×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ketauladanan Ibrahim dalam Konteks Keumatan dan Kebangsaan

Saturday, July 9, 2022 | 18:40 WIB Last Updated 2022-07-09T11:40:57Z


Oleh Imam Shamsi Ali*


DI Hari Raya yang mulia dan penuh barokah ini, mari kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan “azhomatullah” (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmatNya yang tiada batas yang dikarunikan kepada kita semua. 


Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan di pagi hari ini dengan alaunan “takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil” adalah ekspresi iman, sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah “Jalla Jalaaluh” sebagai “sentra kehidupan” yang hadir pada setiap tarikan nafas kita. 


Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari Sumber Tunggal; Allahus Shomad. Kita ada dan kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau dikuasai, bahkan kita hidup dan pasti pada waktunya nanti kita mati, semuanya karena kuasa Allah SWT. 


Esensi filsafat hidup seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: “لا اله الا الله”. Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, pengagungan, pujian dan pengabdian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi. 


Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya: لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك

"Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milikMu. Tiada sekutu bagiMu”. 


Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang Mukmin: انا لله وانا اليه راجعون


Bahwasanya kita, dan segala yang ada pada kita, anak isteri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya akan kembali kepadaNya jua. 


Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan “ma’iyatullah” (kebersamaan dengan Allah SWT). Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika “azhomatullah” (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia. 


Sungguh “ma’iyatullah” (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah. Pegangan yang dalam istilah Al-Quran  disebut “al-urwatul wutsqa” inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya, apapun warna dan bagaimanapun pergerakan yang terjadi. 


“فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها” 


Kebesaran Allah dalam hati RasulNya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya asisinasi musuh-musuh sekalipun. Hal itu dikisahkan dalam Al-Quran al-Karim: 


اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها 


Kemaha besaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmatNya pada kita. Allah SWT mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin: ظاهرة وباطنة


Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hambaNya yang mampu bersyukur:

وقليل من عبادي الشكور


Penciptaan kita sebagai manusia (insan, basyar atau Bani Adam) itu sendiri sungguh sebuah kenikmatan dan kemuliaan yang luar biasa: 

ولقد كرمنا بني  ادم 

"Sesunggguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (manusia)”. 


Penciptaan kita sebagai ciptaan terbaik, “the best design” (احسن تقويم) merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Keindahan, kenyamanan dan kesempurnaan penciptaan kita sebagai manusia, sungguh kenikmatan yang menuntut kesadaran syukur dari kita semua. 


Dijadikannya manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas akal atau fikir, menjadikan makhluk lain irihati. Dengan kemampuan inilah manusia mampu mengemban tugas-tugas “kekhilafahannya” dalam memakmurkan bumi ini. 


وعلم آدم الأسماء كلها ثم عرضهم علي الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء ان كُنتُم صادقين. 


Namun dari semua nikmat yang Allah karuniakan itu, nikmat iman dan Islamlah yang menjadi penentu. Karunia apapun akan menjadi nikmat jika dibangun di atas fondasi iman. Karunia tanpa didasari iman boleh jadi justeru menjadi “niqmah” atau musibah kehidupan.


Dunia Barat dengan segala kemajuan materialnya, perkembangan sains dan teknologi, khususnya dunia informasi saat ini gagal memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Di tengah kegemilangan duniawi itu ada jiwa-jiwa yang menjerit. Bukti bahwa hidup tanpa iman dan Islam adalah hidup yang gagal, walau bergelimang dengan kemajuan materi.


Realita ini harus menyadarkan kita untuk mensyukuri dan selalu meninggikan “value” atau nilai iman dan Islam kita.


ولكن الله حبب إليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكزه إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولائك هم الراشدون. فضلا منالله ونعمة والله عليم حكيم 


"Akan tetapi Allah menjadikan engkau mencintai keimanan, membenci kekufuran, kefasikan dan dosa-dosa. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Itulah keutamaan dan kenikmatan dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”. 


Perayaan Idul Adha yang kita laksanakan pada hari ini sarat dengan makna dan nilai-nilai kehidupan yang sangat luar biasa. Ada makna hidup dan ujian, makna ketaatan dan pengorbanan, makna soliditas mental dan kekokohan iman, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kehidupan kolektif dan kepemimpinan. 


