×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KPHI: UU Haji Disusun Sembrono dan Rawan Korupsi

Friday, April 5, 2019 | 20:06 WIB Last Updated 2019-04-05T13:06:50Z



HAJIMAKBUL.COM - DPR dan Pemerintah yang diwakili Menteri Agama telah mengetok palu mengesahkan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) menjadi UU PIHU pada 28 Maret 2019 sebagai revisi terhadap UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam UU PIHU ini, fungsi Kementerian Agama kembali mendapatkan kekuasaan lebih besar dalam penyelenggaraan ibadah haji dibandingkan dengan saat berlakunya UU No. 13 Tahun 2008.


Dalam UU PIHU yang baru, kedudukan Menteri Agama adalah sebagai regulator (pembuat kebijakan operasional), operator (pelaksana kegiatan) dan sekaligus kontrol serta evaluator (pengawasan) terhadap penyelenggaraan ibadah haji.

“Jadi fungsi-fungsi utama manajemen haji berada dalam satu tangan, sehingga akan memberikan peluang yang besar terjadinya kemungkinan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, serta maladministrasi,” kata Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Samidin Nashir.

Belajar dari berbagai kasus, terjadinya korupsi itu karena ada peluang dan niat jahat.  “Peluang korupsi dengan penerapan UU PIHU ini demikian besar,” ujar Samidin. 

Sebab, terjadi monopoli kekuasaan (monopoly of power) dan keleluasaan bertindak (discretion by officials) oleh penyelenggara operasional ibadah haji dalam satu tangan, yaitu Kementerian Agama RI.

Selain berpotensi terjadinya korupsi lebih besar, UU PIHU menyimpan bom waktu masalah. Pengesahan UU PIHU yang kurang melibatkan stakeholder terkesan serampangan. Misalnya, Pasal 129  UU PIHU bertentangan dengan UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, di mana fungsi dan tugas Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP-DAU) telah dialihkan ke dalam Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan tidak bisa diambil alih menteri.


Berdasar kajian KPHI, pada saat keuangan haji masih dikelola oleh Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI dilaksanakan secara kurang profesional. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan predikat wajar dengan persyaratan (WDP) terhadap Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LK-PIH) tahun 2011-2015 karena saldo dana haji tidak disajikan dengan akurat dan transparan. Saldo dana tidak sinkron dengan Siskohat. 


Pada 2014, dana haji Rp69 triliun berdasarkan audit BPK tidak jelas kewajarannya karena tidak terekonsiliasi dengan Siskohat. 

Sementara pada 2015, berdasar data Siskohat,  saldo dana haji Rp77,82 triliun ada selisih dengan BPS dan data investasi sebesar  Rp857 miliar tidak dapat dijelaskan (berdasarkan audit BPK tahun 2016). Tahun 2017 BPK memberikan opini WTP, tapi catatan kas haji masih diberikan catatan khusus oleh BPK. 

KPHI menemukan pelaporan dana haji yang dikelola Kemenag (pada saat itu) tidak disajikan secara akuntabel. Pada Laporan Tahunan tahun 2016 dan 2017, KPHI menemukan kejanggalan pada pelaporan hasil investasi dana optimalisasi (Laporan KPHI 2017).

Pengawasan Independen Dihapus

KPHI sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU 13 Tahun 2008 dan diberikan tugas dan fungsi pengawasan independen terhadap penyelenggaraan ibadah haji justru dibubarkan oleh UU PIHU sebagaimana termaktub dalam Pasal 129 UU PIHU. Selanjutnya, tugas dan fungsi pengawasan dimaksud diserahkan kepada Menteri Agama, sehingga tidak ada lagi lembaga pengawas independen  yang khusus mengawasi penyelenggaraan haji yang kredibel oleh negara.


Tampaknya, syahwat kekuasaan untuk menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraan ibadah haji dalam satu tangan Kementerian Agama demikian besar, sehingga tidak terusik oleh stakeholders haji lainnya. Dengan UU PIHU ini, monopoli itu semakin jelas dan terang benderang,  kendatipun harus menabrak rambu-rambu manajemen profesional dalam check and balances.

 “Karena mestinya dalam pengelolaan tugas nasional yang demikian besar dan strategis, seperti PIHU, fungsi regulator, operator dan kontrol/evaluator terpisah lembaganya.  Luar biasa, dalam UU PIHU ini ketiga fungsi tersebut malah disatukan menjadi satu,” ujar Samidin.


Tanda-tanda kelompok kepentingan yang menjadikan Kementerian Agama tidak nyaman diawasi secara khusus oleh lembaga pengawasan eksternal yang independen sebenarnya tampak sejak diulur-ulurnya pembentukan KPHI.  Amanah UU 13 Tahun 2008 baru dilaksanakan setelah lima tahun diundangkan pada saat injury time dalam pelaksanaan Undang Undang, yaitu pada tahun 2013.  Pembentukan KPHI saat itu juga tidak disiapkan perangkatnya oleh Menteri Agama. Bahkan, hingga lembaga pengawasan ini akan dibubarkan, segala upaya pembentukan perangkat KPHI sesuai undang undang tetap saja tidak ditindaklanjuti, kendati berkali-kali diusulkan.


