Oleh Imam Shamsi Ali*
HAJIMAKBUL.COM - Dengan kesiapan perbekalan yang matang jamaah haji memulai perjalanan jauh itu. Hal pertama yang akan dilakukan adalah memulai dengan “niat suci” di tempat yang telah ditentukan.
Ihram di miqat bagaikan ketika terjadi “Aqad ubudiyah” antara Tuhan dan hambaNya. Di saat manusia masih dalam proses eksistensinya, seorang hamba mengambil janji itu:
Tuhan: “alastu biRabbikum” (Bukankah Aku Tuhan/sembahanmu)?
Hamba: “Balaa Syahidna” (Benar, Kami memberikan kesaksian kami”.
Dialog antara seorang hamba dan Tuhannya ini memulai prosesi perjalanan itu. Perjalanan ke dunia fana dengan tujuan yang satu: “liya’buduun” (untuk menyembah/mengabdi kepada Tuhan Yang Satu).
Prosesi inilah yang tersimbolkan ketika di miqat atau tempat yang telah ditentukan untuk memulai niat haji/umrah. Waktu yang ditentukan (miqat) menggambarkan keputusan Allah yang pasti dan mutlak.
Ihram dimulai dengan komitmen memenuhi panggilan. Sebuah panggilan suci untuk melakukan ibadah/pengabdian. Sejatinya demikianlah hidup ini. Eksistensi hidup bagi seorang Mukmin adalah panggilan:
"Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan mereka yang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu bertakwa”. (al-Baqarah: 21).
Perintah itu adalah perintah pertama dalam Al-Quran berdasarkan urut ayatnya. Dan ini pulalah yang dipenuhi oleh jamaah haji dengan komitmen itu:
“Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka. Innal hamda wanni’mata laka walmulk, laa syariika lak”.
Memenuhi seruan: “Ya Allah kami datang memenuhi seruanMu. Kami datang untukMu, tiada sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kekuasaan hanya milikMu semata. Tiada sekutu bagiMu”.
Sejak terjadinya janji suci (aqad) dengan Tuhan sebelum memulai perjalanan sucinya di bumi ini manusia sadar bahwa perjalanan itu adalah panggilan suci. Panggilan untuk melakukan ubudiyah (pengabdian) hanya kepadaNya.
FirmanNya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi kepadaKu). (Al-Quran)
Demikianlah dengan perjalanan suci ini, semuanya dimulai dengan janji suci pula dan untuk tujuan suci: laa syariika lak. Ungkapan ketauhidan sejati. Bahwa perjalanan hidup ini bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk Dia Yang telah mencintai langit dan bumi. Untuk Rabbul alamin.
Tawaf
Setiba di Makkah jamaah akan melakukan Tawaf. Jika melakukan haji Ifrad maka dia akan melakukan Tawaf qudum. Jika qiran maka akan melakukan Tawaf umrah dan haji sekaligus. Tapi jika melakukan haji tamattu’ maka mereka akan melakukan Tawaf Umrah.
Tawaf substansinya memutari Kakbah. Kakbah adalah pusat pengabdian. Di arah inilah wajah-wajah ubbaad (para penyembah) mengarah. “Fawalli wajhaka syatral Masjidil Haram”.
Tawaf sesungguhnya merupakan simbolisasi dari perjalanan hidup yang berkeliling. Segala sesuatu di alam semesta ini berputar.
“Wa kullun fii falakin yasbahuun”. (Semua di alam semesta ini Bergerak/berputar). Planet bumi, bulan, bintang-bintang semuanya berputar.
Siang malam juga berputar. Musim juga demikian. Bahkan keadaan hidup manusia demikian. Berputar dari masa kanak-kanak, remaja dan pemuda, menjadi tua. Lalu akan tiba masa kembali lagi bagaikan kanak-kanak yang tidak mengenal apa-apa.
Jika tidak mencapai situasi itu maka perputaran membawanya ke alam lain. Alam kubur untuk menjadi “transit place” sebelum bertolak ke kediaman abadinya.
Tawaf juga merupakan simbolisasi dari hiruk pikuk perputaran hidup manusia. Bahwa manusia dalam hidupnya berputar. Naik turun, ke Timur ke Barat, Selatan Utara.
Berputar dari sebuah situasi ke situasi yang lain. Sehat sakit, kaya miskin, terhormat terhinakan. Hidup kadang membuatnya gembira. Tapi juga membawanya ke alam kesedihan.
Perputaran hidup itu tiada henti. Perputaran atau pergerakan (harakah) sudah merupakan tabiat hidup itu sendiri. Ketika hidup stagnan (terhenti) maka terhenti pula kehidupan itu.
Dalam proses berputar sekitar Kakbah itu ada satu hal yang harus menjadi catatan. Kakbah harus berada di pusat perputarannya. Kakbah adalah simbolisasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Maka jika ditarik ke kehidupan nyata, perputaran atau perjalanan hidup harus selalu menjadikan Allah sebagai pusat pergerakannya.
Inilah yang tergambarkan dalam Ikrar ubudiyah: “Katakan, sesungguhnya sholat, pengorbananku, kehidupan dan kematianku untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya”.
Atau dalam bahasa hajinya Allah: “Labbaik allahumma Labbaik...dan seterusnya”. (*)
Selanjutnya Sa’i....
(Bersambung)
Makkah, 8 Agustus 2019
* Presiden Nusantara Foundation USA