Ketauladanan Ibrahim AS 


Dan yang teristimewa dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua ini sangat erat dengan sejarah hidup Ibrahim AS. Maka sangat wajar, jika perayaan Idul Adha ini adalah bentuk kenangan sekaligus ketauladanan kita kepada nabi Allah, Ibrahim alaihis-salam.


Haji dan Ibrahim memang menjadi tema utama dari Idul Adha yang kita rayakan. Karena Ibrahim menjadi simbol kesempurnaan (Al-kamaaliyah) dalam pengabdian dan kemuliaan akhlak. Sementara haji adalah ibadah yang menjadi miniatur kebidupan manusia. 


Ibrahimlah yang pertama kali diperintah untuk mengumandangkan kewajiban haji kepada umat manusia: 

 واذذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلي كل ضامر يأتين من كل فج عميق 


"Dan kumandangkan kepada manusia (kewajiban) haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kali dan mengendarai onta, datang dari berbagai penjuru yang jauh”. 


Pelajaran awal dari sejarah perjalanan hidup Ibrahim AS adalah bahwa dalam proses menemukan “mutiara iman” diperlukan pencarian yang sungguh-sungguh. Tapi dengan kesungguhan dua instrumen yang Allah berikan kepada manusia: akal dan hati. 


Kesungguhan hati itulah yang diekspresikan dalam Al-Quran: والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين. 

"Dan mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsinin”. 


Tapi manusia memang diciptakan dengan daya nalar. Karenanya pada diri manusia ada kuriositas (keingin tahuan) yang tinggi. Karenanya proses menemukan hakikat iman memerlukan pemikiran dan akal yang tajam pula. Kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim di tengah rimba kuriositas (keingin tahuan) itu dikisahkan dengan sangat indah dalam Al-Quran, Surah al-An’am: 76-79.


Dari proses analisa dan pengamatan panjang melalui metode “at-tafkiir fil-khalq”, (merenungi ciptaan), dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari. Pada akhirnya Ibrahim AS sampai kepada kesimpulan:


“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb Yang menciptakan langit dan bumi, menerima agama yang lurus. Dan aku tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”.


Maka keyakinan bukanlah perasaan (sentimen) atau bentuk emosi semata. Tapi sebuah kemantapan jiwa melalui cerna rasionalitas yang kokoh. Keimanan yang dilandasi oleh rasa emosi semata akan melahirkan karakter keagamaan yang sempit, dan kerap kali melahirkan prilaku emosional yang destruktif.


Di sinilah rahasianya kenapa ayat-ayat Al-Quran pertama yang diwahyukan kepada baginda Rasul adalah perintah untuk memaksimalkan daya nalar. Perintah membaca: اقرأ. 

 Rasionalitas ini sesungguhnya memang menjadi salah satu karakter ajaran Islam, sekeligus kunci kekuatannya. Dengan pemikiran dan rasionalitas yang luas akan tumbuh “al-yaqiin” atau keyakinan hati yang solid.


Suasana hati dengan keyakinan seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Quran: “كشجرةطيبة اصلها ثابت وفرعها في السماء تؤتي أكلها كل حين باذن ربها (bagaikan pohon yang bagus, akarnya menghunjam ke dalam tanah, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya). 


Sungguh di zaman sekarang ini umat dituntut untuk membangun keseimbangan “iman” dan  rasionalitas. Berbagai prilaku destruktif yang terjadi akhir-akhir ini seringkali disebabkan oleh emosi yang diakibatkan oleh pemikiran sempit. 


Keimanan yang solid melahirkan kekuatan dan kematangan hidup. Rasionalitas berpikir yang mapan melahirkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berpikir dan bersikap. Saya sangat yakin, bangsa dan dunia kita saat ini memerlukan manusia-manusia seperti ini. 


Pelajaran penting kedua dari Ibrahim AS adalah bahwa hidup ini merupakan perjalanan dari satu titik ke titik yang sama. Bagaikan tawaf, berputar berkeliling dengan irama dan tujuan yang sama. Namun perlu diingat, Ka’bah harus selalu menjadi sentra perputaran itu. 


Allah harus menjadi pusat perputaran hidup manusia. Kaya atau miskin Allah menjadi pusat kehidupan. Kuat atau lemah Allah menjadi pusat kehidupan. Merasakan kemudahan atau kesulitan hidup Allah tetap menjadi pusat kehidupan.


