Ilustrasi: Pixabay
Oleh Imam Shamsi Ali*
HAJIMAKBUL.COM - Ternyata kebesaran dan harga diri sebuah negara tidak saja ditentukan oleh kebesaran ukurannya atau kekayaan dan keindahan alamnya. Tidak juga hanya dengan jumlah penduduk dan kemajuan perekonomiannya. Atau ketinggian inovasi sains dan teknologinya.
Kebesaran dan kehormatan sebuah negara sedikit banyaknya juga ditentukan oleh siapa yang menjadi pemimpinnya. Pemimpin negara seolah menjadi representasi kecil atau cermin mini dari sebuah negara itu sendiri.
Saya teringat di saat Indonesia baru merdeka, merangkak membangun jati diri dalam segala lini kehidupannya. Indonesia ketika itu secara perekonomian lemah, secara militer lemah, secara politik masih dalam proses mencari jatidiri. Bahkan secara sosial rentan mengalami disintegrasi karena daerah-daerah baru dalam integrasi.
Namun Indonesia justru di awal-awal kemerdekaannya itu tampil menjadi singa Asia, bahkan salah satu pemimpin dunia yang disegani. Satu di antara sekian banyak kebanggaan itu adalah Indonesia menjadi salah satu pionir berdirinya Gerakan Non Blok (Non Align Movement).
Konferensi Asia Afrika yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno di Bandung merupakan cikal bakal terwujudnya Gerakan Non Blok itu. Kini perhimpunan negara-negara dunia ketiga yang lebih dikenal dengan singkatan GNB itu menjadi organisasi dengan anggota terbesar dari negara-negara anggota PBB.
Reputasi dan kehormatan yang diraih oleh Indonesia dalam segala keterbatasan itu ternyata salah satunya karena kapabilitas, reputasi dan kharisma pemimpinnya. Dunia menghormati dan memuliakan Indonesia karena kehormatan dan kemuliaan pemimpinnya, Soekarno.
Reputasi Amerika
Secara ekonomi dan politik, apalagi secara militer, saya tidak pernah meragukan kebesaran dan kehebatan Amerika. Amerika dengan segala kekurangannya, yang dapat kita bicarakan pada kesempatan lain, masih negara super power dunia.
Apalagi jika merujuk kepada dasar-dasar kenegaraan, Konstitusi dan nilai-nilai luhur (values) yang menjadi pijakan bagi bangsa Amerika dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Amerika salah satu negara yang paling solid dalam kehidupan publiknya.
Yang justru mengkhawatirkan, bahkan pada tingkatan tertentu memalukan bangsa Amerika saat ini adalah kenyataan bahwa Presidennya mengalami “mental state” (suasana kejiwaan) yang kurang stabil.
Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential).
Dalam perjalanannya menghuni Gedung Putih ternyata semakin tampak jika sang presiden negara adi daya ini memang tidak stabil dalam kejiwaannya. Keadaan itu terindikasi secara jelas dari kata-kata yang kerap tidak menentu. Berubah setiap saat, seolah berbicara tanpa pertimbangan apa pun.
Contoh terakhir sebagai misal saja, bagaimana sang presiden menjuluki Perdana Menteri Denmark dengan kata “nasty”, persis seperti yang disebutkan untuk Hillary dalam beberapa kesempatan debat calon presiden saat itu.
Kata “nasty” atau “absurd” yang ditujukan kepada PM Denmark itu jelas bukan ekspresi seseorang yang dewasa, apalagi seorang presiden.
Dan itu disebabkan karena ada keinginan Donald Trump membeli sebuah pulau yang berbadan otonom di negara itu. Pulau itu adalah Iceland. Tapi PM Denmark menolak keinginan Donald Trump. Penolakan ini oleh Donald Trump dianggap penghinaan yang berujung dengan tuduhan “nasty” atau kotor.
Ini bukan pertama kali terjadi. Hal sama dilakukan dengan Perdana Menteri Inggris ketika itu, Theresa, menyerangnya secara kasar melalui akun Twitternya. Sikap dan kata sang presiden ini menjadikan banyak warga Amerika merasa risih, bahkan malu. Bagaimanapun juga presiden sebuah negara menjadi simbol terdepan dari negara itu.
