Alhamdulillah kita dipertemukan lagi dengan Bulan Suci Ramadhan. Kali ini Ramadhan 1440 Hijriyah. Untuk mengisi bulan paling mulia itu Redaksi menurunkan konsultasi agama yang diasuh oleh mantan Direktur ASWAJA CENTER PWNU Jatim KH Abdurrahman Navis Lc, MHI tentang beragam topik keagamaan.
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustad, saya adalah seorang anak muda yang baru saja menikah dengan seorang gadis yang sangat saya cintai, tepatnya pada tanggal 24 Sya’ban lalu. Oleh karenanya Pak Ustad, sering kali saya ingin meluapkan rasa cinta saya kepada istri dengan cara mencium walaupun di siang bulan Ramadhan. Hal ini karena dekatnya tenggang waktu pernikahan saya dengan bulan suci Ramadhan, yang mengakibatkan tidak puasnya saya untuk bercumbu rayu dengan istri dalam tenggang waktu yang sangat dekat. Bagaimana tinjauan fiqh terhadap permasalahan ini Pak Ustad?
Ramdhan - Sidoarjo
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Pak Ramdhan yang dimuliakan oleh Allah, terlebih dahulu saya mengucapkan “Barakallah Fika” (semoga Allah memberkahi pernikahan Anda) dan semoga pula Anda dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, amin.
Pak Ramdhan yang dimuliakan Allah, pada dasarnya, mencium istri di siang bulan Ramadhan tidak termasuk hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Berbeda halnya ketika selesai mencium dilanjutkan dengan jima’ (bersetubuh), karena jima’ termasuk salah satu yang dapat membatalkan puasa.
Oleh karenanya, sebaiknya Anda tidak mencium istri di siang bulan Ramadhan mengingat pernikahan Anda yang masih relatif baru karena khawatir Anda tidak dapat membendung atau mengendalikan hawa nafsu Anda.
Namun, fuqaha’ berbeda pendapat tentang status hukumnya. Pertama, sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa dilarang bagi anak muda, maupun orang yang sudah tua untuk mencium istrinya di siang bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan kepada hadith yang disandarkan kepada siti Aisyah (istri Rasul SAW).
“Dari Aswad, Beliau berkata: aku berkata kepada Aisyah, apakah boleh seorang yang sedang berpuasa bercumbu rayu dengan istrinya? Aisyah menjawab: tidak, aku (Aswad) berkata: bukankah Rasul SAW juga bercumbu rayu dengan istrinya walaupun Beliau sedang berpuasa? Aisyah berkata: Beliau (Rasul) lebih mampu mengendalikan hawa nafsunya”. (HR. Baihaqi).
Kedua, sebagian fuqaha’ yang lain termasuk Imam Syafi’i dan Imam Malik memilahnya dengan melihat kepada subyek (pelakunya), apakah termasuk anak yang masih muda atau orang yang sudah tua. Jika yang mencium istrinya tersebut adalah anak muda, maka statusnya hukumnya makruh, dan sebaliknya jika yang mencium istrinya tersebut orang yang sudah tua, maka status hukumnya menjadi mubah.
Hal ini didasarkan kepada pernyataan Nabi terkait dengan pertanyaan yang diajukan kepada Beliau. “Dari Abi Hurairah: Ada seseorang yang datang menemui Nabi SAW menanyakan tentang status hukum orang yang bercumbu rayu dengan istrinya di siang bulan Ramadhan, Nabi SAW memberikan keringanan kepadanya, setelah itu datang lagi seorang laki-laki yang lain, akan tetapi Nabi SAW melarangnya. Ternyata laki-laki yang diberi keringanan oleh Nabi SAW adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang dilarang oleh Nabi SAW adalah anak muda”. (HR. Abu Dawud)
Di samping itu, terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas. “Dari Amr bin Ash, Beliau berkata: ketika kami sedang berada di sisi Rasul SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang masih muda bertanya kepada Nabi SAW, Ya Rasul SAW, bolehkah saya mencium istri saya sedangkan saya sedang berpuasa? Rasul menjawab: tidak boleh. Setelah itu, ada seorang laki-laki yang sudah tua datang kepada Nabi SAW seraya bertanya: bolehkah saya mencium istri saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa? Rasul menjawab: boleh”. (HR. Ahmad bin Hanbal). Wallahu a’lam bisshawab. (*)