Realita hidup ini menuntut kematangan atau kedewasaan dalam menjalaninya. Tanpa kedewasaan manusia akan menjadi “cengeng” dan lemah. 


Untuk menumbuhkan kematangan dan kedewasaan hidup itulah manusia akan ditempa dengan berbagai ujian. 


Di sinilah Ibrahim AS tampil sebagai sosok tauladan yang sangat luar biasa. Ibrahim AS mengalami tempaan itu dari awal perjalanan hingga mencapai tingkat kematangan hidupnya. 


Ragam bentuk ujian Allah SWT berikan kepada Ibrahim AS, bukan karena ketidak sukaan. Tapi karena kecintaanNya kepadanya. Bahkan Ibrahim AS adalah sosok hambaNya yang “khalilullah” (kekasih Allah). 


Dari ujian keluarga, ke sahabat, hingga ujian publik dan kekuasaan. Ujian yang bersifat emosional, spiritual keimanan, hingga kepada yang bersifat fisikal dan material. 


Cobaan besar pertama yang Ibrahim harus lalui adalah ketika menyampaikan kebenaran kepada masyarakatnya. Ketika Ibrahim dengan keyakinan yang solid menyampaikan “Kalimah Tauhid”, kepada umatnya. Konsekwensinya beliau ditangkap bahkan dieksekusi dengan hukuman dibakar hidup-hidup.


Tapi kematangan mentalitas dengan iman yang  solid itu tidak menjadikannya gentar sedikitpun. Di saat tawaran bantuan para malaikat silih berganti,  semuanya ditampik dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah yang punya kuasa sejati. 


Karena keyakinan Ibrahim inilah Allah memerintahkan api yang menggunung itu menjadi dingin dan menyenangkan bagi Ibrahim: “يا نار كوني بردا و سلاما علي ابراهيم (Wahai api, dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim). 


Kuasa Allah berlaku. Api yang panas menjadi dingin dan menyenangkan dengan kehendak Allah. Kemampuan daya nalar manusia dibatasi oleh segala keterbatasaannya. Hanya Allah yang tiada batas dalam segala kuasa dan kehendak.


Ada satu catatan menarik yang perlu dicermati ketika Ibrahim ditanya oleh sang raja sebelum eksekusi tadi. 


“Kamukah yang merusak tuhan-tuhan kami?”, tanya sang rana. 


Ibrahim menjawab: “patung besar itu sendiri yang melakukannya. Tanyakan kepada mereka jika mereka mampu berbicara”. 


Sang raja menjawab: “Engkau tahu kalau mereka itu tidak berbicara”. 


Ibrahim dengan kecerdikan dan kemampuan logikanya merespon: “lalu wajarkah kalian menyembah selain Allah. Sedangkan mereka tidak memberi manfaat apa-apa?”. 


Pelajaran terpenting dari petikan dialog antara Ibrahim dan raja itu adalah bahwa seorang Muslim, apalagi pada ulama dan da’i harus memiliki ketajaman logika, sekaligus kemampuan komunikasi yang mumpuni.


Kelemahan logika dan ketidak mampuan mengkomunikasikan kebeneran melahirkan da’i-da’i yang kerap bermain dogma, mudah menyalahkan, bahkan mengkafirkan. Yang lebih berbahaya ketika para da’i melakukan komunikasi dakwah “bolduzer”. Komunikasi yang menghancurkan harapan hidayah. Bahkan lebih berbahaya mencoreng keindahan wajah Islam itu sendiri.


Setelah settle atau menetap di negeri yang barokah Jerusalem, dan dengan proses panjang, Allah kembali mendatangkan ujian besar kepada Ibrahim.


Setelah sekian lama Ibrahim dan isterinya Sarah menikah, mereka tak kunjung juga dikaruniai anak. Bahkan keduanya telah mencapai umur uzur. Ibrahim pun semakin khawatir akan sustainabilitas dan masa depan dakwahnya. Hal ini disadari oleh isterinya, Sarah. Maka Ibrahimpun dianjurkan olehnya untuk menikahi hamba sahaya mereka, Hajar. 


Melalui Hajar Allah mengaruniakan seorang putra yang diberi nama Ismail AS. Tentu alangkah bahagianya Ibrahim dengan karunia anak yang telah lama ditunggu-tunggu itu. 


