Ilustrasi: Pixabay.com
HAJIMAKBUL.COM - Alhamdulillah. Pemilu baru saja digelar dengan lancar dan damai. Meski belum ada hasil resmi tapi masyarakat sudah disuguhi siapa pemenangnya. Tentu kita harus dewasa menilai suguhan semacam itu.
Sama persis saat kita disuguhi hidangan makanan seharusnya tidak menelan mentah-mentah sebab bisa berakibat kurang baik bagi kesehatan tubuh kita bila ternyata makanan itu tidak sehat.
Dan bila kita faham masalahnya pasti tidak ada yang kecewa, apalagi marah-marah sampai harus membanting TV seperti dilakukan saudara kita di Sumatera Barat, saat melihat tayangan quick count yang keliru input data, sebab menu itu tersaji begitu saja di hadapan kita, mau kita tonton, atau kita abaikan, terserah kita.
Karena itu, yang benar adalah kita menontonnya secara benar sebagai tontonan. Dan setelah kita analisis, baru bisa jadi tuntunan guna menentukan sikap kita terhadap hasil sementara Pilpres.
Coba bayangkan bila masyarakat Indonesia kompak tidak melihat TV atau tidak main medsos saat hari H coblosan, quick count tidak ada apa-apanya. Lembaga survei tidak akan laku.
Begitulah, sama seperti film horor, kita kadang suka menonton hal-hal yang menakutkan dan serem. Sama dengan sinetron drama, kita suka dengan happy ending. Quick count tak ubahnya tayangan semacam itu. Tanpa semua itu, mungkin, kita akan lebih baik. Pemilu tetap jalan. Bahkan akan semakin lancar sampai KPU mengumunkan hasil rekapitulasi suara resmi.
Namun masalahnya kita sudah kecanduan quick count, TV, dan medsos. Persis kecanduan film dan sinetron. Semakin kita mencandunya, semakin mereka besar dan mendikte kehidupan kita. Ini perlu direnungkan bersama.
Dalam kaitan ini, masyarakat dan lembaga survei bisa dianalogikan jual beli. Lembaga survei menjual, masyarakat membeli, tentu membeli harus cerdas. Teliti sebelum membeli. Jangan sampai terjebak jual beli model ijon yang dilarang agama seperti diwanti-wanti Kanjeng Nabi SAW.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِىَ قَالُوا وَمَا تُزْهِىَ قَالَ تَحْمَرُّ. فَقَالَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ؟. متفق عليه
Dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua? Para sahabat bertanya: “Apa maksudnya telah menua?” Beliau menjawab: “Bila telah berwarna merah.” Kemudian beliau bersabda: “Bila Allah menghalangi masa penen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)?” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan pada riwayat lain sahabat Anas bin Malik juga meriwayatkan:
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan anggur hingga berubah menjadi kehitam-hitaman, dan penjualan biji-bijian hingga mengeras.” (Riwayat Abu Dawud dan lainnya)
Maka sudah diberikan kabar kepada kita, bahwa sistem ijon merupakan sistem penjualan terlarang dalam syari’at Islam. Hal itu mencakup sistem ijon untuk sekali panen atau untuk berkali-kali panen hingga beberapa tahun lamanya.
Terkait pemilu, quick count merupakan ijon yang berlaku selama lima tahunan. Hal ini berlaku sampai menimbulkan kerawanan riil dan korban.
Dalam jual beli di dalam hadis di atas disebut istilah "buah menua". Hal itu kita ibaratkan hasil rekapitulasi perolehan suara KPU. Bila masih belum menua, apalagi masih pentil, buah masih belum matang, sebab baru saja dilakukan coblosan pemilu, kita tidak boleh membelinya atau memercayainya sebagai kebenaran. Apalagi diambil sebagai sarana membuat keputusan.
Ijon quick count mengandung unsur gharar sebab tidak memberi kepastian. Rawan sengketa. Bikin heboh dan resah masyarakat. Karena itu, kita tunggu saja buah benar-benar menua. Buah itu adalah hasil rekapitulasi perolehan suara yang benar-benar dihitung secara manual oleh KPU. Buah segar yang menyegarkan bangsa ini. Amiin. Wallahu 'alam.