HAJIMAKBUL.COM - Tidak ada di dunia ini daerah berjuluk Serambi Makkah kecuali Aceh. Mengapa? Ya, karena hanya Aceh yang mengait dengan tanah suci. Hampir semua jamaah haji di masa lalu selalu melewati Aceh. Selain itu banyak tokoh Aceh juga bermukim di Makkah dan Madinah. Dua daerah ini memiliki hubungan sangat dekat.
Dan menjelajahi Aceh, rasanya tidak lengkap jika belum berlabuh di Pulau Sabang. Kota dengan sejuta keindahan bahari dan juga kaya sejarah. Termasuk sejarah haji Indonesia. Di Sabang, pusat karantina haji menjadi salah satu destinasi wisata yang patut dikunjungi. Gedung ini terletak di tengah pulau Rubiah, Sabang. Lokasinya sekitar 150 meter dari dermaga Pulau Rubiah yang merupakan surga snorkling bagi wisatawan.
Pada masa awal pembangunannya, ada beberapa gedung yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektare pada pulau tersebut. Namun, saat ini hanya tersisa dua bangunan tua yang sudah tidak terawat, sedangkan bangunan lainnya telah lapuk oleh usia serta telah melewati berbagai fenomena.
Meskipun sudah tidak terawat, namun bangunan tua tersebut masih menyimpan sejumlah bukti sejarah tentang perhajian dan penerapan karantina di tanah air pada masa Hindia Belanda.
Sebab itu, karantina haji bukan istilah baru di Indonesia. Di masa Hindia Belanda, jamaah haji yang akan berangkat dan pulang dari Makkah akan menetap dulu di pusat karantina selama lebih kurang 1 bulan.
Berdasarkan berbagai rujukan, ada dua lokasi karantina haji di masa itu, yaitu Rubiah dan Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Pulau Rubiah menjadi pusat karantina bagi jamaah haji Aceh dan daerah lainnya di Sumatera. Sedangkan Onrust, menampung jamaah haji di Pulau Jawa. Pusat karantina haji Pulau Rubiah, Sabang, Aceh merupakan tempat karantina haji pertama di Indonesia dan termewah pada masanya. Bangunan haji di ujung barat Indonesia itu telah berdiri sejak masa kolonial pada tahun 1920 silam.
Pertengahan 2019 lalu, tim Kemenag Aceh berkesempatan melakukan observasi pusat karantina haji di Rubiah. Dalam kunjungannya, Kemenag Aceh menemukan gedung tersebut sudah tidak terawat dan telah ditumbuhi ilalang di sekitarnya.
Salah satu narasumber yang ditemui tim Kemenag Aceh, Teuku Yahya, yang merupakan salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di Pulau Rubiah, menceritakan, bahwa awalnya bangunan karantina haji yang dibangun pada zaman kolonial itu menyediakan berbagai fasilitas lengkap seperti penginapan, rumah sakit, laundri, kamar mandi, dan listrik.
Saat itu, kata Yahya, gedung karantina haji juga merupakan tempat transit bagi jamaah haji yang akan berangkat ke tanah suci melalui jalur laut. Para jamaah terlebih dulu menginap di Pulau Rubiah, baru nantinya akan diantar dengan kapal menuju kapal yang besar.
"Gedung karantina haji ini dibangun memadati lebih dari setengah Pulau Rubiah, tersedia rumah sakit dan fasilitas laundry juga tersedia dalam gedung tersebut," katanya.
Proses pemberangkatan jamaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1- 2 bulan sebelum keberangkatan dan kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan.
Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.
Dia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.
"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," kata Albina saat ditemui tim Kemenag Aceh pada 2019 silam.
Karantina yang diterapkan selama 40 hari, jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah Corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.
"Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang,” kata Albina.
Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.
Baru pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.
"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan," ujarnya.
Sejak saat itu, Pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji. (Inmas Aceh)