Ternyata ujian besar dari Allah kembali diterimanya. Ibrahim diperintah untuk membawa anaknya yang baru lahir, (Ismail) bersama ibunya (Hajar) ke sebuah lembah yang tiada menumbuhkan tumbuhan: بواد غير ذي زرع عند بيتك المحرمً. 


Tiada tumbuhan berarti tiada air. Tanpa air berarti tiada kehidupan. Tapi Ibrahim yang semakin matang dalam keyakinan dan hidup itu kembali tidak mempertanyakan perintah Allah SWT. Ibrahim meninggalkan mereka berdua tanpa siapapun dan dengan perbekalan sekadarnya. Ibrahim sangat yakin akan penjagaan Allah kepada anak dan isterinya pastinya lebih hebat dan pasti dari penjagaan dirinya sendiri. 


Hajar yang sebelum menikah dengan Ibrahim hanya seorang hamba sahaya ternyata juga memiliki iman yang sangat kuat. Di saat dia tanya ke suaminya apakah dia meninggalkan dirinya dan anaknya di tempat itu atas perintah Allah? Ibrahim yang hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala itu, direspon oleh Ibu Hajar: “berangkatlah, tinggalkanlah kami, karena saya lebih yakin dengan penjagaan Allah SWT”. 


Bertahun-tahun Ibrahim meninggalkan anak dan isteri tercinta di tempat itu. Tapi dari masa ke masa Ibrahim yakin dengan penjagaan Allah. Hingga suatu ketika datanglah ujian terbesar dalam hidupnya. Anak satu-satunya, yang lama ditunggu-tunggu dan sangat disayangi itu, diperintahkan oleh Allah untuk disembelih. 


Dalam Al-Quran disebutkan: 

فلما بلغ معه السعي قال يا بني اني اري في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترا؟ قال يا أبتي افعل ما تؤمرستجدني ان شاء الله من الصابرين. 

“Maka ketika anaknya mencapai umur balig dia berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi jika aku menyembelihmu. Lalu bagaimana pendapatmu? Dia (sang anak) berkata: Wahai ayahku lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang bersabar”. 


Tapi Allah Maha bijaksana dan Maha Kasih Sayang. Sembelihan itu diganti dengan seekor domba. Itulah praktek atau tradisi agama yang kita lanjutkan melalui syariatnya Rasulullah, Muhammad SAW, dengan korban atau udhiyah ini. 


Ujian demi ujian Allah berikan kepada Ibrahim. Dan Ibrahim lalui semuanya dengan penuh iman dan rawakkal. Ternyata ujian itu menjadi tangga bagi “Khalilullah” (kekasih Allah) ini untuk menaiki tingkatan tertinggi dalam hidupnya.


واذابتلي ابراهيم ربه بكلمات فاتمهن

"Dan ingatlah ketika Allah menguji Ibrahim dengan Kalimaat (berbagai ujian) lalu dia menyempurnakannya”. 


Keberhasilan Ibrahim melalui berbagai ujian itu menjadikannya matang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan kamatangan hidup itulah Allah mengangkat Ibrahim menjadi pemimpin bagi manusia (اماما للناس)


Urgensi kepemimpinan dalam hidup 


Kepemimpinan adalah pilar kehidupan. Karenanya semua manusia pada dasarnya adalah pemimpin dalam hidupnya. Rasulullah SAW menggambarkan hidup itu seolah gembalaan yang harus dijaga, tapi sekaligus dipertanggung jawaban. 


كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته “Setiap kalian adalah gembala dan semuanya akan diminta pertanggung jawaban dari gembalaannya”. 


Ibrahim AS diangkat menjadi pemimpin bukan dengan tiba-tiba dan serta merta. Tapi melalui proses panjang dengan berbagai penempaan. Al-Quran menyampaikan: 


واذابتلي ابراهيم ربه بكلمات فأتمها قال اني جاعلك للناس اماما قال و من ذريتي قال لاينال عهدي الظالمين. 

"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah), lalu dia menyempurnakan. Dia (Allah) berfirman: sesungguhnya Aku menjadikan kamu seorang pemimpin. Ibrahim berkata: dan juga dari kalangan anak keturunanku. Dia (Allah) menjawab: sesungguhnya keputusan Aku tidak akan diperoleh mereka yang zholim”. 


