HAJIMAKBUL.COM - Bangsa Indonesia Sabtu 17 Agustus 2019 besok memperingati HUT ke-74 Proklamasi Kemerdekaan negerinya: Republik Indonesia. Seluruh warga pun sibuk merayakan sekaligus mensyukuri betapa indahnya Kemerdekaan Indonesia. Mereka mempercantik negeri--mulai dari tingkat RT sampai Ibukota--- dengan gemebyar lampu-lampu yang menghiasi malam.
Karang Taruna RT V RW XI Bluru Permai sibuk menyiapkan hadiah lomba 17 Agustusan.
Mereka juga membuat tumpeng, menyajikan menu polo pendhem, jajan pasar, dan menggelar malam tirakatan serta renungan Kemerdekaan pada Jumat 16 Agustus 2019 malam, dengan doa bersama. Dengan mengenang jasa para pahlawan. Dan dengan mensyukuri nikmat Tuhan berupa kemerdekaan negerinya.
Ya, seperti dilakukan warga RT V RW XI Perumahan Bluru Permai Sidoarjo yang pada bulan kemerdekaan ini guyup menyiapkan acara dengan khidmat dan meriah. Sebuah acara tirakatan untuk mengenang betapa sulitnya para pahlawan berjuang meraih kemerdekaan pada 74 tahun silam.
"Para pejuang sudah berjuang untuk bangsa dan negara agar merdeka. Kita harus mengisi kemerdekaan dengan kerja dan karya. Alhamdulillah, warga RT V RW XI guyup memperingati HUT ke- 74 RI ini dengan kerja dan karya," kata Ketua RT V Bambang Trihatmojo di sela kerja bhakti kemerdekaan Kamis malam hingga dini hari.
Kerja bakti menyiapkan panggung malam tirakatan mulai Kamis siang hingga tengah malam.
Kemerdekaan memang harus disyukuri sebab diperjuangkan dengan pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan. Bukan hanya para pahlawan nasional yang namanya diabadikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tapi juga para syuhada dari kalangan wong cilik yang ikut bertempur, menyiapkan logistik, membantu memberi makan dan merawat pejuang, hingga mereka yang berdoa di masjid atau surau dan pada bilik-bilik rumah warga, untuk mengusir penjajah Belanda, Jepang, atau Sekutu.
Pengorbanan mereka tidak boleh sia--sia. Negeri impian yang mereka perjuangkan telah merdeka, sehingga kemerdekaan yang hakiki harus terus dijaga oleh generasi pejuang berikutnya. Bukan lagi untuk mengusir penjajah seperti yang dilakukan Belanda atau Jepang dulu, tapi meraih kemerdekaan yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat negeri ini.
Jangan sampai lepas dari penjajah satu muncul penjajah dalam bentuk lain. Bahkan penjajah itu bukan dari bangsa lain tapi sangat mungkin dari bangsa sendiri. Itulah yang terjadi ketika ada kesenjangan sosial yang terlalu mencolok antara si kaya dan si miskin. Sampai saat ini masih kita rasakan di kalangan wong cilik hidup susah. Bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya. Juga ada yang melacur hanya demi bertahan hidup. Bagi mereka, merdeka adalah fatamorgana. Kemerdekaan yang semu.
Jumlah warga miskin yang masih banyak menjadi kewajiban kita bersama untuk mengentasnya. Memerdekaan mereka dari kesulitan hidupnya. Jangan sampai kita yang sudah hidup enak, mendapat kesempatan bekerja yang baik, sukses membangun bisnis, menghirup udara bebas di alam kemerdekaan, diberi banyak rezeki, tapi hanya kita nikmati sendiri. Bahkan ada kabar mereka yang diberi keberuntungan ini ada yang berlaku dholim pada sesama warga bangsa. Misalnya mempekerjakan orang miskin seperti budak atau memberi upah tidak layak.
Esensi sebuah bangsa merdeka adalah ketika kita bisa hidup sejahtera makmur bersama secara proporsional. Itulah kemerdekaan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Sebab esensi manusia ketika diciptakan Tuhan adalah merdeka. Merdeka untuk meraih kebahagiaannya di dunia dan di akhirat.
