×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

FROM SYDNEY WITH LOVE: Menyelami Kompleksitas Tradisi Budaya Keluarga Habaib

Saturday, January 7, 2023 | 08:56 WIB Last Updated 2023-01-07T01:57:53Z





Judul : FROM SYDNEY WITH LOVE (Syarifah What is Bothering You)

Penulis : Lubna Algadrie, MA

Penyunting : Irfan Muakki

Penerbit : CV Penerbit Qiara Media, Pasuruan, Jawa Timur

Tahun : 2022

Tebal : 78 halaman


 


Ini novel menarik karena mengangkat tema yang tidak mainstream. Judulnya “From Sydney with Love (Syarifah What Is Bothering You)”. Ya, masih belum banyak kisah fiksi yang mengangkat budaya dan kehidupan keluarga Arab habaib di negeri ini. Maka, melalui novel buah karya Lubna Algadrie ini kita bisa sedikit mengintipnya dan mendapatkan tambahan cakrawala pengetahuan. 


Apalagi dalam buku ini, budaya tersebut diramu dalam setting dunia global di Australia, sehingga problem “cross cultural”nya jadi terasa kompleksitasnya.  Kabarnya, novel ini sedang diminati seorang produser, jadi ada kemungkinan bakal diangkat menjadi film layar lebar. 


Seperti diketahui, sebagian besar ulama pria Arab yang datang ke Nusantara bergelar sayid atau syarief, atau syarifah dan sayidah untuk yang perempuan. Gelar syarief/syarifah disematkan bagi keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayidina Hasan. Sedang sayid/syayidah dari jalur Sayidina Husin bin Abi Talib yang menikah Siti Fatima, putri Rasulullah. 


Sebagian besar dari mereka masih berpendirian bahwa menjaga pertalian keluarga berdasar hubungan darah (nasab) merupakan kewajiban. Seorang syarifah seharusnya bersanding dengan seorang sayid. Ini pasangan yang sepadan, se’kufu’, supaya martabat keluarga sebagai habaib terpelihara. Jika melanggar, perempuan syarifah harus rela melepas nasabnya, tidak berhak lagi menyandang gelar marga di belakang nama putra-putri yang dilahirkannya.


Sikap keluarga habaib ini tergambar dalam tokoh Aba, yang senantiasa berpesan kepada putri sulungnya, Syarifah Fatima (Iffah). “Jagalah marga kita sebagai keturunan Rasulullah,” kata Aba. Demikian juga dengan Umi yang menggariskan pesan tegas, “Jangan lupa kamu seorang syarifah. Kamu harus menikah dengan seorang sayid atau syarif. Kalau tidak, apa nanti kata keluarga besar kita?” (hlm 10).


Maka Iffah, tokoh sentral dalam novel ini,  menjalani hidup dalam lingkaran-lingkaran labirin yang tidak dikehendaki sekaligus sulit dihindari. Dia kadang merasa terlalu banyak dibatasi oleh aturan-aturan yang hampir sulit dicerna. Cinta pertamanya bersama Kapten Hermana pun kandas. Bahkan kemudian Iffah jadi gamang untuk memaknai apa itu cinta.  


“Setiap aku menyukai seseorang ada saja penghalang yang memangkas tunas yang akan tumbuh. Cintaku tidak pernah tumbuh dengan baik. Aku jadi terbiasa belajar melupakan orang-orang yang aku sukai, karena Aba selalu mengatakan: simpan cintamu untuk seorang sayid,” katanya (hlm 63).


Iffah sudah mencoba menuruti aturan keluarga besarnya. Tetapi bagaimana seorang Syarifah Fatima, M.A. mudah mendapatkannya, ketika sayid yang dikenalinya biasanya agak alergi dengan perempuan pintar? Sementara Iffah selalu jadi juara kelas ketika sekolah. Malah ketika kuliah S2 di Universitas Sydney jurusan languistik, gadis ini masuk dalam jajaran the top five. 


“Ketika begitu banyak pria mendekatiku, para sayid malah lari menghindar, atau malah pamer bahwa mereka idola para gadis, dan bisa menggaet siapa saja yang mereka sukai karena merasa cakep, keren, dan umumnya kaya,” kata Iffah curhat kepada David, teman kuliahnya, suatu ketika. 


Meski berada dalam kungkungan budaya yang ketat, Iffah masih memiliki banyak relasi pertemanan, karena  lingkung pergaulan yang luas. Salah satunya adalah David, teman sekelasnya di kampus Sydney.  Karena sering berkegiatan bersama, tumbuhlah bibit-bibit suka di antara keduanya. David yang serius ingin meminang jadi bingung dengan sikap pujaan hatinya --yang menurutnya-- very mysterious dan sulit dimengerti. 


David kemudian menjadi mualaf dan mengubah nama menjadi Daffah. Tapi dia berharap Iffah tetap memanggilnya dengan sebutan David, Kenapa? Dia bilang, lafal Iffah jika menyebut namanya persis seperti mamanya memanggil dia. “Dia juga sudah sunat, lho, ” bisik Mbak Salam kepada Iffah. Masak? 


Penulis Lubna Algadrie cukup cerdik dalam membina klimaks cerita. Pada setiap bab demi bab, dirinya memasukkan selapis demi selapis problem dan konflik baru sehingga pembaca menjadi kepo untuk terus mengikuti cerita hingga tamat. Gaya dan bahasa ungkapnya terasa cepat, efisien, dan khas. Ibarat musik mungkin bertempo staccato. 


Tetapi dia tetap tidak abai dengan detail-detail saat menggambarkan latar belakang lokasi cerita.  Dideskripsikan tentang tanaman jakaranda di sudut Quadrangle saat berbunga. Pohonnya nyaris tanpa daun, penuh dengan bunga warna ungu yang cantik sekali. Masuknya sejumlah percakapan keseharian dalam bahasa Inggris membuat dialog menjadi terasa nyata. 


Boleh jadi ini karena sang penulis adalah pakar languistik, dosen bahasa inggris, dan pernah menjadi Kepala Pusat Bahasa ITS, sebelum pensiun dulu.  Seringnya belajar di luar negeri kiranya juga turut mewarnani cara bertuturnya, yang tidak lagi seperti lazimnya warga Indonesia.


 “Kami makan malam di restoran seafood di The Rock. Dan Kami sempat berebut untuk membayar. Tapi dia bersikeras, akhirnya aku mengalah.” (hlm 23). 

“Sopir bus bertanya mau turun di mana. Aku bilang di Central Station. Sopir itu bertanya apa aku dari Filipina, aku jawab bukan, aku dari Indonesia.” (hlm 27).


Lalu bagaimana keputusan Iffah di ending cerita? Apa dia gigih memperjuangkan cintanya dengan David dengan risiko nasabnya akan terputus? Apa dia nanti sanggup mengatasi benturan budaya ketika berumah tangga dengan orang bule? Atau  Iffah menurut nikah dengan Syarief Hamid, pilihan orang tuanya, meski dia juga belum yakin apa bakal mampu menoleransi tabiat calon suaminya yang sudah diketahui itu? Silakan dibaca novelnya. (adrionomatabaru.blogspot.com)





×
Berita Terbaru Update