Oleh Sufyan Fuad Baswedan , M.A*
HAJIMAKBUL.COM - Hari itu, 9 Dzul Hijjah tahun 10 H, merupakan momen paling bersejarah di padang Arafah. Rasulullah SAW sebagai manusia yang paling dicintai Allah, bersama ratusan ribu sahabatnya, sedang menunaikan rukun Islam yang kelima.
Inilah haji pertama sekaligus terakhir yang Beliau tunaikan setelah diangkat menjadi Nabi. Benar-benar peristiwa langka dan momen luar biasa. Apalagi jika mengingat bahwa wukuf di Arafah adalah inti dari ritual haji. 'Haji adalah Arafah' tegas beliau. [1]
Gersangnya padang Arafah dan teriknya matahari, sama sekali tidak mengurungkan tekad para sahabat untuk memerhatikan dengan seksama setiap gerakan dan ucapan Rasulullah SAW. Sebab Beliau sendiri berulang kali mengingatkan sedari awal, agar mereka meneladani praktik manasik ini sebaik mungkin, sebab Beliau mungkin takkan berjumpa lagi dengan mereka setelah itu.
Masih tertanam kuat dalam ingatan para sahabat, bahwa Nabi SAW pernah menggambarkan fenomena wukuf yang demikian agung tadi dalam sabdanya: "Pada hari Arafah, Allah turun ke langit dunia dan membanggakan mereka yang wukuf di hadapan para malaikat."
Allah berkata, "Lihatlah hamba-hamba-Ku itu! Mereka datang dari segala penjuru dengan rambut kusut dan tubuh berdebu, saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku telah mengampuni mereka".
Para malaikat menyela, "Akan tetapi di sana ada si fulan dan si fulan ?". Namun kata Allah: "Aku telah mengampuni mereka".
Tidak ada satu hari pun yang saat itu Allah demikian banyak membebaskan manusia dari neraka, melebihi hari Arafah, lanjut Nabi.[2]
Jangan Anda bayangkan bahwa kondisi mereka seperti jamaah haji kita saat ini. Tidak. Jamaah haji kita hanya menempuh sepuluh jam untuk tiba di tanah suci, sedangkan para sahabat harus menempuhnya dalam sepuluh hari. Jamaah kita menaiki pesawat yang full AC, sedangkan para sahabat hanya mengendarai unta dengan terpaan hawa panas gurun yang gersang.
Makanya, dapat dipastikan bahwa setelah 10 hari lebih dalam keadaan ihram, rambut mereka pasti kusut dan berdebu. Mereka juga tidak tinggal dalam kemah yang sejuk dengan makanan yang melimpah. Mayoritas sahabat --termasuk Rasulullah SAW -- justru melalui hari yang demikian terik tadi tanpa naungan apapun.
Singkatnya, pada hari itu terkumpullah pada mereka sejumlah faktor penting penyebab terkabulnya doa. Mulai dari kondisi yang memprihatinkan, waktu dan tempat yang mulia, hingga dekatnya Allah kepada mereka. Karenanya, para sahabat takkan melupakan petuah Rasulullah SAW yang mengatakan, "Sebaik-baik doa, adalah doa di hari Arafah. Dan sebaik-baik doa yang kupanjatkan dan dipanjatkan oleh para nabi sebelumku, adalah
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلكُ وَلَه
الحَمْدُ وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ
"Tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya. MilikNya semua kerajaan, dan bagiNya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu'.[3]
Kita pantas bertanya saat mendengar hadis yang agung ini, manakah ungkapan yang menunjukkan doa dalam hadis ini? Bukankah kalimat ini isinya 'sekedar' pujian kepada Allah dan pengakuan atas keesaanNya?
Benar. Bunyi doa di atas memang tidak bernada meminta, namun dialah rajanya doa. Tidak ada pujian yang lebih dicintai Allah melebihi pengakuan atas uluhiyyah-Nya. Tiada sesuatu yang lebih agung di mata Allah dari pada tauhid. Simak pula bagaimana doa Nabi Yunus tatkala mendekam dalam perut ikan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِين
"Tiada ilah selain Engkau (Allah),
Mahasuci Engkau, dan aku benar-benar termasuk hamba yang zhalim." (Al Anbiya': 87).
Adakah Beliau meminta sesuatu dalam ucapan tadi? Tidak. Namun simaklah bagaimana ayat selanjutnya, yang artinya:
"Maka Kami ijabahi doanya, dan kami selamatkan dia dari kesedihannya, dan demikian pula kami menyelamatkan orang-orang yang beriman."
Nabi Yunus 'alaihissalaam memang tidak meminta apa-apa, namun dia memuji Allah dengan pujian yang paling dicintai-Nya. Oleh karenanya, begitu mendengar pujian ini dari dalam perut ikan, di kedalaman lautan, dan di tengah
kegelapan malam; Allah langsung mengijabahinya seketika, dan mengeluarkannya dari perut ikan. Sehingga Beliau bisa terbebas dari 3 lapisan kegelapan. Inilah makna yang tersirat dari anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak bacaan tadi di hari Arafah.
Imam Sufyan bin Uyainah --guru besar Imam Syafi'i dan Imam Ahmad-- pernah ditanya tentang doa hari Arafah tadi.
"Ini adalah pujian, bukan doa", kata si penanya.
Maka beliau menjawab dengan menyitir sebait sya'ir yang diucapkan Umayyah bin Abi Shalt saat minta santunan kepada Abdullah bin Jud'an yang terkenal dermawan:
"Perlukah kusebut hajatku, ataukah rasa malu cukup bagimu, karena engkau memang pemalu? Bila seseorang menyanjungmu di suatu hari cukuplah itu baginya, daripada harus meminta."
Begitu mendengar syair tadi, Ibnu Jud'an langsung menyantuninya. Sufyan bin Uyainah berkomentar, "Jikalau manusia saja cukup dipuji agar dia memberi, lantas bagaimana dengan Sang Pencipta yang tiada tara?'.
Catatan Kaki:
[1]' Penggalan dari sebuah hadis shahih riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
[2]' HR. Ibnu Khuzaimah (no 2840)
dan Ibnu Hibban (no 3853). Hadis ini dihasankan oleh Ibnu Mandah dalam kitab At Tauhid (no 984).
[3] HR. Tirmidzi (no 1536) dan dihasankan oleh Al Albani.
*Naskah ini diambil dari buku Misteri Kedahsyatan Doa dan Zikir karya Abdullah Taslim, Sufyan Fuad Baswedan , M.A, DKK.