Oleh
Imam Shamsi Ali*
HAJIMAKBUL.COM - Salah satu bentuk sumpah yang tertera dalam Al-Quran adalah: “ Demi lidah dan kedua bibir”.
Ayat itu menunjukkan bahwa lidah dan kedua bibir begitu penting dalam kehidupan manusia. Tidak saja karena lisan bibir manusia mampu merasakan kelezatan makanan. Tapi yang terpenting dari semua itu bahwa lidah dan kedua bibir adalah alat komunikasi terpenting bagi manusia.
Konon dengan lidah Itulah peperangan dan saling membunuh di antara manusia terjadi. Sebaliknya dengan lidah pula perdamaian dunia dapat diwujudkan.
Dan karenanya mengkomunikasikan detak pikiran, bahkan kebenaran sekalipun, akan tampak sesuai komunikasi yang mendasarinya.
Saya sering mengatakan, dan mungkin ini berlebihan, tapi rasanya sesuai dengan beberapa realita kasus yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa “kebenaran yang disampaikan dengan komunikasi yang salah, akan tampak sebagai kesalahan”.
Inilah salah satu rahasia kenapa penekanan dakwah dalam Islam bukan pada “apanya” (materinya). Tapi justru ada pada “bagaimana” (metode) dalam menyampaikan dakwah tersebut.
Peringatan atau perintah Allah dalam Al-Quran: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah” merupakan salah satu penekanan urgensi menjaga komunikasi dalam menyampaikan kebenaran.
Kata hikmah menunjukkan sebuah sikap keilmuan yang matang, dalam, luas dan tentunya berkesesuaian (appropriate) dengan segala keadaan terkait.
Maka hikmah menjadi tingkatan keilmuan tertinggi. “Dan barang siapa yang diberikan kepadanya hikmah, sungguh dia telah diberikan kebaikan yang banyak”.
Ayat-ayat pertama Surah Ar-Rahman sering saya sebut sebagai pilar hidup manusia.
Ada empat pilar yang disebut:
1) Ar-Rahman. Bahwa hidup manusia semuanya terikat oleh kasih Allah. Tercipta, terlahir, mendapat hidayah, hingga masuk syurga sekalipun semuanya hanya karena “Ar-Rahmah” (kasih sayang Allah).
2) Allama al-Quran. Manusia boleh hidup. Manusia boleh sukses dalam pandangannya. Boleh kaya, kuat, bahkan merajai dunia dan manusia lainnya. Tapi tanpa Al-Quran semua itu menjadi hampa dan semu. Hidup akan lebih bermakna walau satu malam jika dituntun oleh Al-Quran. Wajar satu malam Al-Qadr itu lebih baik dari seribu malam.
3) Khalaqa al-insan. Manusia hanya bisa hidup secara baik dan bermakna jika sadar diri. Bahwa dia ciptaan, bukan pencipta. Dia dimiliki bukan pemilik. Dia diberi bukan pemberi. Dia terikat dalam fitrah. Ketika manusia tidak terikat lagi oleh fitrah, tunggu al-fasaad di permukaan bumi (zhoharal fasaadu).
4) allamahu al-bayaan. Pilar keempat hidup manusia adalah al-bayaan (komunikasi). Manusia itu makhluk sosial. Manusia hanya menjadi manusia yang baik ketika bisa mengekspresikan (mengkomunikasikan) diri dalam lingkungan sosialnya secara baik.
Karenanya berkomunikasi secara proporsional dan baik menjadi sangat mendasar dalam membangun kehidupan harmoni. Apalagi dalam dunia di mana informasi begitu sangat terbuka. Dan keterbukaan ini seringkali dibarengi oleh sikap “lack of responsibility” (minim tanggung jawab).
Rasulullah SAW dalam banyak sabdanya mengingatkan bagaimana urgensinya menjaga lisan. Bahkan Beliau menjamin syurga bagi mereka yang berhasil menjaga lisannya.
Beliau sendiri adalah komunikator ulung yang luar biasa. Kata-katanya sederhana, singkat tapi padat dan penuh hikmah. Tapi yang terpenting selalu berkesesuaian (appropriate). Beliau menyampaikan kata-kata selalu disesuaikan dengan pendengarnya tanpa mengurangi nilai kebenarannya.
