×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Refleksi HUT ke-74 RI: Pesantren Nur Inka Nusantara Madani dan Kegalauan Itu...

Saturday, August 17, 2019 | 04:13 WIB Last Updated 2019-08-16T21:13:52Z


Oleh
Imam Shamsi Ali* 

Menyambut Harlah ke-74 RI, saya kembali turunkan goresan ringan tentang ”kegalauan” saya sebagai Putra Bangsa Indonesia. Semoga bermanfaat! 


HAJIMAKBUL.COM - Ketika pertama kali saya mengumumkan rencana pendirian pondok pesantren di Amerika dan menjadi viral, banyak yang bertanya-tanya. Kira-kira apa yang sesungguhnya menjadi motivasi utama sehingga saya melakukan proyek yang cukup ambisius ini? 

Apakah karena memang wadah pendidikan Islam di Amerika, khususnya New York, tidak memadai? Ataukah memang karena pesantren diperlukan untuk menghadapi meningginya Islamophobia di Amerika? Atau adakah motivasi atau alasan lain sehingga pendirian pesantren ini dicanangkan? 

Saya tegaskan bahwa motivasinya sangat ragam dan urgen. Di kota New York ada sekitar 800.000 hingga sejuta orang Islam. Artinya ada sekitar 10% Muslim dari keseluruhan penduduk kota New York yang berjumlah sekitar 10 hingga 12 juta itu. 

Di NYPD misalnya saat ini ada sekitar 12.000 anggota kepolisian yang beragama Islam. Di sekolah-sekolah umum (public schools) ada sekitar 120.000 muridnya yang beragama Islam. Artinya sekitar 13% dari keseluruhan murid sekolah-sekolah umum di kota New York itu beragama Islam. Wajar jika Idul Fitri dan Idul Adha telah resmi menjadi liburan sekolah di New York City.

Sekolah Islam full time di kota New York saat ini ada 12 sekolah. Belum lagi sekolah-sekolah penghafal Al-Quran yang meluluskan puluhan hafiz setiap tahunnya.

Di kantor-kantor pemerintahan, mulai dari kantor walikota, DPRD New York, hingga ke agensi-agensi lainnya, termasuk kantor-kantor kecamatan, selamanya ada staf yang beragama Islam. Minimal staf itu bertugas sebagai “liaison” (penghubung) antara kantor-kantor pemerintahan dan komunitas Muslim. 

Bahkan sejak zaman Michael Bloomberg walikota New York, ada dua “commissioner” (anggota kabinet walikota) yang beragama Islam. Keduanya wanita muda yang pintar. Satu keturunan Palestina dan satu lagi keturunan Iran. Dua negara yang sesungguhnya dianggap tidak bersahabat dengan Amerika.

Kegalauan Itu...

Sejak saya tiba di kota New York sekitar 21 tahun silam, tepatnya di penghujung tahun 1997, saya sedikit banyaknya telah merasakan kegalauan itu. Di tengah pertumbuhan sekaligus tantangan Islam yang sangat besar, ternyata hampir tidak saya temukan anak bangsa yang berperan di Amerika, bahkan dunia global lainnya.

Di Amerika Serikat sendiri, khususnya kota New York, para pelaku dakwah dan pendidikan Islam didominasi oleh kalangan warga Timur Tengah, Asia Selatan atau IPB (India, Pakistan, Bangladesh), dan tentunya kalangan Africans khususnya Afro American Muslims.

Namun dalam dekade terakhir saya kemudian menjadi lebih galau ketika menemukan realita bahwa negara dan bangsa ini belum sepopuler, bahkan dengan sesama negara ASEAN saja, seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, bahkan Kamboja.

Ambillah sebagai misal di dunia kulinari. Setiap ada orang asing ke Indonesia akan jatuh hati dengan makanan-makanan Indonesia. Bukan satu dua macam. Tapi dari Sabang sampai Merauke makanan-makanan itu dahsyat lezat dan luar biasa ragamnya. 

Tapi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia misanya, di luar negeri restoran-restoran Indonesia hampir tidak ada apa-apanya. Di kota New York misalnya restoran-restoran Vietnam bahkan jauh lebih banyak dan populer dibanding restoran-restoran Indonesia.

Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika Indonesia relatif tidak dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Seringkali justru yang disangka negara Muslim terbesar dunia adalah Mesir, Iran, bahkan Saudi Arabia.

