Oleh
Imam Shamsi Ali*
HAJIMAKBUL.COM - Idealnya, dalam mendefenisikan kebenaran itu harus ada dua hal yang mendasari. Dasar legalitas (hukum) dan dasar moralitas (etika). Keduanya boleh jadi saling mengikat.
Hukum tanpa moralitas kemungkinan menimbulkan manipulasi hukum berdasarkan kepada ragam intrik dan kepentingan. Tapi moralitas tanpa hukum bagaikan desinasi tanpa petunjuk jalan.
Karenanya, hukum positif bahkan hukum agama sekalipun perlu dibarengi oleh basis moralitas yang solid.
Catatan lain, taat hukum pada umumnya dibatasi oleh kekhawatiran tanggung jawab hukum yang lebih bernuansa kekinian (dunia). Tapi taat hukum karena pertimbangan moralitas akan menjadi benteng kebenaran dunia-akhirat.
Contoh konkretnya adalah berbagai kasus yang menimpa Donald Trump sejak masa kampanye hingga saat ini. Dengan kasus-kasus itu akankah Kongres menggulingkannya dari posisi kepresidenan?
Jawabannya jika itu sekedar menyangkut moralitas, membayar prostitusi misalnya, maka hal itu secara hukum Amerika tidak dianggap pelanggaran.
Tapi seandainya seseorang seperti Donald Trump ini ada kesadaran moralitas dalam menempatkan kebenaran dan harga kepresidenan Amerika maka dia sudah seharusnya mundur.
Secara hukum dia boleh bebas, tiada jeratan baginya. Tapi secara moralitas dia terbebani sekaligus menjadi beban masyarakat dan negaranya.
Jika hal ini kita qiyaskan (menarik kesamaan) dengan berbagai kasus di dunia lainnya, termasuk Indonesia, maka keadaannya juga sama.
Berbagai kasus boleh saja dibenarkan beralasan hukum yang manipulatif. Apalagi jika semua perangkap hukum itu ada dalam genggaman kepentingan.
Tapi percayalah, pertimbangan moralitas akan selalu membayang-bayangi. Sehingga pada akhirnya pembenaran hukum manipulatif itu akan menjadi sebuah momok yang menyeramkan.
Orang yang memanipulasi hukum dengan berbagai cara demi kepentingan, dia akan dibayangi oleh teguran moralitas yang benihnya ada dalam fitrahnya. Sehingga bayang-bayang itu akan menjadikannya rentang panik dan kehilangan ketenangan hidup.
Perhatikan sejarah hidup para penguasa zholim. Dari penguasa zaman Nuh, Namrud di zaman Ibrahim AS, Fir’aun di zaman Musa dan seterusnya. Semuanya mengalami penyakit “kekhawatiran” dan bayang-bayang yang menakutkan diri mereka.
Untuk itu, berhati-hati dengan literalisasi hukum. Orang pintar yang mengerti hukum, apalagi didukung oleh perangkap hukum yang ada, termasuk law enforcement (pengamanan) akan mudah memanipulasi hukum itu.
Maka basis moralitas (moral ground) menjadi sangat esensial dalam upaya menegakkan hukum. Dan ini berlaku baik dalam hukum negara maupun hukum agama. (*)
New York City, 11 Juli 2019
* Imam/Director of Jamaica Muslim Center
* President Nusantara Foundation
Foto: bersama dua penjuang Al-Quran:
1) Dr. Ir. Majdah M. Zain, MSi, Rektor UIM dan Ketua Dewan Pembina Forum Kajian Cinta Al-Quran.
2) Dr. Iqbal Suhaeb yang diamanahi Allah untuk menjabat Walikota Makassar saat ini.