Alhamdulillah, kita dipertemukan lagi dengan Bulan Suci Ramadhan. Kali ini Ramadhan 1440 Hijriyah. Untuk mengisi bulan paling mulia itu Redaksi menurunkan konsultasi agama yang diasuh oleh mantan Direktur ASWAJA CENTER PWNU Jatim KH Abdurrahman Navis Lc, MHI tentang beragam topik keagamaan.
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya mempunyai satu pertanyaan. Mohon diberi penjelasan mengenai seorang wanita hamil yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan alasan khawatir terhadap janin / bayi yang ada di dalam kandungannya. Apabila diganti dengan membayar fidyah, berapa besarnya dan bagaimana caranya? Atas penjelasannya, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Sulis Yuliawati
Gempol
Jawaban:
Mbak Sulis Yuliawati yang saya muliakan, para Ulama’ Fiqh bersepakat tentang kebolehan bagi seorang wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits,
عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ[4] (رواه الترمذي)
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT memberi kemurahan kepada musafir untuk tidak puasa dan mengqashar shalat, juga memberi kemurahan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak puasa.” (HR. al-Turmudzi)
Namun Ulama’ berbeda pendapat tentang konsekuensinya, apa yang diwajibkan kepada wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa itu?
Imam Hanafi hanya mewajibkan qadla’ saja (mengganti puasa di hari lain). Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanbali mentafsilkan (memilahnya). Jika si Ibu tersebut berpuasa justru akan membawa madharrah (bahaya) sedangkan madharrah (bahaya) tersebut akan menimpa pada dirinya saja dan tidak pada bayinya, maka cukup baginya mengqadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di hari yang lain tanpa harus membayar fidyah (tebusan). Akan tetapi jika madharrah (bahaya) tersebut akan menimpa pada bayinya saja dan tidak kepada Ibunya), maka disamping wajib mengqadha’ (mengganti) puasanya, juga wajib membayar fidyah (tebusan).
Dan ini pendapat mayoritas Ulama’ Fiqh[5]. Terkait dengan dasar atau dalilnya, Fuqaha’ (para ahli Fiqh) menggunakan qiyas (analogi) sebagai dasarnya. Fuqaha’ yang memiliki pendapat ini menganalogikan orang yang sedang hamil dengan orang yang sakit atau bepergian.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam bepergian (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…”(Q.S. al-Baqarah: 183)
Adapun Ibnu Umar, Ibnu Abbas dari kalangan sahabat, Said bin Jabir dan lainnya dari tabiin berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa Ramadhan, maka cukup baginya membayar fidyah saja tanpa dikenakan kewajiban menqada’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya. Dan pendapat ini juga didasarkan kepada al-Qur’an pula. Hanya saja mereka (fuqaha’) menganalogikan wanita hamil tersebut dengan orang yang sudah tua renta. Hal ini termasuk dalam kandungan firman Allah SWT: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin….” (Q.S. al-Baqarah: 183)
Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil yang khawatir membahayakan pada anaknya jika berpuasa. Ibnu Umar menjawab: “ Boleh berbuka dan cukup memberi makan kepada orang miskin setiap hari satu mud (7 ons) dari gandum.”(H.R. Malik dan Baihaqi)
Juga diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas pernah menyuruh seorang wanita yang hamil agar tidak puasa di bulan Ramadlan dan beliau berkata: “ Kamu sama dengan orang tua yang tidak kuat berpuasa, maka berbukalah dan memberi makan setiap hari setengah sho’ (1,4 ons) gandum”.
Lalu, mana yang lebih utama jika wanita hamil atau menyusui tersebut berbuka (tidak berpuasa), mengqadha’puasakah atau membayar fidyah? DR. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan: ‘Jika wanita itu hamil, melahirkan dan menyusui secara estafet dan tidak ada kesempatan mengqadha’ puasa sampai tiba bulan Ramadlan berikutnya, dan begitu juga bagi wanita yang hamil secara terus menerus atau menysui dalam waktu yang berdekatan, maka cukup baginya membayar fidyah(tebusan) saja dan tanpa harus mengqadha’(mengganti).
Hal ini bertujuan untuk meringankan beban kaum wanita sebagai pelaksanaan dari pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Beda halnya dengan wanita yang punya kesempatan untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya, maka wajib baginya untuk mengqadha’(mengganti) puasa yang ditinggalkannya, tanpa harus membayar fidyah (tebusan), sebagaimana pendapat mayoritas Ulama’ Fiqh.[6]’
Mbak Sulis Yuliawati yang dimuliakan Allah SWT, dari penjelasan diatas, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: Jika wanita yang hamil atau menyusui tersebut tidak berpuasa di bulan Ramadlan masih mempunyai kesempatan untuk mengqadha’nya serta tidak dikhawatirkan akan menimbulkan madharrah bagi dirinya, maka wajib baginnya mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya sejumlah hari yang ditinggalkannya pula pada hari lain.
Akan tetapi jika wanita yang hamil atau menyusui tersebut tidak berpuasa di bulan Ramadlan karena khawatir akan madharrah yang menimpa dirinya serta tidak adanya kesempatan untuk mengqadha’puasa yang ditinggalkannya karena dekatnya masa kehamilannya dengan masa kehamilan berikutnya, maka cukup baginya membayar fidyahsaja tanpa harus mengqadha’.
Berkenaan dengan jumlah fidyahyang harus dibayarkan oleh wanita hamil yang meninggalkan puasa tersebut, Ulama’ Fiqh menentukannya 1 mud (7 ons) untuk setiap harinya. Sedangkan yang berkenaan dengan cara pemberian tersebut, sebaiknya diberikan kepada fakir miskin, baik bahan mentahnya ataupun diwujudkan dalam bentuk makanan yang siap saji, dan boleh juga dibayar secara kontan ataupun dicicil. Disamping itu, diperbolehkan juga menambah lauk - pauk yang dapat dikonsumsi langsung.
Semoga Allah menerima ibadah dan mengampuni dosa kita semua. Amiin yaa Mujbassailiin. (*)