SALAH satu kesibukan saya sebagai Imam di kota New York adalah menikahkan. Untuk menikahkan secara sah dalam konteks Amerika seseorang harus terdaftar sebagai ‘Officiant’. Dalam bahasa Indonesia seorang officiant itu punya lisensi sebagai penghulu yang terdaftar (registered) di City Hall atau kantor Waikota.
Karena marriage (pernikahan) jatuh dalam ranah aturan negara bagian (state law) maka setiap penghulu punya wewenang untuk menikahkan hanya pada state atau negara di mana yang bersangkutan terdaftar. Maka saya misalnya hanya bisa menikahkan secara sah di negara bagian New York.
Menikahkan secara sah yang dimaksud adalah bahwa sang penghulu dibenarkan menandatangani marriage license (lisensi untuk menikah) dari kantor Walikota untuk menjadi dasar dikeluarkannya akta nikah (marriage certificate) bagi sang mampelai.
Kali ini bukan itu yang akan saya bahas. Melainkan beberapa komentar yang saya baca di media sosial tentang pernikahan beberapa mampelai wanita Muslimah dan seorang mampelai pria yang menjadi Muslim (convert) sebelum menikah.
Berbagai komentar disampaikan oleh banyak pihak itu ada yang mengapresiasi dan mendoakan untuk kebahagiaan kedua mampelai. Juga secara khusus mendoakan semoga mempelai pria, sang Muallaf, istiqamah di jalan Islam.
Tapi tidak sedikit juga yang menyampaikan komentar miring atau negatif. Biasanya yang menyampaikan komentar seperti ini adalah mereka yang merasa Islamnya lebih hebat. Bahkan boleh jadi mereka merasa suci dan sempurna dalam beragama. Sikap dan penilaian seperti ini saja sesungguhnya telah cukup untuk menjadi lobang perangkap dosa bagi pelakunya.
Karenanya saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang mungkin bisa menjadi peringatan bagi kita semua.
Pertama, bagi kita yang paham, yakin serta komitmen dengan Syariah tidak mungkin akan menikahkan seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim. Walau ada opini minoritas membenarkan pernikahan itu, sesungguhnya opini itu bahasa hadits bersifat “gharib” (asing) bahkan “syadz” (melempeng dari ijma’). Dan bagi kita hal itu tidak bisa diterima dengan berbagai argumentasi yang tidak perlu saya rincikan kali ini.
Kedua, berbicara tentang agama tentu berbicara tentang hidayah. Dan hidayah itu adalah sesuatu yang bersifat ekslusif antara seorang hamba dan Tuhannya. Karenanya di saat seorang calon akan masuk Islam, perhatian utama keislamannya bukan pada pernikahannya. Tapi pada proses yang bersangkutan menerima hidayah Allah. Pernikahan yang akan terjadi hanya bonus dan bukan motivasi dasar bagi seseorang untuk masuk Islam.
Ketiga, dalam menilai agama seseorang yang perlu menjadi acuan adalah pelaksanaan aturan-aturan formal dari agama itu. Dalam agama Islam inilah yang disebut Syariah (Hukum Islam). Hal-hal yang berkaitan di luar (beyond) itu adalah urusan pribadi antara seorang hamba dan Tuhannya. Karenanya ketika seseorang telah bersyahadat, lalu menikah dengan seorang wanita Muslimah, tak seorang pun yang bisa menghakimi hatinya.
Keempat, dalam pengalaman yang cukup panjang dan tidak sedikit yang Allah telah tunjuki melalui usaha kecil ini saya mendapatkan bahwa mereka yang menerima Islam di kemudian hari dalam hidupnya (converted) pada umumnya lebih kuat dalam komitmen Islamnya dari kita yang terlahirkan dari ayah-ibu yang Muslim. Hal itu karena mereka memang mempelajari, menghayati, bahkan merasakan dan menyadari sebelum masuk ke dalam agama ini.
Kelima, adanya penilaian negatif tentang iman/Islam orang lain biasanya karena didasari oleh perasaan lebih beragama bahkan lebih suci. Perasaan seperti ini sendiri sesungguhnya bagian dari pintu syetan yang jelas menentang peringatan Allah: “wa laa tuzakku anfusakum (jangan sucikan dirimu sendiri). Karena sesungguhnya Allah lebih tahu mana yang bertakwa di antara kalian”.
Poin inti yang ingin saya sampaikan adalah Saudara-Saudara kita yang menerima Islam karena berkenalan dengan wanita Muslimah dan ingin menikah tidak perlu dihakimi niatnya. Do Not be Judgmental!
Jangan-jangan penghakiman anda itu berbalik. Anda yang justeru perlu memperbaiki diri yang merasa paling hebat dalam agama bahkan suci. Sementara mereka masuk Islam sungguh karena kesadaran dan hidayah Allah. Wallahu a’lam! (*)
NYC Subway, 29 Agustus 2022
Shamsi Ali Al-Kajangi
(Presiden Nusantara Foundation)