Oleh Imam Shamsi Ali*
TULISAN ini tulisan bersambung sejak Idul Adha beberapa waktu yang lalu. Berhubung karena beberapa hal lainnya akhirnya tulisan ini terhenti. Ini adalah bagian terakhirnya.
Pada bagian lalu dijelaskan bagaimana soliditas iman Ibrahim dan Hajar ketika tanpa keraguan sedikit pun melaksanakan perintah Allah. Ibrahim meninggalkan isteri dan anaknya yang masih bayi di lembah yang ganas itu.
Sebelum meninggalkan mereka kembali ke Jerusalem, Ibrahim berhenti sejenak di balik sebuah pegunungan Makkah untuk menyampaikan beberapa permintaan kepada Allah SWT. Di antara doa itu adalah agar Allah menjadikan hati-hati manusia cenderung (cinta) kepada Makkah dan agar diutus seorang rasul kepada mereka.
Perpisahan antara suami/Ayah dan isteri/anaknya itu bertahun-tahun. Tanpa terasa Ismail yang ditinggalkan Ayahnya itu mulai memasuki umur dewasa (balig). Umurnya kira-kira sekitaran 12-14 tahun. Tentu Ismail Sudah mulai remaja dan boleh saja mengalami kedewasaan yang cepat. Maklum harus mandiri tidak saja untuk membantu ibunya. Tapi dialah yang jadi pelindung bagi Ibu tercinta.
Saat itu Makkah juga mulai berpenghuni. Konon sekelompok musafir (travelers) dari kalangan suku Jurhum, sebuah perkampungan antara Yaman dan Jazirah Arab melintasi kota tua itu dan melihat adanya sumber mata air yang tak pernah habis (Zamzam). Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menetap di kota itu.
Nun jauh di seberang sana seorang Ayah (Ibrahim AS) tentu semakin merindukan pertemuan dengan anak isterinya. Maka di suatu malam dia bermimpi jika dia menyembelih anaknya (Ismail). Dia sangat sadar bahkan yakin jika itu adalah wahyu sekaligus perintah baginya untuk menyembelih anaknya tercinta.
Dengan sigap dan bersegera, tanpa keraguan dan pertanyaan, Ibrahim bermusafir kembali ke kota tua itu. Kota yang pernah dikunjunginya bertahun-tahun lalu dan meninggalkan anak isterinya di sana. Diapun tidak tahu apakah anak isterinya masih hidup. Dia hanya yakin akan penjagaan Ilahi.
Sesampai di Makkah tentu Beliau sedikit terkejut karena telah ada penghuni lain dari kota itu selain anak isterinya. Diapun segera mencari dan menemui anak satu-satunya tercinta.
Sebuah kisah yang kemudian diabadikan dalam Al-Quran, Surah As-Shoffat ayat 102: “Dan ketika dia (Ismail) telah mencapai masa untuk berusaha (balig) dia (Ibrahim) berkata: wahai anakku tercinta. Sesungguhnya saya melihat dalam tidurku jika saya menyembelihmu. Bagaimana engkau melihatnya? Dia (Ismail berkata: wahai ayahku tercinta. Lakukan apa yang diperintahkan kepadamu. Niscaya engkau akan mendapatkan aku termasuk orang-orang yang bersabar”.
Dalam kisah disebutkan bahwa Ibrahim sengaja tidak memberitahu isterinya. Tentu karena asumsi bahwa Hajar nantinya tidak akan kuat dengan ujian ini. Tentu ini penggambaran kemanusiaan Ibrahim yang terbatas. Kenyataannya Hajar begitu kuat ketika ditinggalkan bersama anaknya di Makkah.
Sementara itu Ibrahim mengajak anaknya keluar kota Makkah untuk melaksanakan perintah Allah itu. Beliau berjalan bersama anaknya ke sebuah daerah yang saat ini dikenal dengan Mina. Di sanalah Beliau berniat untuk melaksanakan perintah Tuhannya.
Di tengah jalan menuju Mina, setan berusaha keras untuk menghalangi Beliau dari melaksanakan perintah Allah ini. Tapi Beliau justeru mengusir setan itu dengan lemparan batu. Itulah yang saat ini tersimbolkan di musim haji dengan melempar jumrah (Ula, Wustha, Aqabah).
