×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Polemik Biaya Haji 2023 Rp 69 Juta, Zainal Abidin Ingatkan Isthito'ah dan Transparansi Penggunaan Dana Haji

Thursday, February 2, 2023 | 10:02 WIB Last Updated 2023-02-02T03:02:02Z


Haji Zainal Abidin SE


HAJIMAKBUL.COM - Polemik terkait usulan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1444 H/2023 M yang naik menjadi Rp 69 juta terus berlanjut. Salah satunya terlihat dalam program Fokus Terkini TVRI nasional Rabu malam.  


Dalam acara itu terungkap soal cara penetapan skema biaya haji dengan istilah 70% dan 30%. Lalu muncul istilah yang 30% sebagai subsidi silang yang dananya diperoleh dari  nilai manfaat, yang sebenarnya hal itu total untuk seluruh jamaah  secara komulatif.


Direktur Utama Atria Tour & Travel, Haji Zainal Abidin SE, kepada DutaIndonesia.com, Kamis (2/2/2023), mengaku memantau acara di TVRI Nasional tersebut. Soal skema biaya haji, dia menilai sudah dikritisi oleh Prof Dr H M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA., Ketua  Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Fatwa. Intinya, skema itu maal praktik sebab menggunakan hak jamaah lain. Artinya skema itu tidak syar'i. Dan rupanya ini sudah berlangsung lama.

"Lalu mengapa DPR yang katanya menjalankan fungsi pengawasan, kok salah sasaran dalam mengkritisi (fungsi pengawasan) dan advokasi untuk kepentingan jamaah calon haji yang mereka perjuangkan? Sehingga muncul komentar masyarakat, " jangan naik-lah sebesar itu, kasihan masyarakat". Pertanyaannya bagaimana jika jumlah quota haji secara global meningkat 2 - 3 kali lipat sesuai misi KSA (Kerajaan Saudi Arabia) 2030, di mana quota haji akan mencapai 10 juta. Siapkah kita merespon positif tawaran tersebut? Sementara skema pembiayaannya dengan pola subsidi silang (gotong royong)?" kata Zainal Abidin.


Seharusnya, kata dia, DPR membela kepentingan seluruh jamaah baik yang berangkat pada  tahun berjalan maupun waiting list. Tapi justru kenaikannya yang dikritisi. Padahal itu realistis berdasarkan komponen biaya yang dapat dibuktikan.


"Seharusnya yang ditetapkan biaya penyelenggaraan. Yang harus dibayar oleh jamaah. Bukankah jamaah memiliki virtual account masing-masing, mestinya nilai manfaat masing-masing jamaah yang tentunya dapat diketahui sewaktu-waktu oleh jamaah dan tentunya tidaklah sama antara satu dengan yang lain. Ini tergantung dari lamanya dana jamaah yang mengendap. Sehingga ketika penetapan biaya haji pada tahun berjalan, masing-masing jamaah pasti tahu berapa kekurangannya masing-masing setelah tahu jumlah uangnya di virtual accountnya tersebut," katanya. 


Sehingga sah dan wajar jika jamaah terkait menunda keberangkatannya karena pertimbangan biaya yang mereka miliki belum mencukupi. Bukankah sudah disyaratkan bahwa berhaji itu bagi yang istitho'ah!? 


Syarat istitho'ah itu mampu, baik secara finansial (biaya haji) maupun kesehatan baik fisik maupun ruhaninya. Bagaimana kalau dananya kurang? Tentu calon jamaah haji itu belum masuk kriteria wajib sehingga bisa menundanya sampai mampu secara finansial tersebut.


Maka Zainal Abidin pun mengingatkan  bahwa sebenarnya yang diharapkan oleh masyarakat adalah transparansi dalam pengelolaan keuangan haji. Bukan subsidi. "Karena syarat berhaji adalah istitho'ah tadi," katanya.


"Jika sepakat mari kita mengusulkan kepada para pihak terkait agar distribusi nilai manfaat dari dana jamaah calon haji yang dikelola oleh BPKH menjadi lebih transparan dan distribusinya juga secara proporsional (bukan subsidi silang)," katanya. 


