×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Meneladani Ibrahim AS dalam Pengabdian dan Kepemimpinan (Bagian 2)

Wednesday, June 21, 2023 | 06:36 WIB Last Updated 2023-06-20T23:36:14Z




 Ketauladanan dalam proses hidayah


Ketauladanan pertama dari sejarah perjalanan hidup Ibrahim AS adalah bahwa dalam proses menemukan “mutiara iman” diperlukan pencarian yang sungguh-sungguh. Tapi dengan kesungguhan dua instrumen yang Allah berikan kepada manusia: akal dan hati. 


Kesungguhan hati itulah yang diekspresikan dalam Al-Quran: 


والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين. 

"Dan mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsinin”. 


Tapi manusia juga diciptakan dengan daya nalar. Karenanya pada diri manusia ada “kuriositas” (keingin tahuan) yang tinggi. Karenanya proses menemukan hakikat iman memerlukan rasionalitas yang tajam pula. Kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim di tengah rimba kuriositasnya (keingin tahuan) itu dikisahkan secara cantik dalam Al-Quran, Surah al-An’am: 76-79.


Dari proses analisa dan pengamatan panjang melalui metode “at-tafkiir fil-khalq”, dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari, pada akhirnya mengantar Ibrahim AS sampai kepada kesimpulan:


اني وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين 

"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang mencipatakan langit dan bumi, menerima agama yang lurus. Dan aku tidaklah Aku termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya”. 


Maka keyakinan bukanlah perasaan atau bentuk emosi semata. Tapi sebuah kemantapan jiwa melalui cerna rasionalitas yang kokoh. Keimanan yang dilandasi oleh rasa emosi semata akan melahirkan karakter keagamaan yang sempit, dan kerap kali melahirkan prilaku emosional, bahkan irrational yang destruktif.


BACA JUGA:


Idul Adha dan Meneladani Ibrahim AS dalam Pengabdian dan Kepemimpinan (1) 


Di sinilah rahasianya kenapa ayat-ayat pertama Al-Quran yang diwahyukan kepada baginda Rasul adalah perintah untuk memaksimalkan daya nalar. Perintah membaca: اقرأ. 

 Rasionalitas sesungguhnya memang menjadi salah satu karakter ajaran Islam, sekaligus kunci kekuatannya. Dengan pemikiran dan rasionalitas yang luas akan tumbuh “al-yaqiin” atau keyakinan hati yang solid.


Suasana hati dengan keyakinan seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Quran: 


“كشجرةطيبة اصلها ثابت وفرعها في السماء تؤتي أكلها كل حين باذن ربها 

bagaikan pohon yang bagus, akarnya menghunjam ke dalam tanah, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya. 


Sungguh di zaman sekarang ini umat dituntut untuk membangun keseimbangan “iman” dan  “rasionalitas”. Berbagai prilaku destruktif yang terjadi akhir-akhir ini seringkali disebabkan oleh emosi yang terimbangi oleh pemikiran yang rasional. 


Keimanan yang solid melahirkan kekuatan dan kematangan hidup. Rasionalitas berpikir yang sehat melahirkan kedewasaan dan kebijaksanaan (hikmah) dalam berpikir dan bersikap. Saya sangat yakin, bangsa dan dunia kita saat ini memerlukan manusia-manusia seperti ini. 


Mereka itulah manusia-manusia “Ulul al-baab”. Solid dan mapan hatinya, tajam daya nalarnya. Mereka ini yang digambarkan dalam Al-Qur’an: 


الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض. 

"Mereka yang mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dan mereka yang memikirkan ciptaan Allah, baik yang di langit maupun yang dibumi”. 


Ujian dan kematangan hidup


Ketauldanan kedua dari Ibrahim AS adalah bahwa hidup ini merupakan perjalanan dari satu titik ke titik yang sama. Bagaikan tawaf, berputar berkeliling dengan irama dan tujuan yang sama. Namun perlu diingat, Ka’bah harus selalu menjadi sentra perputaran itu. 


Allah harus menjadi pusat perputaran hidup manusia. Kaya atau miskin Allah menjadi pusat kehidupan. Kuat atau lemah Allah menjadi pusat kehidupan. Merasakan kemudahan atau kesulitan hidup Allah tetap menjadi pusat kehidupan.


Ibrahim AS sendiri menegaskan bahwa dirinya terus bergerak menuju kepada Allah: 


اني ذاهب الي ربي

"Sesungguhnya aku berjalan menuju Tuhanku”


Realita hidup yang demikian menuntut kematangan atau kedewasaan dalam menjalaninya. Tanpa kedewasaan manusia akan menjadi “cengeng” dan lemah. 


Untuk menumbuhkan kematangan dan kedewasaan hidup itulah manusia akan ditempa dengan berbagai ujian. 


Di sinilah Ibrahim AS tampil sebagai sosok tauladan yang sangat luar biasa. Ibrahim AS mengalami tempaan itu dari awal perjalanan hidupnya hingga mencapai puncak kematangannya. 


Ragam bentuk ujian yang Allah SWT berikan kepada Ibrahim AS itu bukan karena ketidak sukaan. Tapi karena kecintaanNya kepadanya. Ibrahim AS sendiri adalah sosok hambaNya yang “khalilullah” (kekasih Allah). 


Dari ujian keluarga, ke sahabat, hingga ujian publik dan kekuasaan. Ujian yang bersifat emosional, spiritual keimanan, hingga kepada yang bersifat fisikal dan material. 


Cobaan besar pertama yang Ibrahim harus lalui adalah ketika menyampaikan kebenaran kepada masyarakatnya.  Dengan caranya Ibrahim berjuang menegakkan “Kalimah Tauhid”, beliau ditangkap bahkan dieksekusi dengan hukuman mati.


Tapi kematangan mentalitas dalam keimanan yang  solid itu tidak menjadikannya gentar sedikitpun. Di saat tawaran bantuan para malaikat silih berganti,  semuanya ditampik dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah yang punya kuasa sejati. 


Dengan keyakinan inilah Allah memerintahkan api yang menggunung itu menjadi dingin bahkan  menyenangkan bagi Ibrahim: 


“يا نار كوني بردا و سلاما علي ابراهيم 

(Wahai api, dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim). 


Kuasa Allah berlaku. Api yang panas menjadi dingin bahkan menyenangkan Ibrahim dengan kuasaNya. Sebuah peristiwa yang melampaui daya nalar manusia yang kerap dibatasi oleh segala keterbatasaannya. (Bersambung)

×
Berita Terbaru Update