×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Taushiyah Jumat Imam Shamsi Ali: Kehidupan publik dan kepemimpinan

Friday, April 5, 2019 | 10:27 WIB Last Updated 2019-04-05T03:27:20Z


Oleh Imam  Shamsi Ali* 

HAJIMAKBUL.COM - Manusia adalah makhluk sosial. Dan karenanya dalam menjalani hidupnya manusia secara alami membutuhkan sesama manusia, bahkan sesama makhluk sekitarnya. 

Ikatan antar manusia dan makhluk itu merupakan ikatan alami dan fitri. Maka manusia tidak mungkin melarikan diri dari kehidupan publiknya.

Dalam menjalani kehidupan publik manusia itulah diperlukan beberapa hal terkait. Di antaranya visi dan tujuan yang sama, serta adanya acuan-acuan (petunjuk) dalam menjalani kehidupan publiknya.

Kalau seandainya kehidupan publik itu adalah kendaraan maka yang menentukan arah perjalanan kendaraan itu adalah pengemudinya. Sehebat apapun kendaraan, semewah bagaimanapun juga, jika tidak dikendalikan oleh seorang pengemudi yang baik boleh jadi berakhir ke ujung yang tragis.

Pengemudi dalam kehidupan publik itu adalah pemimpin. Sang pemimpin inilah yang bertanggung jawab mengarahkan kemudi perjalanan masyarakatnya. Benar salahnya, baik buruknya perjalanan masyarakat banyak sesungguhnya banyak ditentukan oleh pemimpinnya.

Karena urgensi dan makna “tanggung jawab” kepemimpinan inilah maka manusia pada dirinya sendiri disebut khalifah. Karena sejatinya manusia semua adalah pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri.

Demikian besarnya tanggung jawab kepemimpinan ini maka setiap kita ditetapkan sebagai pemimpin dan akan bertanggung jawab di hari akhir nanti.

Sabda Rasul: “setiap kalian adalah penggembala. Dan setiap gembala akan dimintai pertanggung jawaban tentang gembalaannya”.

Lebih jauh dari itu di hari ketika semua manusia mencari perlindungan dari panasnya terik matahari padang Mahsyar, salah seorang yang akan terlindungi darinya adalah “imaam aadilun” (pemimpin yang menegakkan keadilan). 

Karena tanggung jawab keumatannya ini pulalah, setelah diangkat menjadi pemimpin (inni jaa’iluka linnaas imaama) Ibrahim AS memohon kepada Allah agar anak keturunannya juga diberikan kesempatan menjadi pemimpin. Namun Allah menegaskan bahwa “janjiNya (kepemimpnan) tidak akan diberikan kepada mereka yang zholim”. 

Syarat-syarat kepemimpinan

Dalam Al-Qur’an maupun Al-hadits kata kepemimpinan disebutkan berkali-kali. Selain pada ayat di atas di mana Allah mengangkat Ibrahim AS sebagai pemimpin manusia, juga pada ayat lain Ibrahim meminta atau berdoa kepada Allah agar dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. 

Doa itu adalah “Rabana hablana min azaajina wa dzurriyatina qurrata a’yun waj’alnna lil-muttaqiina imaama”. 

Ayat ini jelas menekankan bahwa kepemimpinan dalam Islam itu tidak lepas dari orientasi ketakwaan. Tujuan seorang pemimpin adalah menjadikan dirinya sebagai pemimpin bagi orang-orang bertakwa.

Artinya, agar masyarakatnya bertakwa maka pemimpinnnya harusnya minimal seperti masyarakat yang bertakwa. Bahkan idealnya adalah lebih bertakwa dari masyarakatnya. 

Oleh karenanya memilih pemimpin itu tidak boleh mengabaikan ketakwaan. Nilai-nilai ketuhanan, keimanan dan akhlak karimah menjadi ukuran mendasar bagi umat untuk memilih pemimpinnya. Bukan seperti persepsi yang terbangun: “asal mampu walau tidak beragama tidak masalah”. 

