ini sebagai penyebab kematian nomor 1 di dunia, apalagi sifatnya mendadak.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2007, penyakit jantung menjadi salah satu penyebab utama kematian. Prevalensi secara nasional mencapai 7,2%. Angka ini tentu saja sudah berubah di tahun 2019 ini.
Kematian akibat penyakit jantung, hipertensi dan stroke mencapai 31,9% sedangkan angka kematian karena penyakit kardiovaskular di rumah sakit yaitu sekitar 6-12%.
Lihat pergerakan angkanya. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara dari 7,6 persen pada tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013. Selain itu prevalensi penyakit jantung koroner dan gagal jantung terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden.
Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M(K) memprediksikan, angka-angka tersebut sangat mungkin akan terus meningkat setiap tahunnya, karena tingginya faktor resiko yang mempengaruhi, antara lain perubahan gaya hidup, pola makan, kurangnya olahraga, merokok, stres, hipertensi, diabetes, dislipidemia, dan faktor lingkungan (polusi) yang membahayakan kesehatan, serta rendahnya kondisi sosioekonomi masyarakat.
“Peningkatan penyakit tidak menular (PTM) akan berdampak negatif pada beban ekonomi dan produktivitas bangsa. Hal ini dikarenakan pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar,” kata Menkes.
Salah satunya seperti dialami Suparno. Saat dia berusia 55 tahun divonis dokter terkena penyakit jantung koroner, akibat pola makan yang tidak sehat semasa mudanya.
“Ketika masih remaja pola makan yang saya jalani ngawur dan tidak teratur,” kata Kirman.
Pada saat memasuki masa pensiun, suatu ketika ia merasakan dadanya terasa sakit dan nyeri. Seketika itu juga ia pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisinya tersebut.
Awalnya ia tak mengetahui penyakit yang ia alami sampai ia harus menjalani opname. Hingga akhirnya ia menanyakan kepada dokter yang menanganinya tentang penyakit yang dialaminya. Dokter pun menyarankannya untuk segera menjalani operasi, akibat penyakit jantung koroner. Dia kaget. Syok berat.
“Saya terkejut, dan dokter bilang biaya operasi sekitar Rp 20 jutaan. Bagi saya biaya segitu mahal, bahkan tidak mampu,” kata pria yang sekarang 75 tahun ini.
Konsumsi Ikan-Olahraga
Akhirnya dia harus menolak untuk dioperasi dan kembali pulang ke rumah. Suatu ketika ia bertemu dengan temannya dan ia diberi buku bacaan yang berjudul “Bagaimana mengendalikan Koroner dan Kolestrol”. Buku itu menganjurkan dua cara untuk mengatasi jantung koroner dan kolestrol, yaitu dengan makan sereal dan ikan laut jenis salem, serta berolahraga jalan kaki.
Ia pun mencoba seperti apa yang disarankan dalam buku bacaan tersebut. Karena tidak suka mengkonsumsi sereal, Kirman lebih memilih mengkonsumsi ikan salem dan berolahraga jalan kaki.
Dengan mematuhi apa yang dianjurkan dalam buku tersebut, belum setahun sejak divonis mengalami penyakit jantung koroner, dia memeriksakan kembali kondisi jantungnya ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan tersebut menyatakan, kolesterolnya turun dari 260 menjadi 160, serta pembuluh darah koronernya bersih. Alhamdulillah.
Dokter pun tidak percaya hasil pemeriksaan kesehatan Sukirman, kemudian dokter menyuruhnya untuk berlari di traidmail. Hasil tes tersebut menyatakan, kondisi jantungnya stabil, dalam keadaan statis maupun dinamis. Meskipun sudah dinyatakan terbebas dari penyakit jantung koroner, ia tetap menerapkan kebiasaan mengkonsumsi ikan dan berolahraga jalam kaki rutin setiap hari.
Suparman juga menceritakan hal sama. Pria 60 tahun ini sebelumnya diprediksi dokter akan mengalami penyakit jantung koroner, sesuai dengan hasil pemeriksaan jantung yang ia jalani. Ketika itu dokter menyerankan kepadanya untuk rajin berolahraga, supaya terhindar dari penyakit jantung koroner tersebut.
“Sejak itu setiap hari saya bersepeda, jadi tidak ada waktu khusus meluangkan untuk bersepedah. Karena kemanapun saya pergi, saya lebih memilih naik sepedah dari pada motor, sehingga badan lebih segar,” kata pria yang akrab disapa Mujie ini.
Beberapa bulan kemudian ia pun memeriksakan kembali kondisi jantungnya ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan tersebut menyatakan, bahwa resiko ia dapat mengalami penyakit jantung koroner sudah tidak melekat lagi pada dirinya. Kendati demikian, ia tidak meninggalkan kebiasaannya bersepedah.
“Teman-teman sebaya. Saya beritahu, kalau ingin sehat bersepeda. Akhirnya kami pun membentuk komunitas bersepeda,” katanya.
(Gatot Susanto)