×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Membaca Tafsir Kiai Masdar Tentang Waktu Haji

Friday, July 16, 2021 | 02:20 WIB Last Updated 2021-07-15T19:24:57Z



Oleh Alfian Ihsan*


PEMERINTAH Arab Saudi telah mengeluarkan pengumuman secara resmi bahwa pelaksanaan ibadah haji 2021 hanya untuk orang yang berada di wilayah Arab Saudi. Itu pun dilakukan dengan jumlah yang sangat terbatas, protokol kesehatan yang super ketat, dan minimal biaya pelayanan sebesar 13 ribu riyal atau setara dengan 52 juta rupiah.


Hal ini tentu membuat sedih dan kecewa banyak umat Islam dari luar Arab Saudi yang sudah sangat rindu untuk melakukan ibadah haji, tidak terkecuali umat Islam di Indonesia. Artinya sudah dua tahun berturut – turut Arab Saudi tidak menerima jamaah haji dari luar negeri.


Tentu ini membuat antrean jamaah semakin lama, karena calon jamaah yang seharusnya berangkat tahun 2020 harus mundur dua tahun untuk bisa berangkat. Semoga saja pandemi segera membaik dan calon jamaah bisa segera berangkat pada tahun 2022. Aamin.


Satu tahun lalu, PBNU merespon pembatasan ibadah haji akibat pandemi bukan dengan kritik terhadap pemerintah Indonesia atau pemerintah Arab Saudi. Namun dengan menyelenggarakan Webinar yang kini masih bisa Anda saksikan di 164 channel yang bertajuk “Kiai Masdar Menawar: Waktu Haji Perlu Ditinjau Ulang?".



Kiai Masdar Farid Mas’udi saat ini merupakan salah satu Rois Syuriah PBNU. Beliau lahir di Jombor, kelurahan Cipete, kecamatan Cilongok, Purwokerto pada tahun 1954. Beliau lahir dari pasangan KH. Mas’udi bin Abdurrahman dan ibunda Hj. Hasanah. Kakeknya adalah Kiai Abdurrahman Jombor dikenal sebagai pengampu pesantren salaf yang dirintis oleh Mbah Kiai Abdusshomad.


Sebenarnya pemikiran Kiai Masdar Farid ini sudah dimulai sejak tahun 1990 setelah terjadi tragedi di terowongan Mina yang menewaskan 1.426 jamaah haji. Panjangnya lorong menuju jamarat (tempat lempar jumrah) dan minimnya jumlah ventilasi membuat jamaah saling dorong agar segera sampai di jamarat. Tragedi ini terulang lagi pada tahun 2004 dengan korban jiwa 251, tahun 2006 dengan korban jiwa 362 jamaah dan tahun 2015 dengan korban jiwa sebanyak 453 jamaah.


Selain beberapa tragedi tersebut, ada beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan ibadah haji yang menghilangkan makna dari ibadah haji. Menurut Kiai Masdar, Haji ditempatkan sebagai rukun Islam yang terakhir karena merupakan puncak dari keberislaman seseorang, sesuatu yang paripurna tentu sarat dengan makna.


Ibadah haji merupakan aktivitas ibadah yang merepresentasikan konsep hubungan manusia dengan lingkungan semesta dan penciptanya. Juga merupakan ibadah napak tilas asal usul manusia (Adam-Hawa) dan asal usul sejarah spiritualitas (Ibrahim).


Karena merupakan sebuah ibadah napak tilas, maka membutuhkan penghayatan rohani yang benar – benar serius dan keaslian tempat bersejarah saat pertama kali ibadah haji dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. Namun kita tahu kini keaslian tempat bersejarah ini hampir semuanya berubah. Masjidil Haram yang semakin diperlebar, Bukit Shafa Marwa yang terkubur oleh marmer, Jamarat yang ditinggikan hingga empat lantai, Muzdalifah dan Arafah yang dilebarkan.


Belum lagi apabila melihat bagaimana orang selalu berdesakan dalam melakukan Thawaf dan Sa’i. Menurut pengalaman penulis ini mengurangi suasana kebatinan dan spritualitas dalam melaksanakan ibadah. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh KH Mustofa Bisri, “Apa nilai ibadah seseorang jika harus menyakiti orang lain dalam melakukan ibadah?”


Ayat Waktu Haji


Untuk mengatasi permasalahan manajemen pelayanan haji dan semakin hilangnya makna spiritualitas, Kiai Masdar kemudian meninjau kembali terkait pelaksanaan waktu ibadah haji. Beliau berpedoman pada surat Al-Baqarah ayat 197


“ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ” 


Yang artinya “Ibadah haji itu adalah tiga bulan yang dimaklumi”.


