Oleh
Imam Shamsi Ali*
HAJIMAKBUL.COM - Pada hari Selasa, 4 Juni 2019 komunitas Muslim di kota New York melangsungkan Hari Raya Idul Fitri setelah sebulan penuh (29 hari) melaksanakan ibadah puasa.
Alhamdulillah walaupun hidup di kota yang dikenal sebagai ibukota dunia (Capital of the world) dan jantung kapitalisme dunia ini, pelaksanaan Idul Fitri terasa semarak penuh syiar.
Salah satu pusat komunitas Muslim (Islamic Community Center) yang mengadakan Lebaran terbesar di kota ini adalah Jamaica Muslim Center. Jamaica adalah nama daerah bagian dari kota New York. Entah kenapa dinamai Jamaica sehingga kerap disalahpahami jika daerah ini penuh dengan orang-orang Jamaica, sebuah negara di Karibia.
Jamaica Muslim Center sendiri adalah salah satu dari 200-an Masjid di kota New York. Masjid ini terletak di sebuah perbukitan, dengan daerah yang masih hijau. Konon kabarnya sebelum Islamic Center ini berdiri lokasi tersebut cukup menyeramkan (tidak aman).
Alhamdulillah sejak berdirinya sekitar 1993 lalu, daerah sekitarnya menjadi daerah yang termasuk dianggap paling aman.
Jamaica Muslim Center sendiri bermula dari kegiatan sholat berjamaah di basement seorang Muslim Keturunan Bangladesh. Yang kemudian rumahnya diwakafkan menjadi masjid. Mulailah komunitas Muslim berdatangan ke daerah itu. Ada yang membeli rumah. Ada pula yang membuka usaha.
Dengan semakin ramainya warga Muslim yang tinggal di daerah yang lebih dikenal dengan Jamaica Hills itu, sebuah rumah lagi dibeli di samping rumah yang pertama.
Belakangan kedua rumah itu dirubuhkan, lalu dibangun sebuah masjid yang cukup megah. Masjid berlantai 3 itu kini bisa memuat 1.700-an hingga 2.000-an jamaah setiap Jumatnya.
Jamaica kini menjadi salah satu Pusat Komunitas Muslim yang sangat dikenal. Dalam sejarahnya masjid ini paling sering menjadi destinasi kunjungan para pejabat kota. Bahkan Michel Bloomberg di akhir jabatannya sebagai Walikota New York menyempatkan diri berkunjung ke masjid ini.
Walikota New York saat ini, Bill de Blasio, telah berkunjung tiga kali ke masjid yang bernama Al-Mamoor ini. Bahkan beberapa waktu lalu secara khusus datang untuk menyampaikan dukungan kepada komunikasi Muslim menghadapi Islamophobia yang semakin meninggi pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika.
Lebaran terbesar di kota New York
Salah satu kegiatan fenomenal Jamaica Muslim Center adalah kegiatan Idul Fitri atau Idul Adha yang sangat besar. Selama ini diperkirakan jamaah yang hadir di perayaan Idul Fitri atau Idul Adha tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Sebagian memberikan catatan bahwa jika tidak terbesar di kota New York, minimal Lebaran Jamaica Muslim Center adalah salah satu yang terbesar di kota ini. Dan salah satu yang terbesar di Amerika Serikat.
Tahun ini Jamaica Muslim Center kembali mengadakan Lebaran yang sangat besar. Lapangan Thomas Edison High School (Sekolah SMU Thomas Edison) membludak. Bahkan jalan di pinggiran jalan itu juga ditutup oleh kepolisian New York untuk dipakai sholat oleh sebagian yang tidak mendapatkan tempat di dalam lapangan.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saya kembali diminta untuk menjadi Khatib Idul Fitri tahun ini. Berikut Saya sampaikan summary (ringkasan) khutbah saya untuk memberikan manfaat yang lebih luas.
1. Salah satu kekeliruan besar bahkan sebuah kesalahan yang berbahaya adalah ketika kita beramal dan merasa karena kita. Saya menyebutnya sebagai “religious arrogance” (keangkuhan beragama).
Karenanya harus disadari bahwa kita bisa melakukan ibadah-ibadah dalam agama ini semuanya karena hidayah dan taufiqNya Allah SWT. Dan Karenanya hal pertama yang harus kita bangun adalah sadar syukur nikmat Allah. Terkhusus nikmat iman dan Islam ini.
