Saat hendak membuat keputusan besar, apalagi yang berdampak secara nasional, seseorang selalu minta petunjuk kepada Allah SWT. Dengan berdoa. Dengan salat dan zikir. Dan tempat paling mustajabah adalah di Kota Suci Makkah dan Madinah, saat berhaji atau umrah. Saat menjabat Rektor ITS dan Mendikbud, Prof. Moh. Nuh memilih jalan ini. Termasuk kala melahirkan Kurikulun 2013.
HAJIMAKBUL.COM - Darimana Kurikulum 2013 diperoleh Prof. Moh. Nuh? Inilah kisah di balik kebijakan K-13 yang diperolehnya cukup lama dan baru didefinisikan setelah menjalankan amanah menjadi Mendikbud, dan diminta secara khusus oleh Presiden SBY untuk meninjau ulang sistem pembelajaran dan kurikulum.
Sebagai akademisi tentu telah banyak ilmu yang dipelajari oleh Nuh. Sebagai ilmuwan tentu telah banyak kumpulan referensi pengetahuan diserap. Apalagi Nuh tergolong seorang kutu buku, yang gemar melahap aneka buku maupun media massa. Tetapi agaknya, berkat kematangan pribadi dan kerendahhatian yang dimiliki, dia kerap merasa belum punya cukup banyak ilmu untuk menjawab persoalan dan tantangan hidup yang dihadapi.
Di saat mendapat amanat baru sebagai pemimpin perguruan tinggi, menjadi Rektor ITS, pada tahun 2003, dirinya berusaha mencari pijakan atau acuan yang kokoh untuk menjalankan tugasnya. Pertanyaan esensial yang sedang dicari jawabannya adalah: Bagaimana sih seharusnya mengelola pendidikan itu? Karena dirinya muslim, maka pertanyaan yang lebih substantif adalah: Bagaimana sebenarnya konsep pendidikan dalam Islam?
Sejumlah teori ilmiah dibaca dan teman pakar diajak berbincang. “Sudah banyak jawaban, tapi gak onok sing pas, belum ada yang klik, belum ada yang memuaskan hati saya,” katanya.
Maka sebagai muslim dia pun mencoba bertanya langsung kepada “Sang Maha Pemilik Ilmu” dengan riyadhah khusus, semacam berkontemplasi dan berfikir secara khusus. Maka pada tahun 2004 dirinya berangkat umrah ke tanah suci. Di samping berniat menjalankan ibadah, dirinya memang punya misi khusus, ingin mendapat ilham yang dapat menjawab kegundahan hatinya.
“Saat di Mekkah, seperti biasa saya melakukan ritual umrah, tawaf, sai, dan sebagainya. Tapi saya belum mendapatkan tanda apa-apa. Saya terus merenung tapi tidak juga mendapatkannya. Kemudian saya berada di Madinah berhari-hari, wangsitnya juga tidak keluar,” kata Nuh mengenang.
Meski demikian tamu Allah ini senantiasa membaca Al Quran dan shalawat, di sela shalat wajib. Hingga pada suatu hari, saat tadarus Al Quran, dirinya terhenti pada surat Al Baqarah ayat 129. Nuh tersentuh di situ dan tanpa sadar meneteskan airmata, hingga terpaksa dia harus membaca ulang beberapa kali.
Rabbanā wab'aṡ fīhim rasụlam min-hum yatlụ 'alaihim āyātika wa yu'allimuhumul-kitāba wal-ḥikmata wa yuzakkīhim, innaka antal-'azīzul-ḥakīm. (10)
Setelah tangis mereda Nuh pun melanjutkan tadarusnya. Terlewati sejumlah ayat, sampai tiba di ayat 151, matanya membasah lagi.
Kamaaa arsalnaa fiikum rosuulanmingkum yatluu ‘alaikum aayaatinaa wayuzakkiikum wa yu’allimukumul-kitaba wal-hikmata wa yu’allimukum maa lam takuunuu ta’lamun. (11)
Bunyi ayat-ayat tersebut seolah membimbing dirinya, karena senada dengan pertanyaan yang dibawa sejak dari tanah air. Nuh mengaku memang belum menguasai secara sempurna bahasa Arab, tetapi dirinya masih bisa meraba makna ayat-ayat tersebut. Justru yang penting adalah “persambungan” hatinya dengan ayat-ayat itu. (Adriono/Bersambung)