×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kisah Sonaun, Petani Abangan Naik Haji: Dulu Baru Salat 5 Waktu Umur 25, Kini Ultah ke-57 di Madinah

Thursday, June 9, 2022 | 11:43 WIB Last Updated 2022-06-09T04:43:03Z
Sonaun, petani yang rajin, akhirnya bisa naik haji.


"Saya bersyukur sekali bisa naik haji. Waktu masih muda ya tidak terpikir. Wong saya ini sembahyang (salat)  lima waktu saja baru mulai umur 25 tahun."


SONAUN tampak sumringah saat pertama kali menginjakkan kakinya di Tanah Suci. Sebagai seorang petani, selama hidupnya dia hanya menginjak tanah sawah. Dia semakin senang mengingat Jumat 10 Juni besok dia berulang tahun (ultah) ke-57. Ini akan jadi momen istimewa dan tak terlupakan baginya, karena pas ulang tahunnya itu dia ada di Madinah. Sonaun adalah anak kedua dari enam bersaudara. Dia lahir di Pati, 10 Juni 1965, dari pasangan almarhum Ngasiyo-Fatimah.


Sonaun masuk Embarkasi Solo pada 3 Juni 2022. Sebelum berangkat, orang kampung diundang untuk acara walimatus safar. KH Amir, tokoh NU setempat, memimpin acara. Saking senangnya bisa berangkat haji, Sonaun enteng saja mengeluarkan tidak kurang dari Rp 20 juta untuk acara tersebut. "Ini rasa syukur saya dan istri, Mas..," katanya. Pulang haji juga akan ada syukuran lagi.


Dia tergabung dengan kloter 1 Embarkasi Solo (SOC 1) yang berangkat 4 Juni, pukul 00.30 WIB. Pesawat Garuda telah mengantarnya mendarat di Bandara Amir Mohammad bin Abdul Aziz (AMAA), Madinah, pada hari yang sama, sekitar pukul 08.58 waktu Arab Saudi (WAS).


Saat ditemui salah seorang Tim Media Center Haji (MCH), Hamzah Sahal, Senin pagi, 6 Juni 2022, Sonaun sedang beristirahat di kamarnya bersama empat jamaah lain dari Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Sonaun sendiri berasal dari Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dia jamaah haji satu-satunya dari Desa Brati.


Sebagaimana umumnya masyarakat Kecamatan Kayen, Sonaun berprofesi sebagai petani. Tapi dia terbilang petani yang istimewa, karena memiliki sawah 1 hektare. Selain itu, istri Sonaun, bernama Kusriwati (47 tahun), bekerja di toko kelontong miliknya. Ikhtiar pasangan yang sama-sama bekerja ini membuat Sonaun yang cuma petani dan Kusriwati bisa menabung untuk mendaftar haji.


"Hasil tani saya ditabung. Kebutuhan hidup sehari-hari dari istri yang pedagang kelontong," terang bapak tiga anak dan dua cucu ini.


Sonaun menceritakan, bahwa dirinya mendaftar haji tahun 2011 dengan total setoran untuk suami-istri sebesar 50 juta. "Beruntung sekali istri saya itu jualan, jadi saya bisa nabung," tegasnya.


Saat Sonaun menceritakaan peran istrinya beberapa kali, terkesan pasangan suami-istri ini amat harmonis, bahu-membahu, tidak menafikan peran masing-masing. Namun sayang, Tim MCH belum bisa menjumpai Kusriwati, karena keduanya tinggal di kamar berbeda. Selama di tanah suci, suami-istri memang tidak tinggal sekamar.


Pembayaran haji dilunasi pada tahun 2020 sebelum adanya kebijakan untuk membatalkan keberangkatan karena pandemi Covid-19 mengguncang Tanah Air. Suami istri membayar masing-masing 11. 250.000 rupiah. Biaya haji total Rp36,3 juta.


Kisah Pertanian


Untuk ukuran petani di Kecamatan Kayen, Sonaun tidak masuk golongan petani kecil, karena dia menggarap lahan seluas 5 hektare. Sonaun menanami lahannya dengan padi dan jagung. "Pernah menanam bawang tapi gagal, harganya anjlok. Setelah itu, saya tanami padi dan jagung terus," katanya.


