HAJIMAKBUL.COM - Seorang teman pendukung capres nomor 02 mengaku lemas setelah jagonya dinyatakan kalah versi quick count Rabu 17 April 2019 sore. Kami berlima duduk ngobrol di sekitar TPS di perumahan menunggu hasil penghitungan suara. Ketika petugas dari Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) mengumumkan hasil perolehan suara, dia bertambah lemas lantaran jagonya kalah. Dia heran para tetangganya juga lebih banyak memilih rivalnya meski selisih tipis.
Padahal dia merasa jagonya menang. Dia mengaku sudah keliling Jatim menemui sejumlah kalangan, termasuk ulama, untuk memastikan hasil Pilpres. Kesimpulannya, rakyat ingin perubahan. Dan itu hanya bisa terjadi bila capresnya menang. Namun, apa yang terjadi? Ternyata, jagonya kalah. Wallahu 'alam.
"Tapi nuwun sewu, ini masih versi quick count lo, Gus?" kata saya menyuntikkan rasa optimistis kepadanya.
"Sampeyan kayak ndak tahu aja, quick count itu raja diraja. Mereka di atas presiden. Kalau si quick itu bilang menang, ya menang lah..." jawab si gus agak kesal.
"Kalau saya sih, si quick jauh di bawah Tuhan, Gus. Kita pasrah saja kepada Tuhan," kata saya, bersikap netral.
Padahal Tuhan tidak netral sebab bisa memveto putusan apa pun yang diambil oleh manusia. Termasuk, mungkin, bila nanti hasil KPU berbeda dengan hasil quick count. Meski itu, seperti kata si gus tadi, mustahil adanya. Namun bagi Allah SWT, tak ada yang mustahil, bukan?
Menang kalah biasa dalam pertandingan. Pemilu adalah pertandingan ala sistem demokrasi. Dan Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Dunia memuji keberhasilan Pemilu 2019 yang berlangsung aman.
Masyarakat dipuji telah dewasa dalam berpolitik. Bila ada dugaan kecurangan, dalam setiap pertandingan, toh lumrah ada tuduhan semacam itu. Itulah pentingnya wasit pertandingan yang bernama KPU, Bawaslu, DKPP , dan institusi terkait lain. Strategi dalam pertandingan selalu menemukan kemungkinan sebentuk kecurangan. Wasit yang fair akan membuktikan bersama para pihak yang terlihat di dalam pesta demokrasi itu, termasuk kedua kubu capres.
Allah SWT dalam Al Quran memerintahkan para penguasa dan semua aparat penegak hukum, termasuk para hakim, mempunyai dua karakter mendasar. Keduanya adalah adil dan amanah. Keduanya kunci menjaga masyarakat makmur dan damai. Bila sebaliknya, akan terjadi kehancuran. Lalu buat apa kita ngoyo menang bila akhirnya semua mendapatkan hasil kehancuran?
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS al-Nisa' (4): 58).
Ulama panutan umat, Yusuf al-Qaradhawi menekankan, bahwa perintah Allah dalam ayat itu sangat penting bagi para penguasa. Adil dan amanah. Kesetaraan dalam hukum. Tanpa pandang bulu. Equality before the law. Penguasa dan hakim harus bertanggung jawab, memegang teguh sumpah jabatan, profesional, serta menjunjung tinggi kemuliaan hakim dan lembaga peradilan. Sekali lagi, dalam skala Pemilu, ini bisa KPU, Bawaslu, DKPP, dan seterusnya tadi.
Umar Ibnu Abdul Aziz, khalifah yang sangat adil, menyebut, integritas para penegak hukum itu sangat ditentukan oleh kompetensi moral, intelektual, dan spiritual, dalam lima hal. Satu saja hilang pasti njomplang.
Pertama, fahiman. Memahami hukum dengan baik dan benar. Kedua, haliman, hati nurani dan santun. Ketiga, `afifan, menjaga diri agar tidak berbuat dosa dan kejahatan. Keempat, shaliban, tegas berprinsip. Kelima, `aliman saulan `an al-`ilm, menguasai ilmu pengetahuan serta berwawasan luas dengan melakukan kajian, diskusi, atau istilahnya riset dalam ilmu pengetahun modern sekarang.
KPU, Bawaslu, DKPP, dan aparat terkait, sama-sama mengemban amanah seperti disebutkan di atas dalam konteks Pemilu--yang menjadi bagian mendasar bagi sebuah negara melakukan rekrutmen kepemimpinan. Karena itu, harus memenuhi semua unsur di atas.
Bila tidak, ya oke-lah sedikitnya mendekati kriteria tersebut. Bila tetap tidak bisa, harus dikembalikan pada integritas sehingga dengan karakter itu mereka terjaga dari niat dan perbuatan jahat seperti melakukan kecurangan, atau melakukan pembiaran bila melihat kecurangan di depan matanya.
