Sudan digoyang aksi demonstrasi (Time).
Republik Sudan bergolak. Aksi kekerasan aparat militer terhadap demonstran membuat dunia Islam semakin kelabu. Korban jiwa berjatuhan. Untuk kesekian kalinya umat Islam prihatin sebab negeri mayoritas muslim selalu saja tercabik-cabik oleh konflik--yang konon dibikin negara lain.
HAJIMAKBUL.COM - Juma Said Ali, tokoh Dakwah Majelis Muslim di Sudan Selatan, tampak semakin sedih. Sekarang dia memang bukan lagi warga Sudan (Utara) tapi tetap saja pria ini sedih melihat bekas negaranya sekarang bergolak.
Sudan Selatan merupakan negara baru yang lepas dari Republik Sudan pada tanggal 9 Juli 2011. Umat Islam di Sudan Selatan ternyata memilih melepaskan diri dari Sudan pada saat referendum dilakukan.
Meski selama konflik diperlakukan dengan baik oleh Pemerintah Sudan yang berkuasa di Khartoum, Muslim di Sudan Selatan tetap menginginkan negara baru. Alasannya, selama berada di bawah pemerintahan Sudan Utara, mereka kurang diperhatikan.
Kini bekas negerinya itu kembali bergolak. Negara yang mayoritas Islam itu sepertinya tidak bisa hidup damai dengan rakyatnya yang memimpikan hidup sejahtera. Sudan didera konflik yang akut.
Juma Said Ali sedih melihat ratusan orang harus berkumpul di Kota Omdurman yang terletak di seberang Sungai Nil dari Khartoum, Sudan, pada Senin (1/7/2019). Mereka melakukan protes kepada militer sehari setelah bentrokan antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa menewaskan tujuh orang.
Said Ali teringat masa-masa referendum dulu. “Ya, kami memilih lebih baik bagi kami untuk memisahkan diri,” kata Said Ali. Mengapa?
Mereka (Pemerintah Sudan) menjadikan kami (Muslim) sebagai warga kelas tiga,” ujar Juma Said Ali.
Padahal, menjelang referendum, ulama terkemuka di dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, sudah meminta agar Muslim di Sudan Selatan tak ikut memilih. Menurut Syekh al-Qaradhawi, referendum itu hanyalah upaya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk memecah Sudan.
"Sudan adalah negara besar. Mereka (negara Barat) sengaja tak menginginkan negeri ini survive,” ungkap Ketua Persatuan Ulama Sedunia itu saat referendum dulu.
Sudan Selatan merupakan negara sekuler. Agama dan pemerintahan menjadi bagian yang terpisah. Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, yang beragama Katolik Roma, berjanji akan menghormati kebebasan semua agama yang ada di negaranya. Salah seorang putra Presiden Salva Kiir yang beragama Islam bernama John malah menjadi seorang mualaf. Ia berganti nama menjadi Muhammad.
Juma Said Ali kini hidup di negeri Sudan Selatan sebagai minoritas. Hidup adalah pilihan. Dia memilih sebagai minoritas di negara baru yang miskin tapi masih memiliki harapan untuk hidup lebih baik, ketimbang hidup di Sudan, negara dengan muslim mayoritas tapi seolah tidak memiliki masa depan sebab penguasanya tidak mengurus negara dengan baik. Karena itu, rakyatnya kembali bergolak. Sebuah pelajaran bagi negara-negara lain dengan penduduk mayoritas Islam.
Seperti dilansir dari Reuters, Selasa (2/7/2019), masyarakat Sudan marah setelah penduduk menemukan mayat tiga pemuda berpakaian sipil penuh dengan peluru di dekat sungai pada pagi harinya. Setidaknya ada 600 orang memblokir jalan utama menuju jembatan Nil Putih, yang menghubungkan Omdurman ke ibukota Sudan, dan mendirikan barikade ketika polisi antihuru-hara mengawasi mereka.