Sekarang dia baru menanam jagung, akan dipanen bulan Oktober. Bulan November sawah akan ditanam padi yang panen di bulan setelah musim tanam. Setelahnya akan ditanam padi lagi, yang panennya bulan Mei. Begitu siklus pertanian Sonaun dalam setahun. Hasil panen dijual, sedikit saja yang disimpan untuk konsumsi harian.


Sonaun termasuk petani yang beruntung, karena 1 hektare sawah dari 5 hektare yang digarap punya sendiri. "Yang setengah hektare warisan orang tua, setengahnya lagi saya beli sendiri, dari jual sapi pejantan tiga ekor, gemuk-gemuk. Awal tahun 1990-an, saya jual 2 juta dan hasilnya dibelikan sawah setengah hektare," ungkapnya.


Sonaun saat masa anak-anak adalah seorang penggembala. Menginjak remaja, Sonaun mulai membantu ayahnya di sawah. "Yang bantu bapak di sawah cuma saya, karena kakak saya perempuan, sementara empat adik saya masih kecil," katanya.


Sonaun mengaku pengahasilannya dari dunia pertanian selama setahun sekitar Rp 250 juta: keuntungan Rp 100 juta, biaya produksinya Rp 150 juta. "Penghasilan saya 250 juta setahun itu rata-rata ya, jika sedang panen bagus dan harganya bagus," katanya.


Ikhtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma mengantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.


Anak pertamanya, Siti Mutmainnah, dan anak keduanya, Muhammad Yusuf, alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati. "Awalnya di Kudus, tapi musim corona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.


Sebetulnya, yang memberi penjelasan lengkap anaknya nyantri di mana dan kiainya siapa bukan Sonaun, tetapi teman-teman sekamarnya di pemondokan Madinah. Sonaun sendiri antara ingat dan lupa atau karena tidak akrab dengan nama-nama pesantren. 

Untung saja, empat temannya mengerti pesantren yang dimaksud Sonaun. Empat temannya bernama Mat Sholeh (56 tahun), Arip Suparjo (54 tahun), Sudarmin (61 tahun), dan Sagiman (61 tahun). Kecuali Sagimin yang sedang istirahat, obrolan di kamar pemondokan dengan Sonaun berjalan gayeng dan akrab. Mereka saling menimpali dengan santai. "Saya tidak bisa merokok di dalam," kata salah satu dari mereka disambut tawa.


Meminjam istilah Clifford Geertz, Sonaun sekarang telah menjadi santri seutuhnya, yakni telah melaksanakan lima rukun Islam. Yang dulu tidak sembayang, sekarang sembayang, yang dulu tidak puasa, sudah puasa. Bahkan saat jelang umur 50 aktif di pengajian Yasinan dan Tahlilan.


Lebih dari itu, anak-anaknya telah menyandang nama dari bahasa Arab semua, bahkan mengenyam pendidikan pesantren. "Yang kasih nama anak-anak saya sendiri, persetujuan istri." Kisah perubahan dari orang "abangan" menjadi "santri" tidak berhenti sampai situ. Anak pertamanya, perempuan, bernama Siti Mutmainnah (Lahir  1993) telah menjadi guru di TPQ dan suaminya guru agama di Pesantren An-Nur.


"Saya menyesal tidak bisa mengaji. Sampai sekarang saya harus mikir jika ditanya batalnya wudu apa saja. Tapi Alhamdulillah anak saya mengerti agama tingkat dasar, bahkan Siti Mutmainnah ngajar di TPQ, suaminya guru di pesantren. Anak kedua Muhammad Yusuf (lahir 1998), tamat SMA. Sekarang sudah kerja jadi tukang kayu. Dia tidak mau disekolahkan, gak mau. Abdul Hidayat yang lahir 2003 masih mesantren," jelasnya.


Setelah berbincang-bincang lebih dari satu jam, Tim MCH sampaikan kepadanya, "Pak, hidup Sampean sepertinya sudah sempurna.."


Sonaun merespons, "Ya belum, dan tidak ada yang sempurna. Doakan orang tua saya diampuni dosa-dosanya. Doakan saya juga Mas, setelah haji nanti saya bisa istikamah menjalankan kebaikan, terutama salat, mempersiapkan untuk mati." (Hamzah Sahal/Tim MCH 2022)


×
Berita Terbaru Update