Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag (Foto: riafiddatl.blogspot.com) |
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
(Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya)
لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Kamu tak akan menjumpai sekelompok orang yang beriman pada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu bapak, atau anak, atau saudara, atau pun keluarga dekat mereka. Mereka itulah orang-orang yang diberi kemantapan iman oleh Allah dalam hati mereka dan dikokohkan dengan pertolongan dari-Nya. Dan mereka dimasukkan Allah ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah senang terhadap mereka, dan mereka juga puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah hizbullah atau golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sungguh hizbullah itu adalah kelompok orang yang berbahagia. (QS. Al Mujadilah [58]: 22)
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan sifat orang-orang yang menentang Islam. Sebagai kelanjutan, ayat ini mengingatkan untuk tidak mengikuti perilaku mereka, meskipun mereka keluarga terdekat. Kita boleh menyayangi keluarga terdekat yang kafir, asalkan kasih itu tidak sampai ke tingkat “mawaddah,” yaitu kasih yang menghalangi kita bertindak tegas dalam akidah.
Melalui ayat ini, Allah memberi apresiasi para sahabat yang mengasihi keluarganya yang kafir, tapi tegas dan keras jika keluarga itu menunjukkan perlawanan fisik terhadap umat Islam. Antara lain, Abu Ubaidah ibnul Jarrah, r.a yang membunuh ayahnya pada perang Uhud; Abu Bakar, r.a yang meladeni tantangan putranya yang tertua, Abdurrahman dalam perang Badar, walaupun batal karena dicegah Nabi; Mush’ab bin Umair r.a yang membunuh saudaranya di medan perang; Sa’ad bin Abi Waqqash, r.a yang mengejar saudaranya, walaupun tak berhasil membunuhnya; dan masih banyak lagi.
Anda akan lebih mudah memahami ayat ini jika Anda membaca kisah Abu Ubaidah ibnul Jarrah, r.a. Ia adalah salah satu sahabat yang mendapat jaminan masuk surga. Pria yang berbadan kurus tinggi, ompong, berjenggot tipis, dan pelit bicara ini tak pernah absen berdakwah dan berperang. Dan, yang paling membanggakan adalah ketika ditunjuk Nabi sebagai panglima perang, di mana Abu Bakar dan Umar termasuk di antara pasukannya.
Dalam perang Uhud, si ompong mengawal Nabi ke mana pun pergi. Ketika hujan panah di arahkan ke muka Nabi, dua pecahan besi pelindung kepala menancap di pipinya. Maka, ia meminta ijin Abu Bakar r.a, agar ia diijinkan mencabut dua pecahan besi itu satu persatu. Setiap berhasil mencabut besi itu, satu giginya ikut terlepas. Sejak dua gigi manisnya lepas itulah, ia terkenal dengan julukan “si ompong.”
Pada perang Badar, ia menyusup ke tentara musuh, maka ia dikejar sampai jauh. Setelah ia mengambil posisi terbaik untuk menyerang, ia mengayunkan pedangnya ke tengkuk penunggang kuda yang mengejarnya, dan tersungkurlah ia mati seketika. Ternyata, ia adalah ayahnya sendiri, yang bernama Abdullah bin Al Jarrah.
Nabi SAW berkali-kali memujinya. Suatu saat, penduduk Yaman meminta pendakwah, maka Nabi mengatakan, “Sebentar lagi, saya kirim pria paling terpercaya di antara kalian (amiinul ummah), amat dan paling terpercaya.” Para sahabat, termasuk Umar r.a ingin agar dialah yang ditunjuk. Pada saat shalat zuhur, ketika Nabi mengucapkan salam penutup, Umar menonjol-nonjolkan badannya, agar ditunjuk Nabi sebagai pendakwah itu. Ternyata, Nabi menoleh ke kanan dan kiri, dan menunjuk Abu Ubaidah ibnul Jarrah, r.a.
Ketika Nabi wafat, Umar mengusulkan Abu Ubaidah sebagai khalifah, sebab ia pernah disebut Nabi sebagai “orang paling terpercaya (aminul ummah).” Tapi, menurut para sahabat, Abu Bakar r.a paling berhak, sebab Nabi pernah menunjuknya sebagai imam ketika beliau sakit. Maka, Abu Bakar terpilih, dan Abu Ubaidah dipercaya sebagai penasihatnya.
Pada masa Umar, ia diminta menyerahkan surat kepada Khalid bin Walid, panglima yang sedang berdarah-darah di medan laga, agar menyerahkan tongkat komando kepadanya. Ia tidak langsung memberikan surat itu, melainkan menunggu sampai waktu yang tepat. Ketika ditanya oleh Khalid, mengapa surat tidak langsung diserahkan kepadanya, ia menjawab, “Aku tidak ingin mematahkan tombakmu. Kita bukan pasukan gila kekuasaan dan status sosial, melainkan gila ibadah. Kita adalah bersaudara karena Allah.”
Sebagai panglima yang berhasil menguasai Syiria, ia dipercaya Umar sebagai gubernur di Syiria. Setiap kali Umar berkunjung ke negeri itu, ia berkali-kali bertanya kepada rakyat, “Mana saudaraku, Abu Ubaidah bin Jarrah.” Ketika singgah di rumah sang gubernur, Umar bertanya, mengapa tak ada satu pun perabot di rumahnya. Ia menjawab, “Itulah yang membuat hatiku tenang, dan terbebas dari pikiran tentang isi rumah.”
Karena keimanan dan perjuangan si ompong itulah, Allah menjamin kedamaian batin, pengawalan malaikat, dan kebahagiaan yang abadi dalam surga. Demikian juga para pejuang yang sejenis. Allah senang terhadap mereka, dan mereka juga senang dengan perlakukan Allah. Tidak ada kebahagian manusia melebihi senyuman Allah untuknya. Tidak lama kemudian, ia wafat, bukan di medan perang, melainkan di rumah karena serangan wabah penyakit menular di negeri itu. Ia dimakamkan di Yordania.
Ayat ini saya uraikan pada masa pandemi dengan dua pertimbangan. Pertama, agar kita terus berusaha membuat sejarah perjuangan yang layak dicatat dalam lembaran emas sejarah. Kedua, wabah penyakit tidak pandang bulu menyerang siapa pun, baik ia dekat atau jauh dari Allah, sebab sebaran wabah adalah sunnatullah. (*)
Sumber: (1) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 13, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 512-513 (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 28, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 38-42 (3) Khalid, Muhammad Khalid, Rijalun Haular Rasul (Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah), CV Diponegoro, Bandung, Cet VI, 1988, p. 287-295
(sumber; terapishalatbahagia.net)