Lusinan orang menangis dan meneriakkan 'turun dengan kekuasaan militer' serta 'darah untuk darah, kami tidak akan menerima uang darah' di dekat mayat yang tertutup bendera. Spanduk protes berdarah dan megafon tergeletak di dekatnya. Tidak mungkin memverifikasi siapa yang telah membunuh ketiga pria itu, tetapi para saksi mata mengatakan sebuah truk telah membuang mayat itu di sana.
Orang-orang turun ke jalanan di Sudan pada Minggu (30/6/2019) lalu menuntut militer menyerahkan kekuasaan kepada pihak sipil. Ini aksi demonstrasi terbesar sejak serangan mematikan oleh pasukan keamanan di sebuah kamp pengunjuk rasa di pusat kota Khartoum tiga minggu lalu.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan menyebabkan sedikitnya tujuh orang tewas dan 181 lainnya luka-luka, 27 di antaranya terkena tembakan langsung.
Hal ini menyusul militer Sudan yang baru saja menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada 11 April lalu setelah berbulan-bulan demonstrasi menentang pemerintahannya.
Kelompok-kelompok oposisi terus melakukan demonstrasi dan menekan militer untuk menyerahkan kekuasaan. Namun, pembicaraan tersebut gagal usai para anggota dinas keamanan menggerebek kamp pengunjuk rasa yang berada di luar Kementerian Pertahanan pada 3 Juni lalu.
Sejumlah dokter yang berhubungan dengan pihak oposisi mengatakan lebih dari 100 orang terbunuh dalam serangan pada bulan Juni dan jasad 40 orang lain telah ditarik dari sungai Nil. Koalisi oposisi yang tergabung dalam Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) telah memanggil jutaan orang untuk berdemonstrasi pada hari Minggu.
Hari itu sekaligus sebagai peringatan 30 tahun kudeta yang membawa Presiden Bashir berkuasa, serta batas waktu yang diberikan Uni Afrika bagi penguasa militer Sudan untuk menyerakan kekuasaan kepada warga sipil atau akan menghadapi sanksi lebih jauh.
Sudan memiliki posisi yang strategis antara Timur Tengah dan Afrika, serta stabilitasnya dipandang penting untuk wilayah yang tengah bergejolak. Berbagai kekuatan, termasuk negara-negara Teluk yang kaya, berlomba-lomba mencari pengaruh di negara berpenduduk 40 juta ini.
Sudan mengalami krisis politik setelah pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa pro-demokrasi di ibu kota, Khartoum. Perwakilan pengunjuk rasa mengadakan pembicaraan dengan pihak militer terkait siapa yang akan memimpin setelah diturunkannya Presiden Omar al-Bashir.
Tetapi perundingan gagal ketika militer menumpas unjuk rasa tanggal 3 Juni lalu dan puluhan demonstran meninggal. Apa yang terjadi di Sudan? Bagaimana semua itu dimulai? Kenapa dunia internasional tidak bertindak? Jawabannya jelas, karena banyak kepentingan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang saling berebut kekuasaan di negeri ini. Karena itu, perundingan damai pun alot.
Militer menyatakan sudah membatalkan semua perjanjian dengan pihak oposisi, dan pemilu akan digelar dalam sembilan bulan.
Tetapi para pemprotes bersikeras meminta masa transisi selama setidaknya tiga tahun untuk memastikan pemilihan umum berlangsung bebas dan adil. Sebagian besar negara kemudian lumpuh akibat pemogokan yang diserukan oleh oposisi, sampai entah kapan.
Di tengah kebuntuan, utusan dari Ethiopia menjadi penengah dan mengatakan bahwa pembicaraan antara kedua pihak dapat segera dilanjutkan.Namun, semua belum jelas. Masa depan rakyat Sudan masih seperti fatamorgana. Kabur. Seakan tanpa harapan.
"Kami hanya bisa berdoa kepada Allah SWT memohon pertolongan sebab konflik sudah sangat parah. Kami berdoa agar antara pihak yang konflik bisa menemukan jalan tengah, jalan keluar yang terbaik bagi negara kami. Kami berdoa agar Allah menghalau setan dan iblis dari negara lain yang ingin merusak Sudan," kata Ali, warga Kota Khartoum, Selasa 2 Juli 2019. (Gatot Susanto)
Republik Sudan bergolak. Aksi kekerasan aparat militer terhadap demonstran membuat dunia Islam semakin kelabu. Korban jiwa berjatuhan. Untuk kesekian kalinya umat Islam prihatin sebab negeri mayoritas muslim selalu saja tercabik-cabik oleh konflik--yang konon dibikin negara lain.