Namun, demikian, kita tetap berharap pemilu 2019 ini benar-benar luber jurdil. Langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujul dan adil. Dua kata terakhir akan menemukan bukti di penghitungan manual KPU.
"Dospundi, Gus?" Saya membuka suara ketika semua terpaku pada pengumuman hasil suara di TPS.
"Apanya?" jawab si gus.
"Apa sudah legowo?"
"Saya legowo, sebab suara riilnya memang sudah begitu. Masak saya tidak percaya sama Pak RT yang sudah kita kenal baik. Pak Wan, Pak Kholig, Pak Jono, Pak Didik, Pak Tik, dan petugas KPPS lain, kita kenal mereka semua. Saya yakin mereka juga punya pilihan capres, tapi dasarnya mereka baik dan jujur serta amanah. Jadi, kita wajib percaya beliau. Tapi saya tetap ragu bila suara yang dihasilkan dari niat baik ini nanti dibawa ke kantor KPU kabupaten, KPU provinsi, dan KPU pusat. Sebab, banyak genderuwo di jalan-jalan menuju kebenaran itu," kata si gus.
"Hahaha..." saya tertawa.
"Lebih parah lagi, bila genderuwonya sontoloyo, kan gawat itu, masbro!" jawab si gus dengan canda.
Alhamdulillah bila si gus bisa goyonan lagi. Dan kami pun tertawa. "Hahahaha..." Menertawai diri sendiri.
"Itulah kenapa kita harus menjaga kotak suara ini dari jarahan para genderuwo," kata Cak Rokhim, yang satu pilihan dengan si gus.
"Ya, tadi Pak Prabowo juga bilang begitu," jawab si gus.
Pak Haji Rifai yang baru datang dari umrah ikut nimbrung. Pak Haji selama ini juga dikenal termasuk pendukung 02. "Dospundi Pak Haji, jago kita kok kalah," kata si gus.
"Lho, memangnya jago saya siapa?" kata Pak Haji.
"Lho, kan 02, Pak Haji...!?" kata si gus.
Pak Haji hanya tertawa saja. Tertawa yang sungguh misterius. Pak Haji tak menjawab. Dia menyalami petugas KPPS.
Di bilik suara, memang, semua serba misteri. Ustad Abdul Shomad sempat ragu dengan euforia masyarakat yang ingin perubahan lewat Prabowo-Sandi. Namun, apa benar keinginan itu?
Pak Haji merupakan contoh orang yang suka blak-blakan mendukung 02, tapi apa benar di bilik suara dia tetap istiqomah memilih 02? Si gus pun curiga, jangan-jangan Pak Haji kemarin di-umrah-kan orang yang mendukung 01.
"Pasti itu sebabnya...!" kata si gus.
Saya hanya mengingatkan agar si gus tidak suudzon. Tapi dalam hati, saya juga sedikit ada rasa yang sama. Lebih dari itu, saya jadi ingat kata-kata popular President Richard Nixon pada 3 November 1969, saat dia meminta dukungan masyarakat Amerika. Waktu itu Nixon meminta dukungan dari warga Amerika yang tidak mau ikut berdemo dalam menentang kebijakan Perang Vietnam.
"And so tonight—to you, the great silent majority of my fellow Americans—I ask for your support."
Silent majority merupakan jumlah mayoritas masyarakat yang tidak mau bicara vokal soal sikapnya sebab tidak mau berdebat secara terbuka. Apalagi mencaci maki gara-gara pilihan politiknya di media sosial. Itulah kenapa media sosial bisa menipu sebab jumlah umatnya tidak banyak. Yang banyak adalah mereka yang tidak bermedsosria. Tidak bersuara, tapi mengeksekusi langsung di bilik suara.
Swing voter--khususnya orang yang dulu memilih Jokowi tapi sempat ragu dalam Pilpres 2019-- ini yang mungkin tidak digarap secara maksimal oleh jagonya si gus. Gagal memahami karakter silent majority ini bisa fatal.
Strategi Ustad Abdul Shomad cukup jitu saat menyerap aspirasi keliling ke daerah menelisik silent majority ini tapi masalahnya Beliau hanya sendiri. Model UAS menarik dikaji ketimbang memperbanyak kampanye terbuka mengerahkan massa yang menguras energi.
"Dospundi, Mas?" suara si gus mengagetkan saya.
"Apanya, gus?" jawab saya.
"Ya, ini sudah dini hari. Penghitungan suara sudah selesai, kita pulang saja?"
"Monggo, kita bantu dulu teman KPPS ringkes-ringkes," kata saya. Kami membaur dengan KPPS. Sebentar kemudian, TPS pun sepi. "Jangan lupa Tahajud. Doakan, Allah memberikan yang terbaik buat kita semua, bangsa Indonesia..." kata si gus.
"Siap, Gus...!" kata saya. (*)
(Gatot Susanto)
*