Setelah mencapai kematangan jiwa dan pengalaman hidup yang solid, Ibrahim AS memang berdoa untuk dijadikan pemimpin. Tapi Ibrahim meminta kepemimpinan yang berasas ketakwaan. Kepemimpinan yang membawa umatnya kepada ketaatan dan kesalehan individu dan kolektif. 


ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة اعين واجعلنا للمتقين اماما.

"Wahai Tuhanku karuniakan kepada kami pasangan-pasangan dan anak keturunan yang menyejukkan hati. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. 


Secara mendasar, kepemimpinan Ibrahim AS memiliki tiga karakteristik dasar, seperti yang digambarkan dalam Al-Quranul Karim: 


وجعلنا منهم اءمةيهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون 

"dan Kami jadikan dari kalangan mereka pemimpin-pemimpin yang berpetunjuk dengan urusan Kami, memilki kesabaran, dan mereka dengan ayat-ayat Kami yakin”. 


يهدون بأمرنا berarti mereka berpegang teguh dengan nilai-nilai kebenaran. Perpegang teguh juga berarti memiliki kapasitan keilmuan dan pemahaman dengan masalah-masalah (understanding the issues) yang dihadapi dalam kepemimpinannya. Dalam bahasa politik inilah yang disebut “kapabilitas”. 

لما صبروا berarti memiliki mentalitas baja dalam menghadapi berbagai rintangan (challenges) dalam kepemimpinannya. Rintangan yang kita maksud bukan saja kesulitan-kesulitan yang ada. Tapi yang lebih penting juga adalah kesabaran dalam menghadapi godaan-godaan (temptations) kekuasaan. Sabar dengan kesulitan itu mudah dan wajar. Tapi sabar menghadapi godaan itu jauh lebih berat dan kadang terlihat aneh. 

وكانوا بآياتنا يوقنون berarti yakin dan meyakinkan. Saya ingin mengatakan bahwa kepemimpinan Ibrahim itu dibangun di atas optimisme yang kuat. Tapi juga sekaligus memberikan optimisme yang tinggi. Optimisme dan harapan, bukan sekedar janji-janji yang seringkali gagal terpenuhi.


Satu catatan penting dari kepemimpinan Ibrahim adalah bahwa beliau selalu mendengarkan aspiarasi masyarakatnya. Hal ini terindikasi jelas ketika meminta opini anaknya menyikapi perintah Allah untuk menyembelihnya: فانظر ماذا تري (apa pendapatmu?). 


Keinginan untuk mendengarkan, walaupun dari seorang anak remaja, apalagi berkaitan dengan urusan keyakinan, menjadikan Ibrahim  seorang “pemimpin” yang bijak. Tidaklah barangkali berlebihan jika saya memakai bahasa politik modern bahwa Ibrahim adalah “master of democracy”.


Kepemimpinan itu memang karunia. Tapi bukanlah penghormatan. Kepemimpinan adalah karunia amanah dan kesempatan yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki untuk melakukan pengabdian kepadaNya melalui pelayanan publik. Dan karenanya pemimpin yang adil akan berada di posisi para nabi di hari Akhirat. 


Kepemimpnan itu “karunia”, bahkan masuk dalam lingkaran “takdir”. Allahlah yang memberikan kepemimpinan kepada Ibrahim: أني جاعلك للناس اماما (sungguh Kami jadikan kamu (Wahai Ibrahim) sebagai pemimpin bagi manusia). 


Al-Quran bahkan tegas menyampaikan: قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك من تشاء “Wahai Allah, Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendak”. 


Manusia yang menyadari hakikat ini tidak akan berambisi buta dalam memperebutkan kepemimpinan. Tidak akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepemimpinan. Tidak akan melakukan fitnah, menyebar hoax, dan cara-cara busuk lainnya demi meraih kepemimpinan itu.


Karena memang yakin Allahlah yang memberikannya kepada siapa yang dikehendakiNya. Di tanganNya kekuasaan langit dan bumi: ملكوت السماوات والأرض 


Kepemimpinan Ibrahim itu tersimpulkan dalam doa yang dipanjatkan kepada Allah bagi negeri keturunannya: 

واذقال ابراهيم رب اجعل هذا البلد امنا وارزق أهله من الثمرات من أمن منهم بالله واليوم الاخر قال ومن كفر امتعهقليلا ثم اضطره الي عذاب إنار وبئس المصير.