KPHI Dilemahkan Tetapi Tetap Bekerja Maksimal

Pembentukan Sekretariat KPHI yang diamanahkan secara jelas dalam Pasal 19 UU 13 Tahun 2008 juga tidak dilaksanakan. Padahal, secara prinsip sudah disetujui Presiden Joko Widodo saat KPHI menghadap Presiden di Istana Negara pada 14 Juni 2016.  Bahkan, KPHI menyusuli surat ke Presiden yang ditindaklanjuti  oleh Mensesneg dengan menggelar rapat koordinasi.

Hasil kesepakatan rapat disampaikan ke Menag dan Menpan RB oleh Mensesneg untuk ditindaklanjuti. Namun, realitanya pembentukan Sekretariat KPHI tidak ditindaklanjuti hingga sekarang. Tanpa Lembaga Sekretariat KPHI, tentu motor penggerak berfungsinya KPHI lumpuh karena dukungan SDM staf dan anggaran hanya alakadarnya.  


Namun, para Komisioner KPHI dengan motivasi pengabdian karena Allah tetap bekerja maksimal melakukan pengawasan sepanjang waktu terhadap penyelenggaraan ibadah haji, baik di dalam negeri maupun di Tanah Suci.  Sejumlah rekomendasi telah diberikan kepada pemerintah dan DPR serta kementerian terkait setiap tahun. Bahkan, rekomendasi-rekomendasi tersebut dilengkapi dengan saran tindak lanjut untuk memudahkan penyelenggara mengimplementasikan rekomendasi KPHI.


Dengan keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia, KPHI telah membuat 175 butir rekomendasi dan lebih dari 435 saran tindak lanjut. Beberapa rekomendasi perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dari KPHI, antara lain terkait perlunya penerapan istithoah kesehatan bagi jamaah haji yang direkomendasikan sejak tahun 2014 dan direalisasi oleh Kementerian Kesehatan pada 2016 dengan terbitnya Permenkes Nomor 15 Tahun 2016. 


Kemudian, pemberian penghargaan KPHI Award untuk memacu kinerja embarkasi haji tiap tahun yang dapat memacu kompetisi dalam layanan di embarkasi.

Dalam operasional haji di Arab Saudi, KPHI sangat banyak merekomendasikan sejumlah perbaikan layanan dari temuan di lapangan selama enam tahun melakukan pengawasan menyangkut soal manajemen, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, bimbingan ibadah, perlindungan jamaah dan fasilitas Masyair,  serta PIHK dan penanganan haji nonkuota/furoda.


Rekomendasi KPHI berasal dari temuan-temuan pengawasan di lapangan berdasarkan data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan validitas dan obyektifitasnya. Selanjutnya, KPHI menganalisis dan merumuskan  secara sistematis untuk dilaporkan kepada Presiden dan DPR setiap tahun dengan tembusan Menteri terkait.

Penguatan Lembaga Kepengawasan
menurut Samidin Nashir, mestinya KPHI justru diperkuat kelembagaannya agar dapat berfungsi secara optimal sebagai lembaga negara yang mengawasi penyelenggaraan haji secara khusus dan bukan malah dibubarkan. 

“Sungguh sangat ironis, di tengah situasi negara yang darurat korupsi, justru lembaga pengawasan haji dibubarkan dan tugasnya diserahkan kepada pelaksana. Ini langkah mundur dalam penciptaan clean and good governance dan terwujudnya pemerintahan kelas dunia pada 2010-2025,” ujar Samidin.


Wewenang terpusat di Menteri Agama RI bertentangan dengan reformasi birokrasi good government  sesuai dengan Inpres Nomor 81/2010 tentang grand design reformasi birokrasi menuju pemerintahan kelas dunia tahun 2025, salah satunya adalah memperkuat fungsi pengawasan. 

Penyelenggaraan ibadah haji adalah kegiatan multisektoral dan harus diimbangi oleh pengawasan independen yang mewakili masyarakat.

“Enam tahun ke belakang  masyarakat sangat diuntungkan dengan hadirnya KPHI yang setiap tahun memberikan rekomendasi untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Rekomendasi tersebut sebagian besar dilaksanakan sehingga dari tahun ke tahun indeks kepuasan jamaah tinggi berdasarkan survei BPS dan KPHI,” jelas Samidin.


Pemerintahan yang bersih dan berhasil jika penyelengaraan pemerintahan berkinerja tinggi, akuntabel dengan pelayanan publik yang terbaik.  Untuk itu, KPHI mengimbau para stakeholder haji yang peduli  terhadap perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah untuk melakukan langkah-langkah konstitusional  sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku agar KPHI diperkuat supaya  penyelenggaraan haji semakin baik dan meningkat.


KPHI juga segera berkirim surat kepada Presiden karena berdasarkan Perpres 50 Tahun 2014, KPHI berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. (hud)
×
Berita Terbaru Update