Oleh Imam Shamsi Ali*
KITA masih di seputar pengadilan Ibrahim AS oleh raja Namrud. Pada bagian lalu disebutkan bahwa kelihaian Ibrahim dalam berargumentasi, tentu karena intelijensia dan skill komunikasi yang dimilikinya, menjadikan sang raja mengakui kesalahan.
Hanya saja pengakuan itu terselubung oleh keangkuhan kekuasaan. Sehingga pengakuan itu hanya pada kata hati yang memang tak akan pernah bisa diingkari oleh siapapun.
Di situlah seperti pada lazimnya di berbagai tempat dan zaman. Ketika kekuasaan tersudutkan dalam “intellectual exchange” (perdebatan secara akal atau ilmu) maka yang akan dikedepankan adalah kekuatan atau kekerasan. Karenanya dengan amarah raja itu berteriak: “bakar dia (Ibrahim) dan tolonglah tuhan kalian” (Al-Ambiya: 68).
Pengikut setia raja itu mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Dan api yang sangat besar (dahsyat) pun disiapkan. Konon kabarnya, saking besar dan panasnya api itu, tak seorangpun yang bisa mendekatinya. Maka untuk memasukkan Ibrahim ke onggokan api tersebut mereka harus menembakkannya melalui sebuah katapel.
Di sìnilah kemudian sekali lagi Allah menguji ketahanan iman seorang hambaNya. Di saat-saat akan ditembakkan ke dalam api itu malaikat-malaikat dari langit berbaris menawarkan bantuannya. Tapi Ibrahim menolak tawaran mereka. Justeru di saat-saat kritis itu Ibrahim sepenuhnya hanya berserah diri kepada Yang Maha menguasai langit dan bumi.
Kekuatan iman itu bersambut. Allah tiba-tiba memerintahkan api itu untuk berubah dari panas yang membakar menjadi dingin dan nyaman “spesial” bagi Ibrahim AS. Api itu berubah tabiatnya dari panas dan membakar menjadi dingin dan menyenangkan bagi Ibrahim AS.
Penggalan kisah ini mengajarkan banyak hal. Tapi tiga hal yang terpenting.
Pertama, betapa kekuasaan yang tidak adil itu sangat rapuh dan kerap kali terbangun di atas irrasionalitas. Dan kekuasaan yang rapuh itu jika tersudutkan akan berubah menjadi ganas, bahkan kekerasan. Tabiat kekuasaan seperti ini selalu berulang dari masa ke masa dalam sejarah manusia.
Kedua, bahwa ada masa-masa dalam hidup ini di mana manusia tidak lagi memiliki daya apa-apa. Walaupun pada keadaan apapun dan bagaimanapun manusia sejatinya memang lemah dan serba terbatas. Tapi di saat-saat terdesak seperti ketika Ibrahim akan dilempar ke dalam api itu, manusia akan lebih tersadarkan akan “kemutlakan” Kuasa Allah dalam hidupnya.
Itulah yang disadari ibrahim sehingga kepada malaikat pun beliau tegaskan tidak memerlukan pertolongannya. Tapi dari Allah semata. Dan itu pula sebuah penegasan yang orang-orang beriman ikrarkan setiap hari: “kepadaMu (semata) kami menyembah dan dariMu (semata) kami memohon pertolongan” (Al-Fatihah).
Ketiga, keikhlasan (kemurnian) dalam akidah menjadi jalan luas yang terbuka bagi pertolongan Allah. Dan pertolongan itu wujudnya kerap berbalik dari realita pemahaman (beyond comprehension) manusia. Api bisa berubah jadi tempat yang dingin/sejuk dan nyaman jika Allah berkehendak.
Bagi kami Komunitas Muslim di Amerika hal seperti ini menjadi motivasi dalam langkah perjuangan dakwah. Bagaimana peristiwa 9/11 di tahun 2001 misalnya dianggap kuburan bagi Islam dan dakwah di Amerika. Tapi Allah membalik realita itu justeru menjadi pintu bagi dakwah dan perkembangan Islam.
Saya Pergi ke Tuhanku
Setelah peristiwa ini berlalu Ibrahim AS kemudian harus meninggalkan tanah kelahirannya. Tentu itulah memang kehendak Allah. Selain karena di daerah itu memang tidak lagi kondusif untuk berdakwah, juga ancaman bagi Ibrahim sangat besar.
Dalam Al-Quran disebutkan Ibrahim mengatakan: “Sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku” (Shoffat: 99).
“Aku pergi ke Tuhanku” ini barangkali sebuah penggambaran urgensi hijrah dalam kerangka dakwah. Artinya dakwah itu menuntut pergerakan (harokah) sebagai esensi hijrah. Maka Ibrahim dalam melanjutkan perjuangan dakwahnya harus pindah dari Babylon menuju kota Jerusalem.
Proses perpindahan ini pun memerlukan perjuangan yang penuh tantangan. Mulai dari perjalanan yang penuh tantangan dan bahaya. Sampai-sampai isteri tercinta Beliau, Sarah, hampir direbut oleh seorang raja di sebuah perbatasan negeri. Konon kabarnya raja ini memiliki mentalitas aneh. Senangnya merebut wanita yang sudah bersuami.
Singkat cerita, Allah selalu berada di pihak hambaNya yang beriman. Sarah selamat. Bahkan sang raja itu terkagum kepada Ibrahim maka dia memberinya seorang budak sebagai hadiah. Itulah Hajar yang menurut sebagian riwayat Beliau adalah seorang wanita yang bertipe Afrika.
Sebuah pelajaran penting sekali lagi. Bahwa betapa Allah pasti memberikan yang terbaik ketika hambaNya tegar menghadapi tantangan-tantangan yang ada, tiada goyah dalam keimanan. Ibrahim yang awalnya isterinya akan direbut, justeru berakhir dengan mendapatkan wanita yang menjadi isterinya di belakang hari.
Masuklah Ibrahim ke kota suci Jerusalem. Bersama dengan isterinya dan seorang budak wanitanya. Satu hal yang harus diingat bahwa ketika itu perbudakan bukanlah sesuatu yang aneh dan salah. Menjadi tradisi pada zamannya. Seorang yang kaya atau terhormat di masyarakat tanpa budak akan dipandang hina dan miskin.
Ibrahim pun menjalani hidupnya di kota itu dari hari ke hari. Usia semakin lanjut. Isteri juga semakin tua. Sementara pengikutnya juga tidak banyak. Bahkan sesungguhnya belum kita ketahui apakah ada orang lain selain keluarganya yang mengikutinya.
Pada sisi lain Allah belum mengaruniakannya dengan keturunan (anak-anak). Hal ini tentunya menjadikan Ibrahim gelisah. Khawatir akan meninggalkan dunia ini tanpa generasi pelanjut dakwah. Isterinya pun tentunya ikut merasakan kegelisahan suaminya.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? (Berlanjut…)
Nur Inka Nusantara Madani, 24 Juli 2921
* Presiden Nusantara Foundation