Tentunya yang kita maksud beragama bukan sekedar hebat ritualnya. Tapi yang terpenting dalam konteks kehidupan publik adalah mampu menampilkan karakter yang terakhlak karimah. Jujur, rendah hati, berjiwa pengabdian (bukan dilayani), dan mengedepankan jiwa pertanggung jawaban, (accountability), tidak saja kepada masyarakatnya, tapi yang terpenting kepada Rabbnya di akhirat kelak.

Ketika Allah mengisahkan Bani Israel dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa: “Dan Kami jadikan dari kalangan mereka pemimpin-pemimpin (aimmah)”. Lalu Allah menyebutkan tiga kriteria utama pemimpin itu:

Pertama, “yahduuna bi amrina”. Bahwa pemimpin itu memiliki “petunjuk” dalam kepemimpinannya. Kata “yahduna bi amrina” yang berarti “tertunjuki dalam urusan Kami” bermakna bahwa pemimpin itu harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam urusan kepemimpinannya.

Maka seorang walikota paham kotanya, seorang gubernur paham daerahnya, dan seorang presiden memiliki pengetahuan yang cukup tentang negara dan masalah-masalahnya.

Kedua, “lamma shobaru”. Bahwa pemimpin itu memiliki kesabaran yang tinggi. Kesabaran itu adalah tingkatan tertinggi dari kekuatan mentalitas seseorang. Maka wajar jika kesabaran itu akan dibalas secara langsung oleh Allah di hari akhirat. Sabar itu adalah kemampuna mengendalikan diri dan hawa nafsu dari berbagai godaan dalam kepemimpinan. 

Dalam konteks kepemimpinan, nilai kesabaran menjadi sangat mendasar karena tanpa kesabaran pemimpin boleh jadi mudah terombang ambing oleh arus kepentingan sekitarnya. Atau bahkan jadi tergiur dan melakukan berbagai penyelewengan atau korupsi. Dalam bahasa politik modern karakter sabar ini lebih dikenal dengan “integritas”. 

Ketiga, “wa kaanuu bi aayaatina yuuqinuun”. Bahwa pemimpin itu harus memiliki “keyakinan” atau self confidence. Seorang pemimpin yang tidak percaya diri akan berat mengambil kesimpulan.

Pemimpin yang tidak memiliki keyakinan akan mudah goyah, bahkan dikendalikan oleh kekuatan lain, termasuk kekuatan luar. Maka “yuuqinuun” itu adalah karakter pemimpin yang kuat dan tegas, berani mengambil sikap dan keputusan, serta tidak mudah terpengaruh dan terombang-ombang, apalagi ketakutan.

Bangsa Indonesia yang saat ini sedang bersiap menentukan pemimpinnya, harus menyadari urgensi mencari pemimpin yang sesuai. Tiga kriteria yang disebutkan di atas bisa menjadi pertimbangan minimal, tapi mendasar, dalam menentukan pilihan. 

Ingat, pemimpin itu sangat menentukan wajah negara dan bangsa ke depan. Tapi dalam tatanan kehidupan demokrasi warna pemimpin ditentukan oleh rakyatnya. Oleh karenanya rakyat sebagai “master” (Tuan) dalam tatanan demokrasi harus menentukan pemimpin bangsanya melalui pilihan yang bertanggung jawab. 

Tanggung jawab rakyat itu harusnya pula terilhami oleh tuntunan samawi yang diajarkan oleh agama. Agama bukan untuk dijadikan tunggangan politik. Tapi agama harusnya menjadi acuan moral dalam menentukan kriteria pemimpin itu. 

Jika tidak, khawatirnya pilihan justeru didominasi oleh faktor emosi semata. Dan  lebih runyam lagi ketika pilihan itu dibangun di atas kepentingan sempit dan sesaat! 

Bandara Soetha, 4 April 2019

* Presiden Nusantara Foundation
×
Berita Terbaru Update