HAJIMAKBUL.COM - Semua orang lega. Konflik yang sempat mengeras itu mencair. Perseteruan gara-gara Pilpres 2019 pun hilang dan harus diupayakan lenyap selamanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya bertemu Prabowo Subianto, Sabtu (13/7/2019), demi kepentingan bangsa dan negara. Karena itu pertemuan dua pemimpin bangsa itu mendapat apresiasi dari banyak kalangan masyarakat.
"Merah Putih harus kita upayakan jangan sampai robek. Ini demi menjaga Merah Putih agar tetap berkibar di Bumi Pertiwi," kata seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Sabtu siang ini.
Jokowi dan Prabowo bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus Jakarta. Prabowo tampak lebih dulu tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019) sekitar pukul 09.50 WIB didampingi Kepala BIN Budi Gunawan. Terlihat juga Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Waketum Gerindra Edhy Prabowo, hingga Seskab Pramono Anung.
Tidak lama kemudian, Presiden Jokowi tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus pada pukul 10.07 WIB. Kepala Negara mengenakan kemeja berwarna putih lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam.
Seperti biasanya, dengan rendah hati, Prabowo menyambut dengan hormat kehadiran Jokowi. Jokowi pun balas memberi hormat. Keduanya lalu cipika-cipiki. Keduanya lalu menaiki MRT dan berbincang membahas masalah negara.
Sejumlah pihak berharap pertemuan dua pemimpin ini bisa meredakan ketegangan di antara dua kubu saat Pilpres 2019 lalu. Selain itu, juga menjawab simpang siur soal alotnya rekonsiliasi yang dikaitkan dengan bagi-bagi kursi atau jabatan hingga pemulangan Habib Rizieq Syihab dari Makkah ke Tanah Air.
Padahal rekonsiliasi tidak harus disertai dengan bagi-bagi kursi menteri. Sebab, oposisi konstruktif harus tetap ada untuk mengontrol kinerja Pemerintah. "Gerindra bisa tetap jadi oposisi yang konstruktif demi membangun bangsa bersama Pemerintah," katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih 2019-2024, La Nyalla Mahmud Mattalitti, juga memuji sikap kenegarawanan kedua tokoh bangsa tersebut.
”Hari ini akan tercatat dalam sejarah, dikenang oleh anak cucu kita sebagai proses berdemokrasi yang sangat baik, sangat dewasa. Pertemuan Pak Jokowi dan Pak Prabowo sangat menyejukkan, dan Insya Allah akan segera mencairkan polarisasi di tengah masyarakat. Republik tercinta akan kembali rekat, rukun, penuh persaudaraan,” ujar La Nyalla saat dihubungi wartawan, Sabtu (13/7/2019).
La Nyalla mengatakan, pertemuan yang digelar sembari menikmati perjalanan di MRT Jakarta itu juga memberi pesan kepada masyarakat bahwa keduanya sebenarnya tidak memiliki masalah apa pun.
”MRT menjadi simbol kemajuan Indonesia sekaligus upaya perwujudan Indonesia adil dan makmur karena merupakan transportasi publik yang ramah untuk seluruh rakyat. Mudah-mudahan pertemuan tersebut membuat bangsa ini semakin kuat, maju, adil, dan makmur,” jelas La Nyalla yang juga ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur.
Kedua capres tersebut bertemu terakhir pada 13 April 2019 saat debat putaran terakhir menjelang Pilpres 17 April 2019. Setelah itu, Jokowi dan Prabowo tak pernah bertemu.
Gugatan perselisihan hasil Pilpres juga menghangatkan relasi kedua kubu pendukung. Bahkan, sempat terjadi dinamika saat ada aksi demonstrasi menanggapi keputusan KPU.
La Nyalla berharap, seusai pertemuan kedua tokoh, panasnya kedua kubu pendukung diharapkan segera mendingin. Relasi yang sempat renggang kembali mendekat. Polarisasi di masyarakat segera mencair.
”Saya kira semua masyarakat sudah capek dengan cebong versus kampret. Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah setuju enggak ada lagi itu cebong dan kampret, semua merah-putih. Masyarakat dan pendukung kedua tokoh tersebut harus meneladani apa yang telah dilakukan Pak Jokowi dan Pak Prabowo,” ujarnya.