Dalam dua hari terakhir ini sang presiden malah menyampaikan hal-hal yang entah itu disadari atau tidak, tapi sangat mengganggu akal rasional bangsa Amerika.
Dalam sebuah kesempatan Donald Trump dijuluki oleh seorang penyiar radio sebagai “King of Israel”, penyelamat bangsa Israel. Kita pahami bahwa kata King of Israel dalam bahasa Kitab Suci berarti tuhan itu sendiri. Maka dalam hal ini Donald Trump sedang diposisikan sebagai tuhan.
Anehnya Donald Trump malah senang dan bangga dijuluki sebagai King of Israel itu. Dia mengirimkan Twitter dan berterima kasih kepada penyiar radio itu.
Di kesempatan lain Donald Trump mengaku sebagai “the Chosen” (orang terpilih) untuk menerapkan tarif dagang yang tinggi kepada China. Kata “chosen” dalam bahasa biblical (kitab suci) berarti seorang utusan atau rasul dalam bahasa umumnya.
Keterlibatan Donald Trump dalam pencekalan dua anggota Kongres untuk mengunjungi Israel, Ilhan Omar dan Rashid Tlaib, juga menjadi indikator penting dari ketidakbecusan itu. Kunjungan ke Israel merupakan tradisi tahunan anggota Kongres sebagai simbol kedekatan dan dukungan Amerika ke negara itu.
Tapi kali ini nuansa itu berubah. Dengan adanya dua anggota Kongres yang beragama Islam, bahkan satunya memang putrì keturunan Palestina, kunjungan itu tidak lagi secara otomatis sebagai dukungan dan persahabatan. Tapi sekaligus sebagai “fact finding mission” atau misi mencari kebenaran di lapangan.
Tentu hal ini bagi sebagian yang punya kepentingan berbahaya. Karena selama ini boleh jadi banyak fakta di lapangan yang tidak disampaikan secara jujur kepada bangsa Amerika. Karenanya bangsa Amerika sudah cukup lama “misguided” atau “misled” dalam hal konflik Palestina-Israel.
Yang paling aneh dalam kasus ini adalah bahwa Presiden Amerika sendiri yang berkolabirasi dengan Perdana Menteri Israel mencekal anggota Kongres untuk berkunjung. Sungguh realita terbalik di mana presiden sebuah negara harusnya membela warganya, apalagi anggota legislatif, jika diperlakukan tidak senonoh oleh bangsa lain.
Terlalu panjang jika semua kejadian yang tidak pantas dan berkaitan dengan presiden Amerika ini disampaikan semuanya. Tapi saya kira bukti terbesar dari ketidakstabilan mentalitas presiden Amerika ini adalah ketika dengan serta merta menjadikan musuh semua yang tidak setuju dengannya.
Satu bukti yang paling nyata adalah bahwa dalam masa singkat menduduki Gedung Putih, puluhan staf tinggi negara ini mengundurkan diri atau dipecat. Anehnya hampir semua staf yang mundur atau dipecat itu “turn their backs” alias berbalik dari mendukung menjadi menyerang Doland Trump. Contoh yang paling nyata adalah lawyer pribadinya, Michael Cohen.
Akhirnya ketidakstabilan itu juga kembali diekspresikan kemarin hari. Dalam sebuah pernyataannya Donald Trump menyampaikan bahwa jika komunitas Yahudi mendukung Democrat maka itu berarti mereka tidak loyal (disloyal) kepada agama Yahudi dan Israel. Pernyataan ini jelas sangat merendahkan komunitas Yahudi. Seolah dukungan Donald Trump selama ini hanya karena kepentingan “suara” semata.
Wajar saja, di satu sisi Donald Trump mendukung sepenuhnya Israel. Tapi di sisi lain pendukung fanatiknya dari kalangan White Supremacy dengan brutal dan kejam menyerang dan membunuh warga Yahudi di Amerika.
Jangan terkejut dengan kenyataan paradoks itu. Karena Donald Trump sendiri adalah sosok yang penuh dengan karakter paradoks.(*)
New York, 22 Agustus 2019
* Imam di Kota New York.