“Dan ingat ketika Ibrahim berdoa: wahai Tuhan kami jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan karuniakan kepada penduduknya buah-buahan bagi yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dia (Allah) berfirman: tapi barang siapa yang ingkar maka Kami akan berikan kesenangan sejenak, lalu kami tarik mereka ke dalam api neraka, tempat kembali yang buruk”. 


Doa ini mencakup tiga tujuan utama kepemimpinan Ibrahim: 


Pertama, Al-amnu (keamanan). Sebab dengan keamanan itu akan tercipta stabilitas).  Dan hanya dengan stabilitas akan terbangun kemakmuran.


Kedua, al-Rizqu (rezeki). Dengan pembangunan yang ditopang oleh stabilitas tadi akan tercipta kesejahteraan umum.


Ketiga, al-adlu (keadilan). Tapi kesejahteraan yang benar hanya akan terjadi ketika penegakan keadilan merata. Kesejahteraan yang berkeadilan itu adalah tujuan kepemimpinan Ibrahim AS.


Konteks Kebangsaan 


Jika kepemimpinan ini kita kontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa kita, maka semua karakteristik kepemimpinan Ibrahim itu secara substantif tertuang dalam pasal-pasal di falsafah negara Indonesia, Pancasila. 


Kedalaman spiritualitas yang terpatri dalam kepemimpin Ibrahim AS itu terwakili dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 


Kesabarannya membangun etika dalam kepemimpinannya yang berkarakter Itu terwakili dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab.


Sosoknya sebagai “ummah qanita” merupakan simbolisasi dari Persatuan kebangsaan kita. 


Bahkan moral dan integritas kepemimpinannya itu yang tertuang dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 


Sementara tujuan kepemimpinan untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umum tersimpulkan  dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 


Selain itu, doa Ibrahim untuk penduduk Mekah adalah bentuk “cinta negeri “ (hubbub wathon). Dan karenanya nasionalisme, selama dimaksudkan untuk kepentingan umum dalam berbangsa dan bernegara adalah bagian dari spirit Islam. 


Bersyukurlah bangsa Indonesia. Bangsa yang dalam sejarahnya tidak pernah terpisah dari nilai-nilai spiritualitas dan agama. Dan yang lebih khusus lagi, peranan agama dan ulama dari masa ke masa, dalam segala zaman dan situasi, tidak pernah dipandang sebelah mata. 

Maka di pagi hari yang penuh barokah ini, kita rayakan pengorbanan Ibrahim, sekaligus kita hadirkan kembali komitmen kepemimpinan yang berkarakter, berakhlakul karimah. Kepemimpinan yang mengedepankan “Rahmah” (kasih sayang) kepada rakyat. Terlebih mereka yang memang berada pada posisi yang termarjinalkan.


Namun tidak kalah pentingnya di pagi hari ini kita membangun kembali semangat besar kita untuk bangkit dalam kebersamaan untuk membangun bangsa yang besar dan menang. 


Bahkan lebih jauh, mari dengan kebersamaan ini kita bawa bangsa kita ke depab menjadi “imaman linnaas” (kepemimpinan global).


Ibrahim AS adalah sosok yang merepresentasi globalitas umat. Bahkan kepemimpinan Ibrahim juga adalah kepemimpinan global atau dalam bahasa Al-Quran: اماما للناس(pemimpin bagi seluruh manusia). 


Dalam konteks ini ada dua hal penting untuk kita sadari sebagai bangsa: 


Pertama, pentingnya menyadari realita dunia kita. Bahwa dunia kita adalah dunia global yang menuntut kesiapan penuh dengan global mindset dari anak-anak bangsa.


Kedua: bangsa ini secara khusus sebagai bangsa berpenduduk Muslim terbesar dunia, harus bangkit untuk mengemban kepemimpinan globa itu.


Dunia global adalah dunia yang berkarakter dengan kecepatan, kompetisi, dan ketergantungan (interconnectedness). 


Umat dituntut untuk memilki kecepatan dalam menangkap semua peluang yang ada. Umat juga dituntut untuk memiliki kemampuan daya saing (kompetisi) yang tinggi. Tapi tidak kalah pentingnya umat harus menyadari urgensi membangun “kerjasama” dengan siapa saja demi membangun negeri dan dunia yang lebih baik. 


