Foto: Pixabay.com
HAJIMAKBUL.COM - Kementerian Agama RI selaku penyelenggara ibadah haji tahun ini membuat kebijakan baru penempatan jamaah haji selama di Tanah Suci. Untuk itu jamaah haji Indonesia ditempatkan dalam sistem zonasi selama berada di Makkah. Zonasi sesuai embarkasi.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Nizar Ali, mengatakan, sistem zonasi dalam penempatan jamaah haji ini tujuannnya agar lebih mudah melakukan koordinasi. Tentu saja juga untuk meningkatkan kualitas layanan bagi jamaah calon haji.
“Sistem zonasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan akomodasi bagi jamaah haji di Makkah,” kata Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar Ali di Jakarta, dikutip dari laman kemenag.go.id, Jumat 5 April 2019.
Sistem zonasi embarkasi selain lebih memudahkan kooridinasi, juga untuk meminimalisir kendala bahasa, serta memudahkan penyediaan menu katering berbasis wilayah.
Nizar mengatakan, ada tujuh zona penempatan jamaah calon haji. Hal itu diatur dalam Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah No 135 tahun 2019 tentang Penempatan Jemaah Haji Indonesia di Makkah dengan Sistem Zonasi Berdasarkan Asal Embarkasi Tahun 1440H/2019M. Zonasi embarkasi lebih mudah dalam pelayanan.
Penempatan jamaah calon haji Indonesia di Makkah didasarkan asal embarkasi dan dibagi dalam tujuh zona atau wilayah berikut:
1. Syisyah: Embarkasi Aceh (BTJ), Medan (KNO), Batam (BTH), Padang (PDG), dan Makassar (UPG)
2. Raudhah: Embarkasi Palembang (PLM) dan Jakarta – Pondok Gede (JKG)
3. Misfalah: Embarkasi Jakarta – Bekasi (JKS)
4. Jarwal: Embarkasi Solo (SOC)
5. Mahbas Jin: Embarkasi Surabaya (SUB)
6. Rei Bakhsy: Embarkasi Banjarmasin dan Balikpapan
7. Aziziah: Embarkasi Lombok (LOP)
Kloter Berbasis Wilayah
Selain sistem zonasi, kata Nizar, tahun ini pihaknya juga menerapkan pendekatan penyusunan kloter berbasis wilayah (Kabupaten/Kota). Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberdayakan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam pelaksanaan bimbingan manasik.
“Dengan basis wilayah, maka lokasi pembinaan manasik jemaah lebih dekat dengan KUA tempat tinggalnya, atau tidak lintas Kab/Kota,” tegasnya.
Sekarang KUA ditingkatkan perannya juga mengurusi manasik haji. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, saat ini diperlukan umat beragama yang memiliki tingkat pemahaman yang semakin berkualitas terkait haji. Termasuk pula umrah.
“Manasik haji jangan hanya diisi dengan bagaimana tata cara ritual manasik, kaifiyah, tata cara menjalankan syariat ibadah mahdlah haji saja. Tapi yang tidak kalah pentingnya, substansi dari haji itu sendiri,” katanya.
Bagi Menag, berbagai makna substantif yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji harus mampu dikuasai umat. Oleh karena itu, manasik haji harus diberdayakan, untuk menjelaskan kepada umat esensi dan substansi haji, tidak hanya berhenti pada ritual keagamaan saja.
“Maka lagi-lagi tempat untuk bimbingan manasik haji itu perlu disediakan. Dan kita ingin menjadikan KUA sebagai tempat yang bisa menjalankan fungsi-fungsi itu,” jelasnya.
Nah, nanti petugas KUA misalnya seorang ustad mestinya harus pula yang sudah berhaji. Setidaknya umrah. Sebab, bila tidak, bagaimana mungkin dia akan memberi bimbingan manasik haji kepada masyarakat yang hendak berhaji. Lebih dari itu, harus pula memiliki ilmunya soal substansi haji dan umrah, seperti diharapkan oleh menteri agama tadi. (gas)