Oleh Imam Shamsi Ali*
ADA indikasi kuat bahwa haji atau amalan-amalan ritual di Tanah Haram sudah ada sejak awal turunnya manusia ke atas bumi ini. Hal itu terbukti dengan jejak-jejak sejarah kedua orang tua manusia, Adam dan Hawa, yang diturunkan ke bumi ini di sekitar wilayah tanah haram itu.
Belakangan kita ketahui bahwa pertama kali mereka turun atau diturunkan ke bumi ini mereka terpisah. Mereka pun saling mencari didorong oleh rasa “rahmah” (kasih sayang) yang ada pada keduanya. Maka atas kasih sayang Allah mereka dipertemukan di sebuah bukit yang juga dikenal dengan “rahmah” (bukit kasih sayang). Bukit itu memang lebih dikenal saat ini dengan nama “Jabal Rahmah”.
Sudah pasti tidak ada catatan sejarah mengenai mereka berdua. Tidak ada catatan tinta kasat, kecuali narasi-narasi yang berkembang dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya seolah menjadi catatan sejarah resmi.
Belakangan disebutkan bahwa Adam sendiri meninggal di kota suci Makkah. Beliau dikuburkan di sekitar “lokasi suci” sekitar Kakbah. Ada yang menyebutkan bahwa Adam dikuburkan di sebuah lokasi antara Kakbah dan Sumur Zam-Zam saat ini.
Sementara Hawa melakukan perjalanan hingga ke pinggiran pantai di sebuah daerah di luar kota suci Makkah. Daerah pinggiran pantai itu sekarang dikenal sebagai sebuah kota metropolitan di Saudi Arabia bernama Jeddah. Di sanalah Nenek manusia itu dikuburkan. Bahkan kuburannya hingga kini menjadi salah satu destinasi ziarah kota Jeddah.
Namun demikian, catatan sejarah tentang ritual haji yang paling jelas dalam literasi agama kembali kepada sejarah Ibrahim AS dan keluarganya. Ibrahimlah dan keluarganya, khususnya anak isterinya Hajar dan Ismail AS, yang kemudian menjadi tema sentra dalam pembicaraan tentang haji dan tanah suci.
Ibrahim menjadi sebutan yang berulang dalam membahas tentang haji dan Tanah Haram. Dari Ihram, ke Wukuf, Muzdalifah, Mina, hingga ke Thawaf dan Sa’i. Semuanya tidak terlepas dari sejarah napak tilas Ibrahim AS dan anaknya Ismail AS.
Walau tidak sepopuler Ibrahim, ternyata ada juga riwayat jika Musa AS juga pernah melakukan thawaf di sekitar Kakbah. Entah kapan dan bagaimana? Memang hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Tapi yang pasti memang Kakbahlah dalam sejarah agama yang pertama kali dijadikan sebagai pusat “ibadah”. Karenanya sangat wajar jika manusia secara turun temurun telah menjadikan tempat ini sebagai pusat “peribadatan”.
Al-Quran menyebutkan: “sesungguhnya Rumah (tempat ibadah) yang pertama ditempatkan di bumi adalah yang ada di Bakkah Yang Suci itu” (Al-Quran).
Demikian dalam sejarahnya kita kenal juga bahwa jauh sebelum Rasulullah SAW dilahirkan di Tanah Makkah, kaum Arab dan tetangga-tetangganya telah menjadikan Kakbah sebagai pusat ritual ibadah mereka. Hanya saja mereka melakukan itu tanpa Syariah (aturan agama) yang benar.
Salah satu yang kita baca dalam sejarah bahwa kaum Arab sebelum Muhammad SAW hadir melakukan thawaf di sekitar Kakbah dan sa’i di antara Shofa-Marwa tanpa menutup badan.
Demikian seterusnya tempat yang dikenal dengan Tanah Haram ini menjadi pusat peribadatan sepanjang sejarah. Belakangan dengan kehadiran Ibrahim dan putranya Ismail yang mendoakan: “Wahai Tuhan kami, jadikan hati sebagian manusia cinta kepadanya (Makkah)” hal itu semakin mengakar.
Puncak dari semua itu adalah diutusnya Rasul dan Nabi penutup, Muhammad SAW, yang menjadikan praktik ritual bersejarah itu menjadi “hukum” atau Syariah yang baku. Bahkan dalam agama Islam haji menjadi salah satu pilar (tiang) agama itu sendiri.
Karenanya melaksanakan ibadah haji sesungguhnya adalah sekaligus merupakan “napak tilas” perjalanan sejarah “religiusitas” manusia. Pusat ketaatan kepada Tuhan bermuara dari pusat dunia yang memang dikenal sebagai “Ummul Qura” (Ibu negeri).
Para ulama menyebutkan jika di sekitar Bait al-Ma’muur di sekitar Arsy Allah malaikat tiada henti melaksanakan thawaf menyembah dan membesarkan Asma Allah. Maka di bumi di sekitar Kakbah tempat para hamba Allah dari kalangan manusia tiada hentinya menyembah Allah dan membesarkan AsmaNya.
Dengan melaksanakan ibadah haji kita diingatkan kembali perjalanan “keagamaan” dan “ketaatan” manusia kepada Tuhan. Seolah dengan perjalanan haji kita menyegarkan dan membangun kembali komitmen keagamaan dan ketaatan yang telah terjadi sepanjang sejarah interaksi manusia dengan Penciptanya. (*)
New York City, 30 Juni 2022
* Presiden Nusantara Foundation