Oleh Imam Shamsi Ali*
KATA haji itu sendiri sesungguhnya sangat unik. Arti lepasnya adalah “melakukan safar atau perjalanan ke tempat yang jauh”.
Namun jika kita lihat lebih dekat lagi, kata ”hajj” (ح ج ج) ternyata melahirkan beberapa makna.
Kata haji itu berasal dari kata ”hajja” tadi minimal mengahasilkan dua makna: Bisa membawa kepada ”hajja-yahijju-hajjun”. Atau “hajja-yahijju-hijjun”.
Yang pertama adalah “Hajjun” (dengan haa fatha) adalah bentuk mashdar atau asal kata itu sendiri. Sementara “hijjun” (dengan haa kasrah) itu adalah bentuk ism atau kata benda dari amalan ini.
Tapi yang lebih menarik lagi adalah kata “hajja” juga bisa menghasilkan: “hujjatun” (dengan haa dhomma).
Hujjatun dalam bahasa Arab kita kenal bermakna dalil, alasan, dan argumen. Tapi juga bisa bermakna tanda atau pembuktian.
Jika bentuk pertama (hajjun dan hijjatun) lebih menggambarkan makna kasat dari haji, maka “hujjatun” cenderung menggambarkan makna hakiki dari haji.
Hajjun atau hijjun dalam ”syariah” berarti melakukan perjalanan ke tujuan yang jauh (ke tanah suci) untuk melakukan ritual Ibadah karena Allah SWT.
Penggambaran makna ini diekspresikan dalam bahasa Al-Quran dengan kalimat: “ya’tuuka rijaalan wa ’alaa kulli dhoomir, ya’tiina min kulli fajjin ‘amiiq”.
Bahwa jamaah dalam memenuhi panggilan haji itu ”akan datang ke tanah suci dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta-onta yang jinak. Dan mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh”.
Semua hal yang relevansinya dengan “hajjun wa hijjatun” ini berada pada ruang lingkup pembahasan fiqh haji. Yaitu tatacara atau aturan melaksanakan haji. Atau lebih mayshur dengan istilah “manasik haji”.
Sementara kata ”hajja-yahujju-hujjatun” lebih banyak berhubungan dengan makna-makna spiritual atau hakiki dari pelaksanaan ibadah haji. Sesuatu yang ketika berbicara tentang ritual dalam Islam banyak terlupakan (ignored).
Haji disebut hujjatun yang berarti dalil, alasan, bukti dan pembenaran dimaksudkan bahwa haji adalah penutup dari rangkaian rukun Islam. Sebuah kewajiban sekali dalam hidup manusia. Maka melaksanakannya sekaligus merupakan sebuah komitmen pembuktian akan kesempuranaan seseorang dalam berislam.
Tidak mengherankan jika figur sentra dari seluruh rangkaian ritual ibadah haji adalah Ibrahim AS. Karena beliaulah sosok figur yang dikenal telah menyempurnakan semua perintah Allah: “dan ingatlah tatkala Ibrahim diuji dengan kalimat-kalimat oleh Tuhannya, maka dia menyempurnakan semuanya”.
Ibrahim dikenal sebagai ”penghulu monoteisme”. Dalam bahasa agama beliau dikenal sebagai ”abul ambiya”. Bapak para nabi.
Ibrahim AS juga merupakan sosok yang telah menjadi ”uswah” dalam perjalanan menuju kepada kesempurnaan Islam. Mulai dari proses mencari tuhan yang sebenarnya hingga pengorbanan tanpa pamrih dalam pengabdian dan ketaatan kepada Rabbul alamin.
Maka sangat wajar jika kemudian dalam Islam Ibrahim AS dikenal sebagai orang pertama yang digelari secara formal sebagai ”Muslim” (dialah yang menamaimu sebelumnya sebagai Muslim).
Tentu penobatan gelar “Muslim” yang maksud bukan pada pemahaman Universal. Karena secara Universal semua manusia diyakini terlahir Muslim. Dan semua nabi dan rasul adalah pembawa risalah Islam.
Tapi bagi Ibrahim kata Muslim di sini adalah penyebutan “institutional”. Itulah yang diabadikan dalam Al-Quran: ”huwa samaakumul muslimiina min qabl”. Bahwa sebelum Muhammad SAW atau sebelum Al-Quran, Allah SWT memberikan gelar “muslim” pertama kali kepada Ibrahim AS.
Bahkan dengan tegas Al-Quran menegaskan: ”Ibrahim bukan Yahudi, tidak juga Nasrani. Tapi seorang Muslim yang hanif”.
Semua realita itulah yang menjadikan ibadah haji terkait erat dengan Ibrahim AS. Sebab sekali lagi haji menjadi amalan sekaligus pembuktian akan kesempurnaan Islam sebagaimana telah dibuktikan oleh Ibrahim AS.
Tentu yang lebih penting lagi, haji dimaknai sebagai “hujjah” (pembenaran) karena dengan haji seorang Mukmin membuktikan keislamannya. Tentu dengan harapan bahwa kelak ketika meninggal dunia, sang haji dengan haji mabrurnya dapat membuktikan bahwa dia memang meninggal dalam keadaan Muslim.
Sebagaimana diingatkan oleh Al-Quran: ”wa laa tamutunna illa wa antum Muslimun” (janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Muslim)”.
Itu pula yang dijanjikan oleh baginda Rasulullah SAW: ”haji mabrur balasannya tiada lain kecuali syurga”.
Semoga jamaah haji kita dikarunia haji yang mabrur. Amin! (*)
Makassar City, 27 Juni 2023
* Presiden Nusantara Foundation