Ibrahim kemudian mengeksekusi perintah Allah SWT. Anak satu-satunya sekaligus harapan masa depan dakwahnya. Di saat akan menggorok leher anaknya itulah, tiba-tiba ada panggilan dari langit (al-Quran Surah As-Shoofat ayat 104-105) berbunyi: “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami (Allah) memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Balasan Allah pada ayat ini yang akan kita sampai beberapa saat lagi. Tapi Allah sendiri menyatakan bahwa ujian ini adalah ujian yang sangat berat (balaa azhiim). Dan karenanya Allah menggantikannya dengan “sembelihan yang besar” (ayat 107).
Demikian seterusnya dengan kematangan iman dan kekuatan keyakinan serta ketaatan yang sempurna, Allah menjadikan Ibrahim terpuji hingga akhir zaman (ayat 108). Bahkan memberikan keselamatan (salaam) kepadanya (ayat 109).
Bahkan sekali lagi Allah kembali menekankan akan pembalasannya kepadanya (ayat 110). Dengan kekuatan iman Allah mempersaksikan: “Sesungguhnya dia adalah hambaKu yang beriman” (ayat 111).
Setelah semua kisah di atas selesai barulah Allah memberikan berita gembira lain kepada Ibrahim. Bahwa Allah akan memberikan lagi kepadanya seorang anak: “dan Kami memberikan berita gembira dengan Ishak sebagai seorang nabi dan termasuk orang-orang saleh” (ayat 112).
Tentu ayat terakhir ini merupakan bukti kuat (dalil) bahwa anak yang disembelih itu memang Ismail. Selain karena pemberitahuan akan berita gembira itu terjadi setelah penyembelihan. Juga dikuatkan oleh informasi Kitab Taurat yang menyatakan bahwa yang disembelih itu adalah anak satu-satunya Ibrahim.
Saya tidak akan memasuki area perdebatan tentang siapa yang disembelih. Karena memang bagi kita Umat Islam berdasarkan ayat Al-Quran jelas. Dan pastinya kalau itu dari Al-Quran maka itu berarti merupakan rana iman yang harus diterima.
Dari semua proses ujian yang terjadi itu hal yang ingin saya garis bawahi adalah pemberian balasan yang baik (jazaa) kepada Ibrahim. Bagaimana bentuk balasan itu?
Balasan yang dimaksud itu dapat ditemukan di Surah Al-Baqarah ayat 124: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa Kalimat (perintah atau ujian). Lalu dia sempurnakan pelaksanaan ujian itu. Allah lalu berfirman: Sesungguhnya Aku menjadikan kamu Pemimpin bagi manusia”.
Dengan demikian balasan yang dimaksud pada ayat sebelumnya kepada Ibrahim: “begitulah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan” (As-Shoofat: 110) adalah diangkatnya Ibrahim menjadi Imam (Pemimpin) bagi seluruh manusia. .
Sekaligus ini pulalah pelajaran terpenting dari kisah ini.
Pertama, bahwa Ibrahim merupakan sosok yang tidak saja mewakili dirinya secara individu (pribadi). Tapi juga sebagai umat (ummatan qanitho).
Kedua, bahwa Ibrahim telah dijadikan sebagai Pemimpin bagi manusia. Hal itu karena Ibrahim telah memenuhi segala perintah Tuhannya. Artinya bahwa kepemimpinan dalam Islam itu banyak terkait dengan ketaatan yang sempurna kepada Allah.
Ketiga, kesempurnaan agama yang menjadi jalan kepemimpinan Ibrahim dilalui dengan berbagai tantangan. Justeru dalam pandangan iman tantangan adalah bagian integral dari proses menuju kepada kesempurnaan iman itu sendiri.
Dan Umat ini sebagai Khaer Umat masanya sadar dan bangkit untuk kembali meraih kepemimpinan global (imamat lin naas) itu. Tentu hal pertama yang harus dilakukan adalah membangun keseriusan dan komitmen untuk memenuhi semua ajaran Allah (berislam secara kaaffah). Bahkan mempersiapkan diri menghadapi berbagai ujian dalam prosesnya. Karena ujian itu sendiri menjadi fondasi bagi terwujudnya kemenangan.
Semoga Allah memudahkan dan memberikan pertolonganNya. Amin! (*)
New York, 23 Agustus 2021
* Presiden Nusantara Foundation