Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (al-Isrâ’/17:32).
Abdul Azis
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Abdul Aziz, membuat heboh dunia akademik dan hukum Islam. Disertasinya berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” viral di dunia maya sehingga memicu kontroversial di masyarakat. Mahasiswa program doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu pun banjir kecaman. Begitu pula UIN Sunan Kalijaga. Sebagai kampus berlabel Islam, UIN dihujat lantaran meloloskan disertasi tersebut. Lagi-lagi kampus Islam direcoki pemikiran kelam.
HAJIMAKBUL.COM – Akhirnya Abdul Azis meminta maaf kepada umat Islam karena disertasinya yang kontroversial. Dia pun berjanji merevisi disertasinya tersebut. Bahkan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memastikan ijazah Abdul Aziz tidak akan diserahkan sebelum revisi disertasinya disetujui.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof Yudian Wahyudi, saat dihubungi Rabu (4/9/2019), mengatakan, Abdul Aziz sudah menarik kesimpulannya. Dia juga kan melakukan perubahan seperti yang disarankan saat ujian disertasi.
“Kami akan rapat lagi dengan promotor untuk melakukan beberapa hal. Pertama kami tidak akan menyerahkan ijazah sebelum revisinya betul-betul disetujui oleh para penguji," katanya.
Yudian menjelaskan selama ini pihaknya telah mengingatkan Abdul Aziz akan kerentanan disertasinya menjadi problematika. Apalagi, menurut dia, konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur -warga Suriah yang pernah menetap lama di Rusia - yang menghalalkan seks di luar nikah merupakan hal yang menyimpang.
"Saya katakan, jika masyarakat, seperti kata Syahrul, itu menerima, bagi saya tetap harus mendapatkan legitimasi dari ijma atau konsensus ulama. Artinya konsep itu draftnya perlu dikirimkan ke MUI misalnya dan pihak-pihak terkait. Ya, kalau kita orang Islam. ya di NU, Muhammadiyah, ke partai misalnya PPP. Baru kalau draft itu disetujui dikirimkan ke DPR untuk diajukan sebagai prolegnas," katanya.
Artinya MUI, ormas Islam, dan DPR harus menyetujui. Namun bila tidak setuju, teori ini tidak bisa diterapkan di negara ini. Bila dipakai persyaratannya sangat berat. “Dan oleh Syahrur itu dibuang semua," ujar Yudian.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya mengkritik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang memberi tempat untuk disertasi Abdul Aziz itu. Namun, harus dipahami, bahwa proses tahapan disertasi sebanyak tiga kali. Saat itu Abdul Azis sudah diingatkan kalau itu rentan bermasalah. “Tapi rupanya si penulis ini bersikukuh sampai sebetulnya pada waktu sidang terbuka itu kami ibaratnya kayak orang kelahi dah lawan dia itu," kata Prof Yudian Wahyudi.
Dia mengatakan pihaknya sejak awal sudah meminta Abdul Aziz untuk mengubah disertasinya. Namun, Abdul Aziz berkukuh untuk tetap melanjutkan disertasinya. "Orang ini kan bahasa gampangnya keras kepala. Itu kan dalam ujian promosi sudah kita ingatkan, judul itu banyak problematikanya. Poin-poin yang terkait dengan konsep kunci yang namanya 'milk al-yamin' itu sudah dihabisi betul oleh para penguji bahwa itu salah. Nah tapi ketika kita sudah press rilis dia malah ngomong itu lagi di televisi, ya meledak lagi," tuturnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut disertasi itu mengandung cacat. Hal ini karena disertasi itu tidak menggunakan ilmu tafsir yang terverifikasi. "Secara akademis umum mungkin memenuhi syarat karena mengikuti metodologi penulisan karya ilmiah. Namun menurut saya ada 'cacat' karena riset kepustakaan ini menggunakan pisau analisis hermeneutika, bukan ilmu tafsir yang mu'tabar (terverifikasi). Padahal ini UIN, Sekolah Pasca Agama Islam," kata Ketua Komisi Hukum di MUI Pusat, Mohammad Baharun.
"Ayat 'milk al-Yamin' dibaca secara tekstual, tanpa dikaitkan secara kontekstual dengan rangkaian ayat perbudakan di masa jahiliah yang diusahakan dihapus secara berangsur tatkala Islam hadir," katanya.