HAJIMAKBUL.COM - Juma Said Ali, tokoh Dakwah Majelis Muslim di Sudan Selatan, tampak semakin sedih. Sekarang dia memang bukan lagi warga Sudan (Utara) tapi tetap saja pria ini sedih melihat bekas negaranya sekarang bergolak.
Sudan Selatan merupakan negara baru yang lepas dari Republik Sudan pada tanggal 9 Juli 2011. Umat Islam di Sudan Selatan ternyata memilih melepaskan diri dari Sudan pada saat referendum dilakukan.
Meski selama konflik diperlakukan dengan baik oleh Pemerintah Sudan yang berkuasa di Khartoum, Muslim di Sudan Selatan tetap menginginkan negara baru. Alasannya, selama berada di bawah pemerintahan Sudan Utara, mereka kurang diperhatikan.
Kini bekas negerinya itu kembali bergolak. Negara yang mayoritas Islam itu sepertinya tidak bisa hidup damai dengan rakyatnya yang memimpikan hidup sejahtera. Sudan didera konflik yang akut.
Juma Said Ali sedih melihat ratusan orang harus berkumpul di Kota Omdurman yang terletak di seberang Sungai Nil dari Khartoum, Sudan, pada Senin (1/7/2019). Mereka melakukan protes kepada militer sehari setelah bentrokan antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa menewaskan tujuh orang.
Said Ali teringat masa-masa referendum dulu. “Ya, kami memilih lebih baik bagi kami untuk memisahkan diri,” kata Said Ali. Mengapa?
Mereka (Pemerintah Sudan) menjadikan kami (Muslim) sebagai warga kelas tiga,” ujar Juma Said Ali.
Padahal, menjelang referendum, ulama terkemuka di dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, sudah meminta agar Muslim di Sudan Selatan tak ikut memilih. Menurut Syekh al-Qaradhawi, referendum itu hanyalah upaya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk memecah Sudan.
"Sudan adalah negara besar. Mereka (negara Barat) sengaja tak menginginkan negeri ini survive,” ungkap Ketua Persatuan Ulama Sedunia itu saat referendum dulu.
Sudan Selatan merupakan negara sekuler. Agama dan pemerintahan menjadi bagian yang terpisah. Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, yang beragama Katolik Roma, berjanji akan menghormati kebebasan semua agama yang ada di negaranya. Salah seorang putra Presiden Salva Kiir yang beragama Islam bernama John malah menjadi seorang mualaf. Ia berganti nama menjadi Muhammad.
Juma Said Ali kini hidup di negeri Sudan Selatan sebagai minoritas. Hidup adalah pilihan. Dia memilih sebagai minoritas di negara baru yang miskin tapi masih memiliki harapan untuk hidup lebih baik, ketimbang hidup di Sudan, negara dengan muslim mayoritas tapi seolah tidak memiliki masa depan sebab penguasanya tidak mengurus negara dengan baik. Karena itu, rakyatnya kembali bergolak. Sebuah pelajaran bagi negara-negara lain dengan penduduk mayoritas Islam.
Seperti dilansir dari Reuters, Selasa (2/7/2019), masyarakat Sudan marah setelah penduduk menemukan mayat tiga pemuda berpakaian sipil penuh dengan peluru di dekat sungai pada pagi harinya. Setidaknya ada 600 orang memblokir jalan utama menuju jembatan Nil Putih, yang menghubungkan Omdurman ke ibukota Sudan, dan mendirikan barikade ketika polisi antihuru-hara mengawasi mereka.
