Alhamdulillah kita dipertemukan lagi dengan Bulan Suci Ramadhan. Kali ini Ramadhan 1440 Hijriyah. Untuk mengisi bulan paling mulia itu Redaksi menurunkan konsultasi agama yang diasuh oleh mantan Direktur ASWAJA CENTER PWNU Jatim KH Abdurrahman Navis Lc, MHI tentang beragam topik keagamaan.
Pertanyaan:
Ustadz, di bulan Ramadhan yang penuh dengan keutamaan ini saya ingin melaksanakan ibadah sebanyak – banyaknya, agar penuh satu bulan saya minum obat penunda haid. Apa hukumnya?
Zakiyah
Mojosari Mojokerto
Jawaban:
Mbak Zakiyah yang saya hormati, memang di bulan Ramadhan ini penuh dengan fadhilah (keutamaan), rahmah, maghfirah, dan ‘itqun min al-nar, bahkan di bulan Ramadhan ini ada satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan yaitu ‘Lailatul Qodar. Maka beruntunglah kaum muslimin yang dapat menggunakan kesempatan ini untuk beribadah sebanyak – banyaknya, baik itu puasa, shalat Tarawih dan shalat sunah lainya, membaca al- Qur’an, shadaqah, i’tikaf dan beberapa ibadah lainnya sehingga mencapai derajat yang paling tinggi di sisi Allah SWT yaitu Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa).
Mbak Zakiyah yang dimuliakan Allah, bagi seorang muslimah, secara qudrati akan mengalami masa haidh setiap bulan. Dan apabila sedang haidl, maka tidak boleh berpuasa, shalat, membaca al- Qur’an dan lainnya. Tentu hal tersebut akan menjadi penyebab bagi mereka untuk dapat melaksanakan beberapa rangkaian ibadah sunnah dan wajib sebagaimana penjelasan diatas, walaupun itu bukan sebuah pelanggaran kepada Allah SWT. Dengan demikian, jika seseorang mengkonsumsi obat penunda haidl itu tidak menggangu kesehatan dan bertujuan agar lebih banyak beribadah kepada Allah SWT, maka hal itu hukumnya mubah (boleh).
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Baa Alawi menegaskan: “ … dan dalam fatwa alqumat dijelaskan bahwa boleh hukumnya menggunakan obat pencegah kehamilan (penunda haid). “ (Bughyatul Mustarsyidin: 247).
Akan tetapi jika penggunaan obat penunda haid itu justru akan membawa madlorroh (bahaya) terhadap dirinya, maka haram hukumnya mengkonsumsi obat tersebut. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ[3](رواه أحمد و ابن ماجه)
Artinya: “tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya dan membahayakan orang lain”.
Mbak Zakiya, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. maka laksanakanlah amal ibadah tersebut sesuai dengan qudrah dan kemampuannya, karena yang dinilai oleh Allah bukan hanya kuantitasnya melainkan juga kualitas ibadahnya.
Semoga kita semua menjadi hamba Allah yang khusyu’, tawadlu’, patuh kepada Allah sehingga mencapai derajat muttaqin. Amiin. (*)