Alhamdulillah kita dipertemukan lagi dengan Bulan Suci Ramadhan. Kali ini Ramadhan 1440 Hijriyah. Untuk mengisi bulan paling mulia itu Redaksi menurunkan konsultasi agama yang diasuh oleh mantan Direktur ASWAJA CENTER PWNU Jatim KH Abdurrahman Navis Lc, MHI tentang beragam topik keagamaan.
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb., Ustadz, ibu saya meninggal ketika puasa. Beliau mempunyai utang puasa karena haid selama 5 hari. Apakah sebagai anak, ada kewajiban untuk mengganti puasanya? Mohon penjelasannya.
Virni – Surabaya
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb., Bu Virni yang saya hormati. Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, apakah puasanya diqodho’ oleh ahli waris sepeninggalnya ataukah tidak. Dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Pendapat terkuat, dipuasakan oleh ahli warisnya baik puasa nadzar maupun puasa Ramadan.
Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat para pakar hadis dan pendapat Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/130-133.)
Dalil dari pendapat ini adalah hadis ‘Aisyah: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)
Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712 dan Asy Syarhul Mumthi’, 3/93.)
Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/26.)
Juga hadis Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: “Ada seseorang yang mendatangi Nabi SAW, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148)
Hadis ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum, sedangkan hadis Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi keumuman pada hadis ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadis Ibnu ‘Abbas, karena di dalamnya tidak ada pertentangan.
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada pertentangan dalil.
Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits Ibnu ‘Abbas adalah hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen), membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar. Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.” (Fathul Bari, 4/193.)
Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris
melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang
telah meninggal dunia tadi. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 2/712).
(bersambung)