Sebagai ilustrasi, saya sampaikan kejadian-kejadian lucu di beberapa kesempatan. Misalnya saya pernah diundang memberikan presentasi Islam di sebuah universitas Amerika. Ketika saya kenalkan diri bahwa saya datang dari Indonesia, tidak banyak yang antusias. Tapi ketika saya menyebut kata Bali, semua seolah bersemangat karena mengenal Bali dengan baik. Artinya, seolah Indonesia itu hanya bagian dari Bali.

Di sebuah kesempatan lain saya mengenalkan diri sebagai warga negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Tiba-tiba ada yang menyelah: “are you from Egypt” (kamu dari Mesir)? Ada pula yang pernah berkata: “oh are you a Saudi” (kamu orang Saudi)? 

Bahkan suatu ketika saya mengenalkan negara Muslim terbesar itu ada di Asia Tenggara. Ada pula yang berkata: “are you from Malaysia” (kamu dari Malaysia)? 

Kegalauan demi kegalauan itu terus menghantui selama lebih dari dua dekade terakhir. Tapi rasanya tidak mampu berbuat apa-apa untuk membuktikan bahwa Indonesia itu negara hebat, besar, dan seharusnya dikagumi oleh dunia. Bahwa Indonesia itu punya sejarah besar, memiliki luas daratan dan lautan yang luar biasa luas dan kaya. Negara berpenduduk terbesar keempat dan demokrasi ketiga dunia.

Dan dari semua itu yang terpenting bagi saya adalah bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Kalau saja seluruh saudara-saudara Arab kita satukan, Muslim Indonesia masihlah lebih besar jumlahnya dari mereka.

Di kalangan umat Islam sendiri memang masih ada stigma yang mengatakan bahwa menjadi Muslim dengan latar belakang tertentu, ambillah Arab misalnya, pasti lebih hebat. Sehingga jika ekspresi keislaman kita tidak sama dengan mereka maka keislaman itu kurang afdhol. Baju koko atau batik dan songkok tidak semulia dengan baju orang Arab juga atau “shalwar gamiz” orang India Pakistan.

Pekerjaan atau tugas saya sebagai Imam selama 22 tahun lebih di Amerika juga belum mengurangi stigma seperti itu. Seolah bangsa ini kurang layak menjadi pemimpin di dunia global. Sebuah realita yang kontras dengan masa lalunya. 

Dulu bangsa ini mengekspor ulama-ulama ke luar negeri. Siapa yang tidak kenal dengan Syeikh Yusuf Al-Makassary misalnya? Atau ulama-ulama besar dari Palembang yang menjadi imam-imam di tanah Haram? 

Dulu bangsa ini mengekspor guru-guru agama ke Malaysia. Kini bangsa ini banyak yang ke Malaysia untuk menuntut ilmu agama. 

Semua bentuk kegalauan di atas itulah yang mendorong saya untuk mengambil langkah berambisi ini. Sebuah langkah yang betul-betul dimulai dengan mimpi, dibarengi oleh niat suci dan ikhtiyar tanpa batas. 

Harapan saya memang semoga bangsa Indonesia, baik masyarakat luas maupun pemerintah menangkap peluang ini. Saya menyebutnya “peluang” sebab inilah salah satu kesempatan baik untuk mengenalkan Indonesia, tidak saja dengan keindahan dan kekayaan alamnya. Tapi tidak kalah pentingnya juga mengenalkan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia.

Tentu yang terpenting bukan sekedar terbesar di dunia. Tapi Muslim dengan karakter kemanusiaan yang kontra dengan stigma tentang Islam yang keras, anti demokrasi, anti HAM, terbelakang, serta mengedepankan permusuhan.

Maka insya Allah dengan pesantren ini kita akan kenalkan Islam yang dipahami, diyakini dan dipraktikkan di Indonesia. Yaitu Islam teduh, damai, bersahabat, menghormati kebebasan, HAM, merangkul demokrasi dan mondernitas, serta mengedepankan dialog dan kerjasama dengan semua manusia.

Sebagai putra bangsa, saya bermimpi suatu saat pesantren ini akan dicatat sebagai kontribusi nyata Indonesia untuk pengembangan dakwah global dan kedamaian dunia. Amin! (*)

Istanbul, 16 Agustus 2019

* Presiden Nusantara Foundation/Pendiri Pondok Nusantara Madani Amerika Serikat
×
Berita Terbaru Update