Ibrahim AS juga menjadi contoh bagaimana menjaga kemungkinan “kerusakan” (damage control) yang Beliau lakukan dalam berkomunikasi. Beliau memiliki kapasitas diplomasi yang tinggi.
Hal itu kita pahami dari jawaban Beliau kepada Raja Namrud: “Wahai Ibrahim engkaukah yang melakukan (merusak) kepada tuhan-tuhan kami?”.
Ibrahim: “Tapi itu dilakukan oleh yang besar itu”.
Sebuah jawaban diplomasi yang luar biasa. Beliau tidak langsung mengatakan iya benar saya yang lakukan. Pertama karena boleh jadi mengekspresikan keangkuhan. Kedua sang raja akan langsung memenggal lehernya dan tamatlah riwayat dakwah.
Jawaban Beliau justru menggelitik akal sehat manusia. Sekaligus menjaga maslahah jangka panjang dakwah. Kemampuan diplomasi atau komunikasi Ibrahim ini sangat diperlukan oleh setiap da’i dalam upaya menyampaikan kebenaran.
Sebagai aktifis dialog antar pemeluk agama, saya seringkali dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang cukup “tricky” (rumit dan menipu). Jika dijawab dengan memakai bahasa hitam putih maka semua selesai. Kemungkinan membangun relasi, menghadirkan persepsi positif Islam selesai.
Satu contoh sebagai misal. Ketika ditanya oleh seorang teman Kristiani: “Apakah kamu sebagai seorang Muslim beriman kepada Yesus?”.
Pertanyaan ini sederhana karena bagi orang Islam sudah pasti jawabannya “iya”. Mengimani Yesus adalah salah satu pilar iman dalam Islam.
Masalahnya kita sadar bahwa sang penanya itu ketika bertanya dalam benaknya ada Yesus dengan wujud yang berbeda. Yesus sebagai tuhan, inkarnasi tuhan, atau anak tuhan.
Maka jawaban hitam putih “iya” atau “tidak” bisa menghasilkan sesuatu yang tidak pas. Oleh Karenanya sebuah komunikasi yang baik dan sesuai dalam menyampaikan jawaban sangat diperlukan.
Bahkan ketika ditanya tentang isu “gay” misalnya. Menjawab dengan jawaban hitam putih boleh jadi berakhir dengan tuduhan yang lebih parah. Bahwa Islam itu tidak menghormati HAM, kebebasan, dan seterusnya.
Karenanya mencari komunikasi yang di satu sisi nilai-nilai kebenaran yang kita yakini sampai (delivered). Tapi di sisi lain tidak membuka pintu bagi orang lain untuk lebih salah paham kepada agama ini.
Kesimpulannya, dalam dunia keterbukaan media khususnya media sosial, semua pihak harus berhati-hati dalam mengkomunikasikan kebenaran yang diyakininya. Satu kesalahan yang keluar dari mulut kita akan menjadi seribu kesalahan di media massa dan media sosial.
Saya menyampaikan ini kepada semua pihak. Kepada Saudara-Saudara saya seiman, apalagi jika sudah berada di posisi “yang didengar” mari kita berhati-hati.
Juga Saya sampaikan nasehat ini kepada semua teman-teman yang tidak beragama Islam. Karena saya yakin pada semua komunitas ada saja pihak-pihak yang tidak peduli dengan sensitifitas orang lain.
Dan kalau kita saling menggali, mencari kesalahan dan kekurangan orang lain, pastinya semua kebaikan-kebaikan itu akan terkubur.
Karenanya jaga lisan, jaga komunikasi, dan kedepankan nilai-nilai positif dari semua orang. Percayalah, ketika mentari (shams) bersinar di ketinggian sana, sang gulita di kerendahan lembah akan lenyap.
“Wa qul jaa al-Haq wa zahaqa al-bathil innal bathila kaana zahuuqa”. (*)
New York, 20 Agustus 2019
* Presiden Nusantara Foundation
Jangan lupa lihat-lihat: https://nusantarafoundation.org/