Oleh
Imam Shamsi Ali*
“Dan barangsiapa yang bertawakkal maka cukuplah Dia (Allah) baginya” (Al-Quran).
HAJIMAKBUL.COM - Keterbatasan manusia dalam segala hal di satu sisi, dan dorongan dunia yang tiada batas di sisi lain, seringkali menjadikan manusia kehabisan energi dalam menghadapi tuntutan hidup itu sendiri.
Masalahnya pula, manusia sering pula lalai akan realitas keterbatasannya. Akhirnya yang terjadi adalah kekecewaan. Bahkan frustrasi.
Dalam pandangan iman, alam semesta bergerak tiada henti dalam genggaman sang Pencipta. “Maha Suci Allah yang ditangganNya terletak segala kuasa dan berkuasa atas segala sesuatu” (Al-Quran).
“Bagi Allah kepemilikan langit dan bumi dan kepadaNya segala sesuatu dikembalikan”. (Al-Quran).
“Wahai Engkau yang memiliki kerajaan. Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau mengambil kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tanganMu segala kebaikan dan sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu” (Al-Quran).
Semua informasi langit di atas sekaligus menjelaskan akan kenaifan, kelemahan dan keterbatasan makhluk. Bahwa kekuatan, kekuasaan dan kesempurnaan semuanya ada dalam genggaman Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta.
Di sisi lain manusia diciptakan dengan keinginan yang tiada batas. Tapi kemampuan dirinya untuk memenuhi keinginan itu serba terbatas. Dan dunia yang diharapkan untuk memenuhi keinginannya itu juga terbatas.
Maka jalan satu-satunya bagi manusia dalam merespon realita paradoks hidupnya itu adalah dengan bersandar penuh kepada DIA yang Maha tiada batas (Maha Sempurna). Kesadaran bersandar kepadaNya inilah yang lebih dikenal dalam konsep agama dengan tawakkal.
Konsep tawakkal mengajarkan bahwa segala sesuatu Allah yang menentukan. Karenanya manusia harus menyerahkan sepenuhnya kepadaNya dalam penentuan.
Manusia hanya diberikan kebebasan sekaligus tanggung jawab ikhtiar. Tapi yang menjatuhlan palu ketentuan tetap Dia yang merajai langit dan bumi.
Sementara itu dunia yang penuh keterbatasan itu juga ditandai dengan ketidakmenentuan (uncertainty). Sehingga pada akhirnya manusia dalam menjalani hidupnya memerlukan pegangan yang pasti.
Pegangan yang pasti itulah yang digambarkan dalam Al-Quran: “Maka barangsiapa yang menolak thoghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang teguh kepada ikatan yang kuat (urwah wutsqa)” ( Al-Quran).
Puasa sejatinya mengajarkan nilai tawakkal yang tinggi. Bahwa puasa itu adalah komitmen membangun kesadaran jika kita dan apa yang ada pada kita sesungguhnya tidak dalam kuasa kita. Tapi dalam kuasa DIA yang memilki dan merajai segala sesuatu (Allah SWT).
Hakikat pengakuan dan kesadaran itu tersimbolkan dalam ketaatan untuk menahan diri dari makan dan minum, dan lain-lain yang dianggap ada dalam kepemilikannya. Tapi secara hakikat ada dalam kuasa Allah SWT.
Dengan puasa kita akan tersadarkan bahwa kepemilikan dan kekuasaan kita itu bersifat relatif. Yang absolute dalam kepemilikan dan kekuasaan hanya Allah SWT. Maka kita ridho taat kepadaNya ketika kita dilarang untuk menikmati apa yang kita anggap dalam kekuasaan kita.
Kesadaran tertinggi dari realita di atas adalah menyadari secara totalitas bahwa kita tiada daya dan kekuatan kecuali denganNya Yang Maha Kuat (laa haula wa laa quwwata illa billah).
Dengan pandangan hidup materialistik yang didukung oleh kemajuan sains dan teknologi (ilmu), manusia seringkali gagal memahami realita ini. Maka karakter superman atau superwoman sering dipertontonkan secara lucu di depan mata. Berpura-pura mampu dalam segala hal.
Akibatnya ketika diuji dengan keberhasilan manusia menjadi angkuh dan lupa diri. Sebaliknya ketika diuji dengan kegagalan manusia menjadi kehilangan percaya diri dan putus asa.
Apalagi dalam dunia yang semakin kompleks dan menantang ini. Memang jalan satu-satunya untuk kuat melanjutkan perjalanan di lorong-lorong kehidupan yang semakin sempit dan sumpek ini adalah dengan tawakkal.
“Wa man yatawakkal alallah fahuwa hasbuh” (dan barangsiapa yang bertawakkal cukuplah Dia (Allah) baginya”.
Dan puasa menjadi latihan jiwa dan hati dalam menyandarkan diri secara totalitàs kepadaNya! (*)
Vancouver Canada, 19 Mei 2019
* Presiden Nusantara Foundation