(foto: eramuslim.com)
HAJIMAKBUL.COM - Rasulullah Muhammad SAW merupakan saudagar. Istri Beliau, Ibunda Siti Khadijah seorang pengusaha. Bahkan "konglomerat" di zamannya. Kaya. Terpandang. Karena itu, menjadi pengusaha, hingga berpeluang menjadi kaya, bisa dibilang meniru cara hidup Nabi Muhammad SAW. Namun, harus diingat, Nabi menjadi pengusaha tidak untuk menumpuk harta kekayaan, apalagi ditempuh dengan cara-cara curang. Selain Nabi SAW, sejumlah Sahabat, dan ulama ada juga yang menjadi pengusaha. Namun, bisnis yang mereka lakukan dengan cara yang Islami.
Artinya, sudah banyak teladan bagi muslim yang menggeluti dunia bisnis. Dan mestinya pula banyak pebisnis muslim yang baik. Orang kaya yang baik. Bila banyak orang kaya yang baik dan benar dalam berbisnis, maka akan lebih banyak lagi masyarakat yang tertolong. Yang mentas dari jurang kemiskinan. Pengusaha muslim yang baik adalah bagian dari tangan Tuhan untuk menjaga umatnya.
Lalu bagaimana menjadi pengusaha muslim yang baik? Barangkali bisa meneladani sebuah momen dari kisah ulama besar ini.
Kisah tentang ulama yang juga saudagar dalam tulisan ini dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, kisah ini dikutip untuk menjelaskan Risalah al-Mustarsyidin tulisan Imam al-Harits al-Muhassibi saat menjelaskan keutamaan dan teladan sikap wara’.
Kisah ini sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin dan umat manusia umumnya, terutama mereka yang mengambil jalan sebagai pengusaha. Sebab Imam Abu Hanifah yang dikisahkan dalam riwayat ini merupakan sosok faqih, ahli ibadah, sekaligus pengusaha yang sangat sukses.
Imam Abu Hanifah saat itu mendatangi rekan bisnisnya. Beliau membawa banyak barang dagangan. Di antara banyak komoditas itu, ada sehelai kain yang cacat. Ada sedikit kerusakan di salah satu bagiannya.
Kepada temannya, Imam Abu Hanifah berpesan, “Sampaikan kepada siapa pun yang membeli kain tersebut. Ada cacat di salah satu bagiannya.”
Berbilang waktu, banyak barang dagangan yang laku dijual oleh rekan bisnisnya itu. Termasuk kain yang terdapat cacat di dalamnya. Saat rekan bisnisnya itu melaporkan hasil dagangannya, sang Imam tak lupa menanyakan soal kain tersebut.
Saat mengetahui bahwa kain itu ikut terjual, Imam Abu Hanifah bertanya, “Apakah kamu memberitahukan kepadanya tentang cacat dalam kain tersebut?” Jawab sang rekan bisnis, “Maaf, aku lupa memberitahukannya.”
Meski sang rekan lupa, Imam Abu Hanifah enggan menanggung risiko atas harta yang bermasalah, syubhat. Maka, sebagaimana dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami, “Mengetahui duduk perkara ini, Abu Hanifah langsung menyedekahkan semua laba yang dia peroleh dari perniagaan itu. Jumlahnya mencapai tiga puluh ribu Dirham.”
Jika kurs satu Dirham adalah (sekitar) empat puluh ribu rupiah saja, maka jumlah yang disedekahkan sekitar seratus dua puluh juta rupiah.
Tidak berhenti sampai di situ, sang Imam juga memberikan peringatan yang keras terhadap rekan bisnisnya. “Setelah itu,” lanjut Imam Ibnu Hajar al-Haitami, “Abu Hanifah pun memutuskan hubungan kerja dengan rekannya yang telah melakukan kelalaian itu.”
Kepada Anda yang berniat sungguh-sungguh menapaki jalan sebagai pengusaha, perhatikan hal ini baik-baik. Jangan bersikap abai atau meremehkan. Sebab harta yang syubhat, terlebih lagi haram, merupakan sebab ketergelinciran, meski jumlahnya hanya recehan rupiah. Apalagi dalam jumlah yang banyak. Maka, berhati-hatilah. Jangan main-main jika tidak mau dijebloskan ke dalam neraka karena usaha yang Anda jalankan. Wallahu a’lam bishowab.
(gas/pirman/kisahikmah/eramuslim.com]