Ayat al-Qur’an ini secara terang benderang dan definitif (qath’i) menegaskan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah jelas; dan bukan hanya beberapa hari. Tidak seorang ulama pun yang berbeda pendapat bahwa bulan-bulan haji yang dimaksud adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Perbedaan kecil hanya terjadi menyangkut cakupan hari dari ketiga bulan tersebut.


Jika banyak ulama sepakat bahwa tiga bulan tersebut adalah asyhurun ma’lumat, maka seluruh prosesi manasik haji, termasuk umrah-haji, sah dilaksanakan secara berurut (tertib) pada hari-hari mana saja selama tiga bulan tersebut.


Dalam teori Fiqh, ada dua kategori terkait dengan waktu pelaksanaan ibadah: Pertama, ibadah dengan waktu yang terbatas (mudayyaq), pas-pasan. Misalnya puasa Ramadlan. Ibadah ini hari-hari pelaksanaannya tidak lain adalah hari-hari selama bulan Ramadlan itu sendiri.


Kedua, adalah ibadah dengan konsep waktu longgar (muwassa’). Yakni aktivitas ibadah dengan alokasi waktu yang lebih panjang dari yang dibutuhkan. Masuk kategori waktu muwassa’ ini adalah waktu shalat, zakat dan haji.


Pembayaran zakat cukup beberapa menit, tapi waktu yang disediakan syara‟ sepanjang bulan Ramadlan untuk zakat fitrah atau sepanjang tahun untuk zakat mal. Begitu juga dengan shalat yang hanya membutuhkan waktu 5 – 10 menit, namun alokasi waktunya membentang dari 1 jam (untuk maghrib) hingga 9 jam (untuk Isya’).


Bahwa Rasulullah SAW sering melaksanakan shalat Isya’ dan shalat wajib yang lain pada kesempatan pertama di awal waktu, adalah benar. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak berarti bahwa hanya pada menit- menit pertama di awal waktu shalat sah dilaksanakan, sementara di luar itu tidak sah.


Haji pun demikian; untuk pelaksanaannya membutuhkan waktu 7 hari saja, tapi waktu yang disediakan dan sah untuk menunaikannya adalah tiga bulan. Untuk ibadah dengan konsep waktu terbatas (mudayyaq), maka seluruh rentang waktu disebut ”waktu pelaksanaan” (waqt al-ada). Puasa Ramadhan misalnya, selama dan hanya pada hari-hari bulan Ramadhan itu sajalah puasa Ramadhan sah dilaksanakan.


Sementara ibadah dengan konsep waktu longgar (muwassa’) seperti shalat, zakat dan haji, mengenal apa yang disebut waktu keabsahan (waqt as-sihah) dan waktu keutamaan (afdla’liyat). Waktu afdla’liyat untuk shalat adalah menit-menit pertama di awal waktu, sementara waktu afdlaliyah (prime time) untuk haji adalah hari-hari tanggal 8,9,10,11,12,13 bulan Dzulhijah.


Di waktu afdla’liyat inilah Rasulullah suka menjalankan shalatnya sehari-hari, dan menjalankan ibadah hajinya yang hanya ditunaikan sekali seumur hidup beliau. Dengan demikian, bukan berarti pelaksanaan shalat di luar menit-menit pertama, atau ibadah haji di luar hari-hari tanggal 8 s/d 13 Dzulhijjah, tidak sah. Hanya afdla’liyat atau keutamaannya saja yang kurang.


“Al-Hajju Arafah”


Oleh banyak ulama, hadits ini dimaknai bahwa melaksanakan ibadah haji dimulai sejak hari Arafah. Kiai Masdar pun demikian, dengan sedikit penambahan bahwa berhaji atau wukuf di hari Arafah adalah waktu yang paling afdhal, istimewa.


Beliau menambahkan bahwa “Arafah” pada hadits tersebut juga bisa dimaknai sebagai tempat wukuf, bukan semata mengenai waktu. Kiai Masdar menegaskan bahwa tidak ada satu nash (teks) baik ayat al-Qur’an maupun hadits Rasul, bahkan yang dhaif sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak sah untuk menunaikan ibadah haji diluar tanggal 8 s/d 13 Dzulhijjah.


Kekuatan ayat Al-Baqarah 197 tentang waktu haji yang tiga bulan, tidak bisa dilemahkan apalagi dibatalkan oleh hadits apa pun. Ia hanya bisa dinasakh atau dibatalkan oleh nash (teks) dengan derajat kepastian wurud dan dalalah yang setara (qath’iyyul wurud wa aldalalah), atau lebih. (*)


Penulis : Alfian Ihsan, Sekretaris PC GP Ansor Arab Saudi 2017-2019.

Naskah artikel ini diambil dari pcinu-arabsaudi.net. 


×
Berita Terbaru Update