HAJIMAKBUL.COM - Pemerintah dan DPR menyepakati Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh jamaah haji tahun 2023 sebesar Rp 49,81 juta atau 55,3% dari total biaya penyelenggaraan haji. Adapun, sisanya Rp 40,23 juta atau sebesar 44.7% ditanggung oleh dana penyelenggaran haji. Kesepakatan ini diketok dalam rapat antara Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Kementerian Agama (Kemenag), Rabu (16/2/2023) malam.
Bipih alias biaya yang dibayar jamaah ini lebih rendah dari usulan pemerintah lewat Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang mengusulkan biaya haji tahun ini menjadi Rp69,19 juta atau sebesar 70%.
Yang perlu diketahui, pembiayaan dan pengelolaan dana haji di Tanah Air selalu penuh dinamika. Salah satu tantangannya adalah kondisi nilai tukar dolar AS yang naik turun yang juga semakin menambah sulit penetapan harga BPIH. Pasalnya, dolar AS menjadi patokan mata uang dunia.
Sementara itu, sejak pertengahan 2022, pergerakan dolar AS cukup fluktuatif akibat pengetatan moneter di Negara Paman Sam.
Profesor Keuangan Universitas Padjadjaran Dian Masyita juga menjelaskan peliknya dinamika pengelolaan dana haji di Indonesia, mengacu pada kondisi portofolio investasi dana haji.
Mengutip CNBC Indonesia, dalam artikel itu, Dian menilai, dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memang harus ditempatkan di tempat investasi yang aman. Oleh karena itu, pemilihan investasi yang rendah resiko tentunya akan menghasilkan keuntungan yang rendah pula. Itulah mengapa nilai manfaat kelola dana haji sulit untuk berkembang hingga 2-3 kali lipat.
"Portofolio investasi untuk dana-dana seperti haji ini tentu harus dijaga keamanannya sehingga tidak mudah memilih portofolio seperti instrumen lainnya," kata Dian, Kamis (16/2/2023).
Selain itu, kondisi ekonomi di Arab Saudi sangat berpengaruh. Dalam komponen biaya haji, terdapat biaya penerbangan dan layanan Masyair (biaya untuk prosesi ibadah haji selama di Arafah, Mina, dan Muzdalifah selama empat hari) yang harganya sangat dinamis. Ini juga diperparah dengan biaya akomodasi, katering, dan transportasi yang naik tinggi.
"Pola inflasi Saudi tinggi, juga kita tidak tahu apa kebijakan lebih lanjut, tapi ini subject to efficiency jadi biaya akomodasi, katering, itu variabel yang masih bisa diefisienkan," ungkapnya.
Kendati demikian, biaya penerbangan dan biaya masyair itu seharusnya masih bisa dinegosiasikan. Penyelenggara haji dapat menegosiasikan biaya dengan Garuda Indonesia yang juga merupakan perusahaan milik negara. Sedangkan untuk biaya layanan masyair, dia juga melihat ada peluang untuk diturunkan.
"Kemudian biaya penerbangan, subject to negotiation, bisa berbagi beban dengan Garuda Indonesia, kemudian layanan masyair, subject to lobbying, bagaimana bisa harganya diturunkan," katanya.
Selain itu, dana Bipih masih bisa diefisiensikan dari sisi konsumsi, transportasi, dan akomodasi sehingga jumlah BPIH yang ditetapkan bisa lebih rendah dari usulan.
Begitu juga uang saku jamaah haji, menurut Dian, hal tersebut masih bisa disesuaikan sesuai kondisi keuangan dana haji, dalam kata lain masih bisa dikurangkan untuk menurunkan BPIH.
Hal ini belum komponen biaya baik di Bipih dan BPIH yang mencakup biaya pelayanan persiapan haji di dalam negeri, termasuk pendampingan paspor dan lain sebagainya. (cnbci)