HAJIMAKBUL.COM - Kisah ini sering disampaikan oleh khatib dalam khutbah Salat Idul Adha. Salah satunya saat Salat Idul Adha di Masjid Al Ikhlas Perumahan Bluru Permai Sidoarjo Minggu 11 Agustus 2019 atau 10 Dzulhijjah 1440 Hijriah pagi ini.
Pengkhutbah hendak mengingatkan, mungkin, semacam ironi dalam kehidupan kita sehari-hari. Begitu dalam jurang memisahkan antara si kaya dan si miskin, yang bahkan bisa dilihat dalam sikap umat Islam dalam berhaji.
Ada orang berhaji berkali-kali tapi di sekitarnya masih banyak tetangga atau warga lain yang hidup dalam kemiskinan. Mereka mengejar pahala haji dengan pergi ke negeri yang sangat jauh sementara ada pahala haji di sekitarnya diabaikan. Haji jenis ini mestinya meneladani kisah ini. Pengkhutbah ingin agar umat Islam peduli kepada tetangganya. Kepada kaum papa yang miskin. Untuk selalu membantu meringankan beban hidupnya.
Syahruddin El-Fikri juga menuliskan kisah ini berjudul Mabrur Tanpa Berhaji di republika.co.id. Kisah yang sangat menginspirasi untuk selalu kita teladani bersama.
Adalah Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), yang memiliki kisah ini. Beliau seorang ulama asal Marwaz, Khurasan. Sosok alim yanh mendambakan dua hal dalam hal ibadah, yakni berhaji dan berjihad.
Untuk itu Beliau pun melaksanakannya secara bergantian setiap tahun. Tahun ini berjihad, tahun depan berhaji. Begitu yang Beliau lakukan. Betapa pun sulitnya. Apa pun risikonya.
Nah suatu waktu, Ibnu Mubarok berkeinginan untuk pergi haji. Untuk itu, Beliau bekerja keras mengumpulkan uang. Dan ketika terkumpul, Beliau pun melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Ketika sudah selesai mengerjakan berbagai tahapan ibadah haji, Beliau lelap tertidur. Dalam tidurnya, Beliau bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan soal jamaah haji yang jumlahnya sangat banyak di Tanah Suci.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” kata malaikat yang satu bertanya kepada malaikat yang lainnya.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat yang ditanya tersebut.
“Tapi, tak satu seorang pun hajinya diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua tersebut.
Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan malaikat itu, sontak terbangunlah Beliau dari lelap tidurnya. Beliau pun kemudian berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang tinggal di Damsyik. Beliau telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.
Ibnu Mubarok lalu memberi salam kepadanya. Beliau menyampaikan mimpi yang didapatnya. Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan.
Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq menceritakan pengalaman hajinya hingga dia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.
Muwaffaq lalu menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun, dia sangat berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karena itu dia pun mengumpulkan uang agar bisa menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu. Jumlah uang pun terkumpul sekitar 350 dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.
Ketika musim haji tiba, Beliau mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan berhaji itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut. Keinginan sang istri yang sangat membuatnya memohon agar diberi makanan itu. Mungkin ini semacam ngidam dalam tradisi bahasa Jawa.
Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya.
“Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.
"Tapi makanan ini halal bagiku dan anak-anakku yang miskin," katanya lagi.
Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” katanya.
Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Berjihad juga merupakan amal utama. Namun, menyantuni anak yatim, orang miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama.
Karena, beribadah haji hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar. Wallahu a'lam. (*)