Alhamdulillah kita dipertemukan lagi dengan Bulan Suci Ramadhan. Kali ini Ramadhan 1440 Hijriyah. Untuk mengisi bulan paling mulia itu Redaksi menurunkan konsultasi agama yang diasuh oleh mantan Direktur ASWAJA CENTER PWNU Jatim KH Abdurrahman Navis Lc, MHI tentang beragam topik keagamaan.
Pertanyaan:
Maaf ustadz saya bertanya agak pribadi. Begini ustadz, suatu saat di siang bulan Ramadhan ini saya istirahat bersama isteri di ranjang akhirnya saya tidak kuat menahan syahwat, terpaksa saya berhubungan suami isteri, tetapi sebelum itu saya makan dan minum dulu biar segar. Yang menjadi pertanyaan saya ustadz, bagaimana cara menggantinya? Apa cukup bayar satu hari atau puasa dua bulan? Tolong ustadz saya merasa sangat berdosa. Atas jawaban ustadz saya haturkan terima kasih.
Ismail Amrullah
Karang Anyar Pasuruan
Jawaban:
Pak Ismail yang saya hormati, seorang yang sedang berpuasa lalu sengaja membatalkan puasanya dengan cara jima’ (coitus) secara langsung (tanpa dibatalkan dengan makan dan minum terlebih dahulu), maka Ulama Fiqh sepakat akan adanya kewajiban baginya untuk mengganti puasanya dengan memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makanan 60 orang miskin.
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, kemudian dia berkata, “ Celaka aku hai Rasulullah!” Rasulullah bertanya, apa yang membuatmu celaka?” Lelaki itu menjawab, “ Aku melakukan (jima’) dengan isteriku di siang bulan Ramadhan.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Apa kamu bisa memerdekakan budak?” Lelaki itu menjawab, “tidak.”.
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu bisa puasa dua bulan berturut-turut?” “tidak” jawab lelaki itu. Rasulullah bertanya Rasulullah bertanya lagi, “ Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Lelaki itu duduk kemudian Rasulullah mengambil satu bejana yang berisi kurma, seraya bersabda, “ Bershadakahlah kamu dengan ini !” Lelaki itu berkata, “ Apa ada yang lebih miskin dari saya? Tidak ada di antara keluarga di tempat saya yang lebih butuh makanan daripada saya.”
Rasulullah tersenyum sampai terlihat giginya kemudian bersabda, “ Pergilah dan berikan makan ini kepada keluargamu !” (H.R. Syaikhan).
Namun jika membatalkan puasanya dengan cara makan terlebih dahulu dan setelah itu melakukan jima’, artinya walaupun niat awal ingin bersetubuh dengan istri namun dia membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan cara makan dan minum, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat Ulama’:
1) Madzhab Syafi’i dan Hanbali:
Dia berdosa tetapi cukup mengganti sehari saja dan tidak wajib membayar kaffarat, karena dia tidak membatalkan langsung dengan jima’. Sedangkan yang diwajibkan membayar kaffarat itu apabila dibatalkan secara langsung dengan cara berjima’ dengan istrinya. Disamping itu, dia harus mendapatkan hukuman ta’zir (diberi hukuman) oleh Ulil Amr (pemerintah) sebagai tebusan atas kesalahannya.
2) Madzhab Hanafi dan Maliki: Dia tetap harus mengganti dua bulan berturut-turut atau bayar kaffarat, karena niat awal dia ingin jima’ cuma dia membatalkannya dengan makan dan minum terlebih dahulu. Oleh karena itu, kasus tersebut dikembalikan pada tujuan awal. Dan pendapat ini didasarkan pada Qiyas (analogi) antara syahwat perut atas syahwat Farj[7].
Pak Ismail, ketika berpuasa hendaknya berusaha menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan hendaknya menghindari diri dari perbuatan yang dapat menyebabkan batalnya puasa.
Tidur satu ranjang dengan istri pada saat puasa sangat memungkinkan untuk melakukan hubungan suami istri. Oleh karena itu, seharusnya perbuatan itu dihindari agar tidak terjadi apa yang sudah terjadi kepada Pak Ismail.
Apa yang sudah terjadi yaitu Pak Ismail melakukan hubungan suami istri di siang bulan Ramadhan namun dibatalkan puasanya dengan makan dahulu agar segar, menurut penulis, Pak Ismail itu berdosa dan segera bertobat namun cukup mengganti satu hari saja dari puasa yang batal itu dan tidak harus mengganti dua bulan dan juga tidak harus membayar kaffarat, sesuai hadits Abu Hurairah di atas, juga pendapat Imam Syafi’i dan Hambali. Wallahu a’lam bisshowab. (*)