2. Hal yang disayangkan dalam beribadah adalah seringkali ibadah-Ibadah yang kita lakukan bertujuan sekedar mengumpulkan “pahala”. Sering dijadikan barteran syurga. Seolah kita membeli syurgaNya Allah dengan ibadah-ibadah kita.
Ini adalah sebuah kekeliruan besar. Karena sesungguhnya tidak seorangpun yang mampu masuk syurga karena ibadah-ibadahnya. Apalagi membayar Allah atas semua karunianya dengan ibadah-ibadah itu.
Tujuan beribadah adalah untuk meraih ridho dan kasih Allah (rahmatNya). Dengan rahmah dan ridhoNya jugalah kita akan menerima imbalan dariNya. Ternasuk di dalamnya masuk syurgaNya di Akhirat kelak.
3. Untuk ibadah bisa meraih ridho dan kasih Allah, hendaknya ibadah-ibadah yang dilakukan tidak sekedar kegiatan rutinitas harian, mingguan atau tahunan. Tapi hendaknya memiliki dampak positif dalam kehidupan nyata kita.
Dampak inilah yang saya namai transformasi. Bahwa ibadah-ibadah yang kita lakukan harus membawa transformasi dalam kehidupan kita.
4. Transformasi atau perubahan yang tumbuh sebagai dampak nyata dari puasa Ramadan minimal akan terlihat pada lima titik kehidupan manusia.
Pertama, transformasi dalam membangun kedekatan dengan Allah SWT.
Puasa itu adalah sebuah kegiatan ritual yang sangat privat sifatnya. Sebuah kegiatan ibadah yang hanya melibakan Allah dan hambaNya. Sehingga puasa benar-benar menjadi seolah “milikNya Allah. Dan Allah sendiri yang memberikan pahalanya secara langsung”.
Praktek ibadah yang sangat privat inilah yang sendirinya membangun hubungan yang begitu dekat dengan Allah. Sebuah rasa yang membangun kebersamaan denganNya (ma’iyatullah).
Dengan “sense of togetherness with Allah” (perasaan dan keyakinan bersama Allah) inilah akan tumbuh rasa aman dalam hidup. Goncangnya dunia takkan menggoncang jiwa dan mentalitas umat beriman. Semakin tertantang mereka akan semakin solid melanjutkan langkah-langkah juang kehidupannya.
Kedua, bahwa puasa telah membawa transformasi dalam visi hidup.
Selama Ramadan kita mengesampingkan berbagai kecederungan “hawa nafsu” duniawi kita di siang hari. Mengesampingkan hawa nafsu tersebut merupakan latihan untuk mengontrol hawa nafsu.
Esensi puasa dengan mengontrol inilah yang dikenal dalam bahasa agama dengan imsak. Yang artinya menahan.
Kenapa begitu mendasar untuk menahan hawa nafsu duniawi kita? Karena ketika hawa nafsu duniawi kita tidak terkontrol maka terjadi ragam destruksi dalam kehidupan. Berbagai kerusakan dan pengrusakan merajalela dalam dunia kita karena kegagalan mengontrol hawa nafsu duniawi tadi.
Dengan kemampuan mengontrol hawa nafsu (dorongan) duniawi akan tumbuh sebuah visi hidup yang imbang. Visi hidup yang saling melengkapi, bahkan saling mengikat antara satu dan lainnya.
Itulah visi hidup Islami yang bersifat menyeluruh. Kuat dunia dan Insya Allah bahagia akhirat. Sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran:
“Dan di antara manusia itu ada yang memohon: wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di Akhirat, dan jagalah kami dari siksaan api neraka”.
Ketiga, puasa membawa transformasi perilaku manusia. Perilaku inilah yang bahasa agama disebut akhlak atau karakter.
Karakter kemanusiaan sesungguhnya menjadi salah satu esensi sekaligus tujuan dari seluruh bentuk keberagamaan (religiositas) kita. Sholat, puasa, zakat, haji, umrah dan seluruh amalan-amalan agama semuanya memiliki makna-makna sosial (social dimensions) yang menjadi esensinya.
Sholat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Puasa menahan dari semua yang keburukan-keburukan perilaku, kata maupun aksi. Di saat haji dilarang berkata kotor (rafats), fusuk, bahkan berdebat yang bisa menimbulkan kegaduhan.