Masanya bangsa ini bangkit di garda terdepan menampilkan Islam yang berkarakter maju dan menang. Islam yang saat ini menjadi dambaan dunia. Islam yang ramah, Islam yang berkarakter tawassuth (moderat) wa tassamuh (toleran). 


Islam yang demikian inilah yang tersimpulkan dalam dua istilah: istilah kebangsaan dan istilah keumatan. Istilah kebangsaan dengan dengan Islam yang  berkarakter Nusantara. Dan dalam istilah keumatan inilah Islam yang “rahmatan lil-alamin”. 


Dengan semangat itulah umat Islam di Nusantara akan bersama-sama dengan seluruh elemen bangsa membangun negeri ini. Bahkan ikut turut dalam mewwujudkan dunia yang berkatakter Qurani: 

بلدة طيبة ورب غفور. (Negeri yang indah di bawah naungan amounan Tuhan). 


Kesimpulan


Dari penyampaian ini ada beberapa kesimpulan yang ingin saya garis bawahi:


Pertama, al-imaanu quwwah. Bahwa keimanan kita itu adalah kekuatan dan modal utama dalam hidup. Hidup dunia yang penuh tantangan ini hanya akan bisa teratasi dengan kekuatan mentalitas yang terbentuk dari soliditas keimanan. 


Kedua, iman secara emosi (hati) harus diimbangi oleh rasionalitas berpikir. Emosi tanpa rasionalitas berpikir berakibat kepada terbangunnya pemikiran dan prilaku sempit dan destruktif. Inilah yang kerap kita sebut dengan ekstrimisme. 


Ketiga, ketaatan dalam beragama tidak terjadi tanpa proses panjang dan penuh tantangan. Karena memang itulah proses alami menuju kepada kematangan mentalitas dan hidup. Tantangan hidup diyakini sebagai bagian dari proses hidup itu sendiri. Karenanya secara esensi hidup itu adalah pengorbanan. Ibrahim merupakan ketauladanan tinggi dalam hal ini.


Keempat, hanya mereka yang telah lolos dari ujian hidup, dan mampu menegakkan perintah-perintah Allah (Kalimaat) yang akan diberikan kesempatan untuk mengemban kepemimpinan. Karenanya Jangan sampai terjadi pemimpin karbitan yang tidak teruji. Kepemimpinan itu  bisa menjadi pintu syurga. Atau sebaliknya lobang ke neraka. 


Kelima, kepemimpinan Ibrahim adalah kepemimpinan berkarakter, terbangun di atas kesadaran penuh bahwa menjadi pemimpin bukan “keleibihan”. Tapi tanggung jawab besar, dunia dan akhirat. Dan karenanya kepemimimpinannya terealisasi dalam mewujudkan stabilitas, keadilan dan kesejahteraan umum. 


Keenam, Ibrahim juga telah memperlihatkan kecintaan kepada negerinya (hubbul wathon). Mendoakan secara khusus negeri anak keturunannya warzqhum minats tsamarat) dan kemananan (aaminan). Karenanya cinta bangsa dan negeri itu juga merupakan bagian dari iman. Maka loyalitas  keagamaan dan kebangsaan tidak perlu diperbenturkan. Islam dan negara Indonesia sudah ditakdirkan bagaikan dua sisi mata yang yang tidak terpisahkan.


Ketujuh, Ibrahim adalah individu yang berkarakter global (ummah). Hal ini menyadarkan kita tentang dunia kita saat ini. Bahwa m dunia kita adalah dunia global dan kita dipaksa untuk memilih. Ikut menjadi pemain, menentukan dan menang. Atau sekedar menjadi penonton, berharap belas kasih, lalu tergilas oleh derasnya kompetisi global itu.


Kedelapan, Masanya Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia bangkit menjadi pelaku global, membangun kepemimpinan global atau “imaaman linnaas”. Karenanya Islam yang dipahami dan dipraktekkan di bumi Nusantara, Islam yang ramah, moderat dan toleran, harus dipromosikan ke kancah internasional. 


Semoga Allah SWT meridhoi setiap langkah hidup kita. Semoga kita dijaga dalam iman dan Islam. Semoga kita secara kolektif dijaga dalam persaudaraan dan kesatuan. Dijauhkan dari berbagai prasangka buruk dan kebencian di antara kita. (*)



*Presiden Nusantara Foundation

×
Berita Terbaru Update