Istitho'ah Kesehatan


Seperti diketahui ibadah haji menjadi kewajiban bagi muslim yang sudah mampu atau istithoah. Selain memiliki bekal yang cukup secara finansial untuk beribadah haji, aemaah juga harus memenuhi istithoah secara kesehatan.


Akademisi yang juga praktisi kesehatan, dr. Agus Taufiqurrahman, menjelaskan bahwa terkait istithoah kesehatan, jamaah bisa dibagi dalam empat kelompok.


Pertama, jamaah yang memenuhi kriteria istitho'ah. Jamaah dalam kategori ini tidak memiliki masalah kesehatan untuk menjalankan ibadah haji.


Kedua, jamaah yang memenuhi syarat istitho'ah, tapi dengan pendampingan.  "Masuk dalam kategori ini adalah jamaah risti (risiko tinggi). Yaitu, mereka yang usianya lebih 60 tahun dan menderita kelompok penyakit tertentu sehingga bisa berangkat dengan pendampingan," jelas dr. Agus pada Mudzakarah Perhajian Indonesia di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo.


Menurutnya, ada tiga kriteria pendampingan, yaitu orang yang bisa mengantarkan, obat-obatan yang rutin diminum (hypertensi), atau alat-alat kesehatan yang harus disertakan.


"Jamaah kelompok ini sangat banyak. Perlu dipilih. Dimungkinkan ada rekomendasi untuk membentuk kloter khusus yang perlu pendampingan sehingga petugasnya khusus, baik petugas kesehatan maupun pembimbing ibadah, agar kondisi ini bisa teratasi," jelas dr Agus.


Ketiga, jamaah tidak memenuhi kriteria istitho'ah dalam kurun waktu tertentu. Artinya, jika beberapa hal yang dipersyaratkan sudah terpenuhi, dia bisa masuk kategori istitho'ah.


Jamaah seperti ini disebut juga dengan kondisi istitho'ah bersyarat. Misalnya, jamaah haji yang belum vaksin maningitis. "Jika dia sudah vaksin, maka memenuhi syarat istithaah dan bisa berangkat," sebutnya.


Contoh lainnya, jamaah sakit yang harapan kesembuhannya jelas. Sehingga, jika sembuh dibolehkan berangkat. Misalnya, penderita TBC yang belum parah karena masih ada obat yang bisa diberikan, penderita diabetes yang masih bisa dikontrol, dan stroke yang punya potensi perbaikan.


Contoh lainnya lagi adalah jamaah yang terkena penyakit menular yang berpotensi menjadi wabah, misalnya: SARS, Mers, Covid. "Begitu negatif, boleh berangkat," jelas dr Agus.


"Gangguan jiwa ringan juga masuk kategori ini. Ini ada potensi sembuh," sambungnya.


Keempat, jamaah yang tidak memenuhi syarat istithoah kesehatan haji. Kondisi ini misalnya, jamaah dengan kondisi klinis yang jika melakukan aktivitas dalam kondisi tertentu akan mengancam jiwa. 


Misalnya, jamaah yang paru-parunya sudah tidak berfungsi dengan baik, gagal jantung studium empat, dan gagal ginjal kronik studium empat yang menjadikannya harus cuci darah rutin. 


Termasuk kategori ini, jamaah yang mengalami gangguan jiwa berat, sehingga menjadikan dia tidak bisa mengenali diri sendiri. Contoh lainnya adalah jamaah yang memiliki penyakit keganasan studium akhir. Misalnya, kanker dalam studium akhir yang sudah menjalar ke banyak organ.


"Jika jamaah sudah masuk kriteria di atas, dia tidak diberi kesempatan melakukan pelunasan, tidak diberi surat pemanggilan masuk asrama haji, tidak diperkenankan mendapat vaksin meningitis,"tandasnya. (gas/kmg)


×
Berita Terbaru Update