×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sang Kiai dan Proklamasi Kemerdekaan RI

Friday, August 16, 2019 | 08:46 WIB Last Updated 2019-08-16T01:46:13Z

HAJIMAKBUL.COM - Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Jumat 9 Ramadhan 1364 Hijriyah atau 17 Agustus 1945 benar-benar anugerah Ilahiyah. Karunia dari Allah SWT.

Dan para ulama pesantren sangat berperan dalam menyiapkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI. Para ulama ada yang ikut bertempur mengusir penjajah di medan peperangan. Ada pula yang menempuh jalur diplomasi. Adu cerdas bersiasat di medan diplomatik untuk meyakinkan dunia bahwa bangsa Indonesia harus merdeka. Para ulama ini mendampingi para pejuang nasionalis seperti Bung Karno,  M. Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain,  termasuk ihtiar secara spiritual. Bermunajat kepada Allah, Tuhan Rabbul Izzati, yang maha penentu kemenangan.

Para pejuang nasionalis tahu pasti peran sentral ulama ini. Karena itu, mereka pun  sowan untuk minta petunjuk atau arahan ke para kiai dan ulama. Mereka pun mengunjungi KH Muhammad Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang Jawa Timur. Ketika Bung Karno dan kawan-kawan hendak memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia mereka sowan Kiai Hasyim Asy’ari.

Selanjutnya Kiai Hasyim Asy’ari memberi masukan kepada Bung Karwo dan para pejuang lain, bahwa   proklamasi dikumandangkan pada  Jumat di bulan Ramadhan. Jumat merupakan Sayyidul Ayyam(penghulunya hari), sementara Ramadhan adalah Sayyidus Syuhur (penghulunya bulan).

Dan  hari bersejarah itu  tepat pada Jumat 9 Ramadhan 1364 H. Hari di mana dalam penanggalan Masehi bertepatan dengan  tanggal 17 Agustus 1945.

Aguk Irawan MN dalam "Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari" (2012) menyatakan, bahwa saat itu awal Ramadhan bertepatan dengan tanggal 8 Agustus.  Utusan Bung Karno datang menemui KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan hasil istikharah para kiai tentang sebaiknya tanggal dan hari apa paling afdol untuk memproklamirkan kemerdekaan?

Maka  dipilihlah hari Jumat tanggal 9 Ramadhan  1364 H atau 17 Agustus 1945 tersebut. 

Begitu mendapat kepastian dari Langit melalui para Kiai,  Bung Karno dan ribuan orang yang berada di lapangan saat itu, dalam keadaan berpuasa, serentak semua berdoa dengan menengadahkan tangan ke Langit untuk memohon keberkahan dan kemerdekaan negeri ini. Masih ada waktu menuju hari yang dijanjikan itu. Semua orang bergerak melakukan ihtiar menuju hari kemenangan tersebut.

Bukan hanya spiritual. Sang Kiai, Mbah Hasyim, sebelumnya juga melakukan diplomasi internasional. Sahabat Beliau semasa belajar di Makkah (Hijaz) yang memang saat itu sering surat-menyurat, yakni Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, mufti besar Palestina, sudah merespon keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka dengan bantuan diplomatiknya. Untuk pertama kalinya Beliau memberikan dukungan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Mbah Hasyim, KH Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbullah, dan tokoh-tokoh lainnya juga semakin gencar melakukan langkah diplomasi.  KH Hasyim Asy’ari sendiri terus melakukan korespondensi dengan Syekh Al-Amin Al-Husaini. 

Saat itu, janji kekaisaran Jepang untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini.

Sampai pada 3 Oktober 1944, seperti ditulis Choirul Anam dalam "Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010)", Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul Muqadas Yerusalem yang ketika itu juga menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia, mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.

Kawat teguran tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar secepatnya mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang 50 juta di antaranya bergama Islam. Kongres Islam se-Dunia kemudian menekan Jepang untuk segera mengusahakan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Atas teguran tersebut, Kuniki Koiso berjanji akan mengusahakan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Beliau selaku Ketua Masyumi menerima tindasan kawat teguran tersebut.

Menyikapi kawat teguran tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari berbagai golongan umat Islam dari sejumlah organisasi pada 12 Oktober 1944.

KH Hasyim Asy’ari selaku pemimpin NU dan Masyumi segera membalas kawat tindasan Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini yang telah membantu bangsa Indonesia dengan menegur Perdana Menteri Jepang Kuniki Koiso tersebut.

Para Ulama juga terlibat dalam pertempuran. Khususnya dalam mengatur strategi perang. Kiai Hasyim dibantu para kiai lain juga menyiapkan pasukan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk mengantisipasi kemungkinan perang pasca kemerdekaan diproklamirkan.

Kemungkinan tersebut terjadi, sebab tentara NICA Belanda yang menumpang Sekutu hendak kembali menguasai Indonesia setelah Jepang takluk kepada tentara Sekutu.  Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menggelegar ke segenap penjuru dunia juga karena peran Ulama dan para santri.


Bersama seluruh rakyat Indonesia mereka berhasil menumpas agresi militer Belanda II. Alhamdulillah,  kemerdekaan yang sudah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 berhasil dipertahankan. Kini, para generasi penerus bangsa harus mengisi kemerdekaan, dengan perjuangan yang lebih dahsyat lagi. Demi Indonesia yang berjaya. Dengan kreasi, inovasi, untuk kemakmuran negeri tercinta ini. Semoga!


 (Huda Sabily/Fathoni/nu.or.id)
×
Berita Terbaru Update