SAAT mengunjungi saudara yang akan berangkat haji, sempat muncul guyonan. Pasalnya, saudara yang hendak berhaji ini dikenal sebagai Nahdliyin alias warga Nahdlatul Ulama (NU). Sementara yang bertanya selama ini dianggap warga Muhammadiyah.
"Opo awakmu nanti kalo salat Subuh di Masjidil Haram yo qunut? (apa kamu nanti salat Subuh di Masjidil Haram juga qunut)," kata saudara Muhammaddiyah kepada calon haji yang NU.
"Yo iyo seh. Yo mesti....(ya tentu saja)," katanya tangkas. Dan semua yang hadir pun tertawa.
Hal paling umum di antara NU dan Muhammadiyah yang menjadi guyonan dan kadang berbau debat adalah soal qunut. Masih banyak perbedaan lain, tapi qunut seakan jadi ikon perbedaan Muhammadiyah dan NU, meski sekarang sudah mencair. Warga NU dan Muhammadiyah menganggap perbedaan itu sebagai rahmat. Bila adu argumen biarkan masuk wilayah ilmu. Bukan konflik. Bukan Politik.
Warga Muhammadiyah memang tidak akan membaca doa Qunut ketika Sholat Subuh, sementara orang NU sudah pasti membaca doa qunut. Namun KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha memberi penjelasan soal perbedaan itu yang sebenarnya bukan terkait NU dan Muhammadiyah. Perbedaan itu sudah terjadi jauh sebelum Muhammadiyah dan NU didirikan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari.
Menurut Gus Baha, perbedaan fiqih tersebut adalah hal yang biasa dalam Islam. Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA ini menyebut perbedaan NU dan Muhammadiyah hanya berbeda pandangan fiqih. Ya seperti soal qunut dalam Sholat Subuh. Muhammadiyah, kata Gus Baha, mengikuti pendapat fiqih Imam Abu Hanifah yang tidak qunut saat sholat subuh, sedangkan NU mengikuti pendapat Imam Syafi'i yang qunut saat sholat Subuh.
"Kita juga sepakat dengan ilmunya, kita tahu Imam Abu Hanifah itu tidak qunut, Imam Syafi'i itu qunut. Tidak qunut itu mazhabnya Imam Abu Hanifah bukan mazhabnya Mbah Ahmad Dahlan, kita (NU) qunut mazhabnya Imam Syafi'i bukan mahzhabnya Mbah Hasyim," kata Gus Baha dalam satu ceramahnya.
Gus Baha berpendapat, gesekan-gesekan antara NU dan Muhammadiyah karena membawa identitas dalam memandang perbedaan. Padahal menurut Gus Baha tokoh-tokoh terdahulu dua ormas mengedepankan dialog ilmu, sehingga saling memahami perbedaan.
"Dulu itu tidak ada masalah, karena semua dianalisis dengan ilmu. Sekarang pakai identitas, tidak qunut itu Muhammadiyah, yang qunut itu NU. Kan jadi repot. Dulu itu kita pengagum NU, bukan pengagum perbedaan," ucap Gus Baha. Simak videonya di link bawah ini.