Selain itu, Mohammad Baharun menejelaskan, untuk menafsirkan Al-Quran tidak boleh menggunakan metode hermeneutika. Penafsiran mesti sesuai dengan As-Sunnah. “Ulama sepakat tidak boleh menafsirkan Al-Qur'an dengan metode hermeneutika (takwil bebas) melainkan dengan As-Sunnah (praktik Nabi SAW) dalam menerjemahkan dan mengamalkan teks-teks Al-Qur'an dan ilmu tafsir yang disepakati ulama," ujarnya.
Dia menuturkan perbudakan dalam konsep 'milk al-yamin' itu merupakan kepemilikan. Umumnya budak didapatkan dari hasil membeli atau rampasan perang. Maka penghapusan untuk memerdekakan pun dikaitkan sebagai pengganti pembayaran denda atas pelanggaran atau jika dinikahi maka otomatis budak juga merdeka. Hal ini, kata dia, adalah upaya Islam untuk menghapus perbudakan secara berangsur-angsur.
"Nabi sendiri pernah memerdekakan budak bukan dengan cara nonmarital, tapi tetap dengan marital (pernikahan). Karena beliau pernah menegaskan bahwa 'nikah itu sunnahku, siapa yang berpaling dari sunnahku, bukan golonganku'," imbuhnya.
Selain MUI, PP Muhammadiyah juga berkomentar. Muhammadiyah menyebut pencetus konsep tersebut bukan ulama. "Saya kira Muhammad Syahrur (pencetus ide 'seks di luar nikah halal' yang dibahas di disertasi Abdul Aziz) itu bukan ulama. Ya apa pun yang dikatakannya, tidak memengaruhi penafsiran. Kalau dia mengemukakan suatu pandangan, pandangannya dipengaruhi oleh keadaan di mana dia tinggal. Dulu dia tinggal di Rusia," kata Ketua Bidang Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Dadang Kahmad saat dihubungi kemarin.
Dadang juga menjelaskan Muhammad Syahrur, pencetus konsep 'milk al-yamin' yang menjadi dasar seks halal di luar nikah itu, merupakan doktor di bidang ilmu teknik. Maka, menurutnya, Syahrur tak begitu berpengaruh legitimasinya untuk menafsirkan ayat Al Quran. “Dia kan doktor teknik. Bukan keluaran bidang agama. Jadi legitimasi dia untuk penafsiran tidak begitu berpengaruh. Kan syarat penafsiran itu misalnya seperti penguasaan bahasa Arab, kontekstual kegamaannya, dan berbagai aspek. Dia kan tinggal di Rusia, negara Barat di mana dia melihat pergaulan di sana," imbuhnya.
Berdasarkan penelusuran, dikutip dari buku The New Voices of Islam karya Mehran Kamrava, Muhammad Syahrur merupakan seorang intelektual yang lahir di Damaskus, Suriah, pada 1939. Dia pernah mengenyam pendidikan teknik jenjang PhD di Universitas Nasional Irlandia. Selain itu, dia merupakan Professor Emeritus Teknik Sipil di Universitas Damaskus. Meski bukan lulusan di bidang agama Islam, dia memang dikenal kerap menulis soal agama Islam. Salah satu bukunya yang tersohor berjudul “The Book and The Quran: Contemporary Reading”. Orang inilah kemudian ditiru Abdul Azis.
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Noorhadi Hasan, mengungkapkan ada sejumlah problem dalam disertasi Abdul Aziz sehingga disertasi tersebut harus direvisi. Dia menyebut beberapa pertimbangan etika dan norma yang mendorong agar disertasi Abdul Aziz perlu dirombak.
"Problematika utama disertasi ini terletak pada upaya penulis menjustifikasi konsep Milk al-Yamin dalam konteks kehidupan sekarang. Ini melanggar prinsip dasar akademis," ujar Noorhadi di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, kemarin.
Noorhadi berpendapat bahwa seorang mahasiswa doktoral yang mengerjakan disertasi hanya bertugas sebagai pemikir. Sehingga tidak perlu memberikan rekomendasi-rekomendasi praktis. Karena itu terjadi pelanggaran prinsip dasar akademik yang dilakukan oleh Abdul Aziz. “Pertimbangan etika dan norma publik menjadi common sense masyarakat Indonesia sehingga disertasi harus direvisi," ujarnya.