Intinya dengan puasa Ramadan pelakunya harus tertransformasi dalam karakter kemanusiaannya. Perilaku sosialnya akan semakin baik dan terpuji.
Akhlak adalah nilai tertinggi dari religiositas seseorang. Sehingga wajar kalau Rasulullah SAW dipuji dalam Al-Quran, bukan karena amalan ritualnya yang luar biasa itu. Tapi karena karakter atau akhlaknya.
Keempat, transformasi hati nurani kemanusiaan kita. Puasa membentuk hati manusia menjadi lebih tajam. Dengan puasa hati menjadi lebih sensitif terhadap lingkungan sekitar.
Realitanya saat ini hati manusia mengalami kebekuan. Atau boleh jadi mengalami mati suri. Sehingga ragam peristiwa kehidupan yang terjadi tidak menyentuh sensitifitasnya. Bayangkan ketika sebuah kampung atau kota dibom. Anak-anak, wanita-wanita, orang-orang tua terbantai bagaikan tak punya harga.
Bulan Ramadan sejatinya melatih rasa kemanusiaan kita merasakan perasaan orang lain. Dalam bahasa agama bulan Ramadan seharusnya mentransformasi hati kita dengan kasih sayang (rahmah).
Dunia kita saat ini sedang mengalami krisis “kasih sayang”. Manusia mengalami kegersangan “rasa empathy” kepada sesama. Maka di bulan Ramadan itulah kita menumbuhsuburkan rasa itu. Belajar merasakan perasaan mereka yang kurang beruntung (unfortunate).
Kelima, bulan Ramadan juga telah membawa transformasi dunia dan peradaban.
Tak dapat disangkal jika saat ini kita hidup dalam dunia yang terpecah (polarized). Runyamnya di beberapa negara yang selama ini getol mengkampanyekan kesetaraan justeru berbalik dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang memecah belah masyarakat.
Memecah belah yang dimaksud adalah mengangkat dan memuliakan sebagian. Sebagian lainnya direndahkan dan dikelasduakan. Pemecah belahan itu lebih khusus lagi pada sisi ras manusia.
Tendensi seperti itulah yang lazimnya disebut rasime. Pelakunya disebut rasis.
Penyakit rasisme saat ini sedang memuncak karena di beberapa negara besar terjadi kebangkitan “White Supremacy” atau keangkuhan kaum kulit putih. Mereka merasa lebih hebat dibandingkan orang lain karena ras putihnya.
Kekerasan-kekerasan terjadi di mana-mana. Termasuk yang paling terakhir penembakan saudara-saudara kita di New Zealand.
Puasa Ramadan menyadarkan kita bahwa perbedaan ras dan warna kulit manusia bukan sesuatu yang menjadi dasar penilaian Kemuliaannya. Justeru perbedaan-perbedaan itu adalah alami, bahkan menjadi keindahan hidup itu sendiri.
Puasa mengajarkan bahwa kemuliaan manusia sesungguhnya bukan pada fisiknya. Tapi pada tatanan hati dan perilaku karakternya. Dalam bahasa agama karena iman dan amal (akhlaknya) semata.
Penutup
Saya akhiri khutbah saya dengan dua pesan khusus.
Pertama, memasuki pemilihan umum di Amerika tahun depan (2020) akan menjadikan Islamophobia meninggi. Cara terbaik untuk menyikapi Islamophobia adalah dengan menguatkan keyakinan kepada Allah yang membolak balik hati manusia. Selain itu hendaknya Islamophobia dihadapi dengan cara terbaik (ahsan). Yaitu dengan akhlakul karimah.
Kedua, di tengah meningginya tantangan Islamophobia, jangan pernah putus asa dan hilang harapan. Saya mengistilahkan: “keep your heads up” (angkat kepalamu). Jangan pernah minder dan terintimidasi. Karena sesungguhnya sepanjang-panjang terowongan itu, pada ujungnya ada cahaya yang terang (shining light).
Kajayaan dan kemenangan itu selalu bersama dengan kebenaran dan keadilan. Sebuah keyakinan yang harus dibangun terus, di tengah dunia Islam yang sangat memprihatinkan.
Demikian pesan Idul Fitri di kota New York Pagi ini, Selasa 4 Juni 2019.
Jamaica Hills, 4 Juni 2019
* Direktur Jamaica Muslim Center New York
* Presiden Nusantara Foundation