Lusinan orang menangis dan meneriakkan 'turun dengan kekuasaan militer' serta 'darah untuk darah, kami tidak akan menerima uang darah' di dekat mayat yang tertutup bendera. Spanduk protes berdarah dan megafon tergeletak di dekatnya. Tidak mungkin memverifikasi siapa yang telah membunuh ketiga pria itu, tetapi para saksi mata mengatakan sebuah truk telah membuang mayat itu di sana.
Orang-orang turun ke jalanan di Sudan pada Minggu (30/6/2019) lalu menuntut militer menyerahkan kekuasaan kepada pihak sipil. Ini aksi demonstrasi terbesar sejak serangan mematikan oleh pasukan keamanan di sebuah kamp pengunjuk rasa di pusat kota Khartoum tiga minggu lalu.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan menyebabkan sedikitnya tujuh orang tewas dan 181 lainnya luka-luka, 27 di antaranya terkena tembakan langsung.
Hal ini menyusul militer Sudan yang baru saja menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada 11 April lalu setelah berbulan-bulan demonstrasi menentang pemerintahannya.
Kelompok-kelompok oposisi terus melakukan demonstrasi dan menekan militer untuk menyerahkan kekuasaan. Namun, pembicaraan tersebut gagal usai para anggota dinas keamanan menggerebek kamp pengunjuk rasa yang berada di luar Kementerian Pertahanan pada 3 Juni lalu.
Sejumlah dokter yang berhubungan dengan pihak oposisi mengatakan lebih dari 100 orang terbunuh dalam serangan pada bulan Juni dan jasad 40 orang lain telah ditarik dari sungai Nil. Koalisi oposisi yang tergabung dalam Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) telah memanggil jutaan orang untuk berdemonstrasi pada hari Minggu.
Hari itu sekaligus sebagai peringatan 30 tahun kudeta yang membawa Presiden Bashir berkuasa, serta batas waktu yang diberikan Uni Afrika bagi penguasa militer Sudan untuk menyerakan kekuasaan kepada warga sipil atau akan menghadapi sanksi lebih jauh.
Sudan memiliki posisi yang strategis antara Timur Tengah dan Afrika, serta stabilitasnya dipandang penting untuk wilayah yang tengah bergejolak. Berbagai kekuatan, termasuk negara-negara Teluk yang kaya, berlomba-lomba mencari pengaruh di negara berpenduduk 40 juta ini.
Sudan mengalami krisis politik setelah pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa pro-demokrasi di ibu kota, Khartoum. Perwakilan pengunjuk rasa mengadakan pembicaraan dengan pihak militer terkait siapa yang akan memimpin setelah diturunkannya Presiden Omar al-Bashir.
Tetapi perundingan gagal ketika militer menumpas unjuk rasa tanggal 3 Juni lalu dan puluhan demonstran meninggal. Apa yang terjadi di Sudan? Bagaimana semua itu dimulai? Kenapa dunia internasional tidak bertindak? Jawabannya jelas, karena banyak kepentingan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang saling berebut kekuasaan di negeri ini. Karena itu, perundingan damai pun alot.
Militer menyatakan sudah membatalkan semua perjanjian dengan pihak oposisi, dan pemilu akan digelar dalam sembilan bulan.
Tetapi para pemprotes bersikeras meminta masa transisi selama setidaknya tiga tahun untuk memastikan pemilihan umum berlangsung bebas dan adil. Sebagian besar negara kemudian lumpuh akibat pemogokan yang diserukan oleh oposisi, sampai entah kapan.
Di tengah kebuntuan, utusan dari Ethiopia menjadi penengah dan mengatakan bahwa pembicaraan antara kedua pihak dapat segera dilanjutkan.Namun, semua belum jelas. Masa depan rakyat Sudan masih seperti fatamorgana. Kabur. Seakan tanpa harapan.
"Kami hanya bisa berdoa kepada Allah SWT memohon pertolongan sebab konflik sudah sangat parah. Kami berdoa agar antara pihak yang konflik bisa menemukan jalan tengah, jalan keluar yang terbaik bagi negara kami. Kami berdoa agar Allah menghalau setan dan iblis dari negara lain yang ingin merusak Sudan," kata Ali, warga Kota Khartoum, Selasa 2 Juli 2019. (Gatot Susanto)