Cinta Tanah Air
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta dalam salah satu khutbahnya yang dimuat di laman nu.or.id (nu online) mengutip kalimat dari Khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu 'anhu:
مَتَى اسْتَعْبَدْتُم النَّـــــــــاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا؟
“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu-ibu mereka melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka.” (Kitab al-Wilâyah ‘alal Buldân fî ‘Ashril Khulafâ’ ar-Râsyidîn)
Sayyidina Umar memang menyampaikannya dengan nada tanya, namun sesungguhnya Beliau sedang mengorek kesadaran kita tentang hakikat manusia. Menurutnya, manusia secara fitrah adalah merdeka. Bayi yang lahir ke dunia tak hanya dalam keadaan suci tapi juga bebas dari segala bentuk ketertindasan. Karena itu manusia haram menindas manusia lain. Apalagi manusia sebangsa dan setanah air.
Tanah air menjadi elemen penting dalam perjuangan manusia. Tanah air tidak ubahnya rumah yang dihuni jutaan bahkan ratusan juta manusia.
Al-Qur’an secara tersirat menyejajarkan posisi agama dan tanah air dalam Surat al-Mumtahanan ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Pakar ilmu tafsir, KH Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut memberi pesan bahwa Islam menyejajarkan antara agama dan tanah air. Oleh Al-Qur’an keduanya dijadikan alasan untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil.
Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka. Tidak heran bila sejumlah ulama memunculkan jargon hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman).
Dengan demikian, cara pertama yang bisa dilakukan untuk menyambut hari kemerdekaan ini adalah mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati atas anugerah kemanan atas agama dan negara kita dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan. Sebab, nikmat agung setelah iman adalah aman (a’dhamun ni‘ami ba‘dal îmân billâh ni‘matul aman).
Lalu, bagaimana cara kita mensyukuri kemerdekaan ini?
Pertama, mengisi kemerdekaan selama ini dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Menjalankan syariat secara tenang adalah anugerah yang sangat besar di tengah sebagian saudara-saudara kita di belahan dunia lain berjuang keras mencari kedamaian. Umat Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dan berbuat baik kepada sesama.
Perlombaan yang paling bagus pada momen ini adalah perlombaan menjadi pribadi paling takwa karena di situlah kemuliaan dapat diraih.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
Yang kedua, mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan kemudaratan bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi rakyat luas kita dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita tolak.
Dukungan terhadap kemaslahatan publik bisa dimulai dari diri sendiri yang berpartisipasi terhadap proses kemajuan di masyarakat, ikut andil bergotong royong dengan guyup---seperti dilakukan warga RT V RW XI Bluru Permai Sidoarjo--dan patuh terhadap peraturan yang berlaku.
Sebaliknya, mencegah mudarat berarti menjauhkan bangsa ini dari berbagai marabahaya, seperti bencana, korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Inilah pengejawantahan dari sikap amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas. Ajakan kebaikan dan pengingkaran terhadap kemungkaran dipraktikkan dalam konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya, menciptakan kehidupan yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera.
Termasuk dalam praktik ini adalah mengapresiasi pemerintah bila kebijakan yang dijalankan berguna dan mengkritiknya tanpa segan ketika kebijakan pemerintah melenceng dari kemaslahatan bersama.
Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan:
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”
Al-Ghazali dalam pernyataan itu seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama memperlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.
Indonesia adalah sebuah nikmat yang sangat penting. Kita bersyukur dasar negara kita senapas dengan substansi ajaran Islam. Kemerdekaan memang belum diraih secara tuntas dalam segala bidang. Namun, itulah tugas kita sebagai warga negara yang baik untuk tak hanya mengeluhkan keadaan tapi juga harus turut serta memperbaikinya sebagai bagian dari ekspresi hubbul wathan.
Semoga Allah subhânahu wata‘âlâ senantiasa menjaga negara dan agama kita dari malapetaka hingga bisa kita wariskan ke generasi-generasi berkutnya. Wallâhu a‘lam bi showab. (*)