Dengan kembali rekatnya persatuan nasional, imbuh La Nyalla, itu akan menjadi modal terpenting untuk membangun bangsa ke depan.
”Syarat utama dan pertama kesuksesan sebuah bangsa adalah persatuan rakyatnya. Tanpa ada persatuan, percuma ada anggaran negara, percuma ada inovasi-inovasi teknologi, percuma ada perencanaan pembangunan secanggih apapun. Maka pertemuan hari ini sangat bersejarah, mempersatukan kita semua untuk membangun Indonesia ke depan,” katanya.
Contoh dari Rasulullah
Mengapa rekonsiliasi atau islah sangat penting? Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW. Nabi SAW sudah banyak melakukan islah. Seperti dikutip dari tulisan Fathoni di nu.or.id,
salah satu upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ialah ketika melakukan Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 hijriah atau sekitar tahun 628 masehi. Hudaibiyah merupakan sebuah sumur yang berjarak sekitar 22 kilometer dari arah barat daya Kota Makkah.
Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah beserta rombongan kaum Muslimin hendak melaksanakan umroh. Ibadah tersebut tetap dilakukan Rasulullah beserta kaumnya walaupun beliau tahu bahwa orang-orang kafir Quraisy akan menghalanginya dan berpotensi terjadi kontak senjata.
Dalam perjanjian dengan Kafir Quraisy tersebut, keputusan yang dilakukan Rasulullah dipandang tidak populis oleh para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam waktu itu. Karena saat itu, akidah Islam harus terus diperkuat di tengah kekejaman orang-orang kafir Quraisy pada fase dakwah Islam di Makkah.
Guru Besar bidang Tafsir KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) mencatat bahwa ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy tersebut, Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin oleh seorang diplomat ulung bernama Suhail.
Sebagai preambul (pembukaan) naskah perjanjian tersebut, Rasulullah meminta diawali dengan kata bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu dianggapnya asing. Lalu Suhail mengusulkan kalimat bismika allahumma, kalimat yang populer di tengah masyarakat Arab kala itu.
Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat tersebut dan mengusulkan kalimat hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).
Akibat pencoretan basmalah dan kata Rasulullahitu, para sahabat Nabi tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, Rasulullah mengambil sendiri penulisan naskah itu karena para sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah satu prinsip dalam menegakkan akidah Islam ketika itu.
Kelemahan lain dari sisi substansi, menurut para sahabat, terdapat materi yang tidak adil karena apabila orang kafir Quraisy yang menyeberang batas wilayah Muslim di Madinah, maka segera dibebaskan. Sedangkan jika yang melanggar batas adalah umat Islam, maka orangnya ditahan di Makkah. Namun, materi perjanjian tersebut secara bijak disetujui oleh Nabi Muhammad dengan keyakinan dan pertimbangan matang.
Soal pencoretan kata basmalah dan Rasulullah, Nabi menilai hal itu sebagai batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan jika tak dilakukan gencatan senjata. Nabi mengetahui akibat yang akan dialami umat Islam jika gencatan senjata tak dilakukan. Namun, beliau paham langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya. Tentu saja Rasulullah meyakini akidah di dada umat Islam akan semakin kuat. Teladan dan ajaran Rasulullah pun tidak akan luntur di hati para pengikutnya.
Pada akhirnya, apa yang ditetapkan oleh Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, maka akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, para pelintas dari Madinah yang ditahan di Makkah pada akhirnya akan dibiarkan tidak memasuki Makkah. Karena orang-orang kafir Quraisy mempunyai kekhawatiran bahwa mereka adalah para kader yang dapat mempengaruhi suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraisy.
Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi menuai kesuksesan luar biasa di kemudian hari. Semua lahir dari kemampuan menahan diri dari meraih keuntungan jangka pendek hari ini, demi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Dengan kata lain, dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun hendaknya kita mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yang tidak mudah terbawa emosi, seraya meletakkan pandangan jauh ke depan untuk kepentingan umat secara luas. (det/nuo)