Noorhadi menjelaskan jika melihat proposal awal disertasi, Abdul Aziz seharusnya fokus pada pembahasan terkait analisis dan kritik kepada konsep pemikiran Muhammad Syahrul. Abdul Aziz, sambung Noorhadi, seharusnya melakukan kajian konteks sejarah, budaya dan kondisi politik hingga lahirnya konsep Milk al-Yamin oleh Muhammad Syahrur.
Merugikan Perempuan
Sebelumnya pihak UIN Sunan Kalijaga telah pula melakukan klarifikasi atas disertasi Abdul Aziz tersebut. Klarifikasi yang dilakukan pada Jumat, 30 Agustus 2019 lalu menghadirkan ketua sidang ujian terbuka doktoral Abdul Aziz yaitu Profesor Yudian Wahyudi yang juga merupakan Rektor UIN Sunan Kalijaga. Selain itu hadir pula dua orang promotor dan empat orang penguji.
Yudian Wahyudi menerangkan jika konsep Milk al-Yamin bila dipakai di Indonesia justru akan menghancurkan negara. Yudian menilai jika pemikiran Muhammad Syahrur akan berbahaya jika diterapkan di Indonesia.
"Itu (pemikiran Muhammad Syahrur yang dibahas lewat disertasi Abdul Aziz) sangat berbahaya kalau dilegalkan. Itu bisa meruntuhkan negara dari dalam. Itu harus diingat karena kami harus merombak dan meruntuhkan negara dengan melegalkan perkawinan tanpa syarat. Ini berarti akan menghancurkan negara," ujar Yudian.
Disertasi ini diuji dua promotor dan lima penguji pada 28 Agustus 2019. Mereka terdiri dari tiga profesor dan empat doktor. Selain Prof Khoiruddin Nasution dan Dr.phil. Sahiron MA, penguji lainnya adalah Dr Alimatul Qibtiyah. Para penguji menyampaikan kritik dan dibeberkan dalam rilis tertulis tiga hari setelah disertasi diujikan.
Alimatul Qibtiyah dalam rilisnya mengkritisi disertasi pemikiran Syahrur itu dari perspektif gender. Menurutnya, pemikiran Syahrur terkait milk al-yamin dari kacamata gender sangat problematis. Sebab perspektif yag digunakan lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh 'dinikahi' secara nonmarital, di mana nikah hanya untuk kepuasan seksual. Namun tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama, kesehatan, reproduksi, hak-hak anak, dan hak-hak perempuan dari pernikahan nonmaritalnya.
Sementara hakikat pernikahan yang dipahami jumhur ulama yakni perjanjian yang sakral dan kuat serta berdasar konsep kesalingan, tidak sekadar menghalalkan hubungan seksual. Karenanya pernikahan nonmarital tidak sesuai dengan pemahaman kebanyakan ulama. Pernikahan nonmarital yang diprediksi mengurangi praktik poligami, sebenarnya justru menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk lain, legalitas perselingkuhan, sehingga argumen ini menjadi bermasalah. Karenanya Alimatul sempat meminta Abdul Aziz menambah judul disertasinya dengan kata problematika. Sebab semangat Al Quran melindungi perempuan dan menghapuskan perbudakan.
"Disebutnya milk al-yamin dalam Al Auran sebanyak 15 kali menunjukkan bahwa masalah perbudakan, khususnya budak perempuan, adalah masalah serius karena menjadi perempuan tidak diakui kemanusiaannya, tidak mendapat akses ekonomi, menjadi objek seksual dan tidak punya otomoni terhadap tubuhnya sendiri," katanya.
Karena itu dia menambahkan tidak sepatutnya justru dicari bentuk perbudakan baru dengan konsep 'pernikahan nonmarital yang berorientasi pemenuhan hubungan seksual, dan mengabaikan hak-hak perempuan dan anak. Terkait disertasinya yang jadi polemik, Abdul Aziz sudah meminta maaf dan akan merevisi sehingga tidak menjustifikasi hasil penelitiannya untuk diterapkan. * det/vvn