Oleh
Imam Shamsi Ali*
HAJIMAKBUL.COM - Setelah seluruh rangkaian ritual haji selesai dilaksanakan, jamaah dengan sendirinya resmi menjadi haji/hajjah. Gelar ini menjadi popular khususnya di negeri tercinta.
Kita menyebutkan di sesi awal catatan ringan ini bahwa haji, selain bersifat konklusif (menyimpulkan), inklusif (merangkul), juga integratif (mengikat) semua aspek ajaran Islam. Pada haji ada aspek akidah, aspek ibadah, dan tentunya ada aspek penting dari Muamalat dan hubungan Internasional manusia.
Tapi juga tidak kalah pentingnya ibadah haji sesungguhnya adalah penggambaran dari siklus kehidupan manusia dari awal hingga akhir. Pada semua ritual ibadah itu tergambarkan semua tahapan yang berlaku dalam hidup manusia.
Dimulai dari kata haji yang identik dengan perjalanan (Journey). Sesungguhnya menggambarkan kepada kita bahwa hidup itu adalah perjalanan (a Journey). Maka tepat adanya jika haji adalah miniatur atau gambaran kecil dari perjalanan hidup manusia.
Ketika akan memulai perjalanan haji ada tiga aspek bekal (zaad) yang mutlak dipersiapkan. Persiapan materi dan fisikal. Persiapan ilmu dan pengetahuan. Dan tidak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual kerohaniaan.
Persiapan materi dan fisikal termaknai dengan penciptaan manusia dari tanah liat. Manusia adalah juga bentuk fisikal dan secara mendasar memerlukan material dalam hidupnya. Makan, minum, tidur, kawin, olah raga, semua itu wujud dari persiapan materi dan fisikal manusia itu.
Perjalanan ibadah haji juga mutlak dengan perbekalan “ilmu”. Semua Ibadah dalam Islam itu sejatinya dilakukan dengan dasar ilmu. Beribadah bukan sekedar dengan rasa dan emosi, apalagi ikut-ikutan.
Haji secara khusus diperintahkan “khudzu anni manasikakum”. Artinya berhajilah sesuai dengan Yang Aku sunnahkan, kata Rasulullah. Artinya Rasulullah memerintahkan umatnya untuk melakukan ibadah haji sesuai caranya. Dan untuk melakukan haji sesuai cara Rasul mutlak dengan ilmu.
Demikian pula hidup. Sukses takkan diraih tanpa ilmu dan pengetahuan. “Barangsiapa yang mau dunia hendaknya dengan ilmu. Barangsiapa yang mau sukses di Akhirat haruslah dengan ilmu. Dan Barangsiapa yang mau sukses pada keduanya hendaklah dengan ilmu”.
Karenanya menguasai ilmu manasik dan makna-makna ritual haji menjadi sangat penting dalam Ibadah ini.
Dan tak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual atau ruhani. Al-Quran mengingatkan: “ wa tazawwadu Fa inna khaeraz zaadit Taqwa”...bahwa sebaik-baik itu adalah ketakwaan. Substansi dasar dari ketakwaan adalah “khasyatullah” (rasa takut pada Allah). Dan khasyatullah adalah esensi ruhiyah Salam Islam.
Haji adalah ibadah yang lengkap. Dan persiapan keruhaniaan menjadi sangat mendasar. Karena semua ibadah dibangun di atas kesiapan dan kebersihan hati.
Kebersihan hati dalam beribadah ini biasanya lebih dikenal dengan istilah “tazkiyah an nafs” (pensucian jiwa).
Perjalanan hidup manusia kiranya demikian pula. Tanpa persiapan spiritualitas atau ruhani maka semua akan menjadi goyah dan goncang. Ketenangan hidup itu akan ditentukan oleh hati dan jiwa manusia. Sementara hati dan jiwa hanya dapat menjadi tenang ketika tingkat spiritualitas itu besar.
Kekuatan spiritualitas itu dibangun oleh kehadiran dzikrullah: “Bukankah dengan mengingat Allah hati-hati (quluub) menjadi tenang?”.
Hati yang gersang ruhani mudah sakit. Termasuk merasakan ketakutan (Khauf) dan kesedihan (hazan). Yang berbahaya ketika hati dan jiwa yang rapuh itu selalu terancam oleh apapun. Bahkan oleh kelebihan dan bahkan kebaikan orang lain misalnya. Irihati dan dengki adalah indikasi jiwa dan hati yang rapuh dan goyah.
Karenanya haji yang matang adalah haji yang dipersiapkan pada tiga aspek ini. Dan hidup yang matang juga adalah hidup yang terbangun di atas tiga fondasi Yang solid: materi/fisikal, ilmu/pengetahuan, dan ruhani/spiritualitas. (Bersambung)
Al-Haram, 7 Agustus 2019
* Presiden Nusantara Foundation & Pembimbing jamaah haji Nusantara USA
Foto: santri-santriyah pesantren Amerika mengakhiri program tahfidz intensif selama sebulan.