Oleh Imam Shamsi Ali*
DI hari kedua kunjungan saya ke Balikpapan seharusnya dijadwalkan khutbah di Masjid Agung Samarinda. Hanya saja karena saya juga dijadwalkan hadir di Universitas Balikpapan siang itu saya minta agar khutbah saya hari itu di Balikpapan saja. Maklum perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda memakan waktu dua jam dengan mobil. Sehingga cukup merepotkan ke Samarinda khutbah lalu kembali lagi mengisi acara di Uniba siang itu juga.
Bapak Walikota yang cekatan segera menelepon pengurus Masjid At-Taqwa, masjid seberang kantor Beliau di Balikpapan. Saya pun dijadwalkan khutbah di masjid itu pada Jumat, 7 Juli. Masjid itu cukup besar dan ramai. Maklum memang bersampingan dengan kantor Walikota Balikpapan.
Khutbah saya kali ini fokus pada Urgensi perubahan sebagai esensi yang paling mendasar dari tahun baru Hijriyah yang sedang kita peringati. Dengan tema ini saya ingin sampaikan bahwa peringatan tahun baru bukan sekadar memperingati pergantian waktu. Tapi harusnya dipahami makna dan hikmah dari penetapan Hijrahnya Rasul SAW sebagai awal kalender Islam.
Penanggalan dan Identitas
Salah satu hal yang selalu ditekankan dalam Islam adalah pentingnya umat ini memilki identitas dan jati dirinya. Pergantian kiblat misalnya kembali ke Kakbah (Masjidil Haram) di Makkah dari Masjidil Aqsa di Jerusalem sesungguhnya relevansinya bukan sekadar dalam hal ibadah ritual. Tapi ada penekanan komunal (kolektif) yang sangat penting.
Hal itu dapat disimpulkan dari sejarah perubahan itu. Baik pada konteks keadaan maupun konstalasi kemasyarakatan pada masanya. Keadaan ketika itu menggambarkan keadaan Makkah yang gelap gulita dalam kesesatan dan kesyirikan. Sementara Jerusalem masih digambarkan sebagai pusat nubuwwat (kenabian dan kerasulan). Artinya di sini bukan masalah ritual semata. Tapi ada konteks perubahan situasi kemasyarakatan (komunal).
Itulah yang digambarkan di ayat Al-Quran: “dan kalaupun kamu menyampaikan kepada Ahli Kitab semua tanda (argumentasi) mereka tidak akan mengikuti kiblat kalian. Dan kalian tidak akan mengikuti kiblat mereka” (Al-Baqarah: 145).
Artinya bahwa Kiblat jelas selain sebagai arah dalam melakukan ibadah ritual (sholat) juga harusnya menjadi Kiblat komunal umat. Kiblat komunal yang saya maknai sebagai “identitas komunal” (communal identity) umat.
Demikian pula dengan penanggalan Islam yang dikenal dengan tahun Hijriyah. Penetapan kalender Islam memilki nuansa keumatan yang kental. Bahwa tujuannya bukan sekadar kalkulasi-kalkulasi waktu. Tapi ada yang lebih mendasar dari itu. Bahwa secara kolektif umat ini harus memiliki identitasnya sendiri.
Oleh karenanya ketika Umar Ibnu Khattab, sang Khalifah ketika itu, memutuskan momentum hijrah sebagai awal kalender Islam, pastinya karena beliau ingin meyakinkan bahwa Hijrah merupakan identitas kebangkitan umat secara kolektif. Dengan Hijrah sesungguhnya bermulalah kebangkitan umat secara kolektif.
Esensi Hijrah Itu Perubahan
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah Kenapa Rasulullah SAW Hijrah? Apakah itu karena Makkah memang sudah tidak lagi kondusif untuk melanjutkan kerja-kerja dakwahnya? Apakah Rasul harus pindah karena tantangan-tantangan yang dihadapinya?
Jawabannya pasti bukan. Rasul Allah semuanya tidak akan meninggalkan medan perjuangan karena tantangan. Justru semakin berat tantangan yang dihadapi semakin pula terbangun semangat dan optimisme untuk menang. Perpindahan Rasulullah ke Madinah yang disebut Hijrah itu karena memang Allah telah merancang peristiwa ini untuk menjadi jalan kebangkitan umat secara komunal. Dari Madinah untuk dunia.
Namun ada satu poin penting yang perlu digarisbawahi dari peristiwa ini. Bahwa Hijrah bukan sekadar berpindah tempat tinggal. Tapi esensinya ada pada pergerakan (harokah) dan komitmen perubahan (tahhyiir). Dengan kata lain Hijrah itu lebih dimaknai sebagai melakukan pergerakan (movement) untuk tujuan perubahan dalam hidup dan perjuangan.
Pergerakan dan perubahan menjadi mendasar bagi perjuangan dan Kemenangan. Sebagaimana digariskan oleh Allah SWT: “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”.
Artinya perubahan itu menjadi kunci terjadinya perubahan (pertolongan menuju kepada kebaikan dan pertolongan) dari Allah SWT.
Tiga Perubahan Mendasar
Pada khutbah di Balikpapan ini saya menekankan tiga perubahan penting yang harus dilakukan oleh umat ini demi terwujudnya kebangkitan komunal dan Kemenangan kolektif itu.
Pertama, pentingnya melakukan perubahan cara pandang keimanan dari iman yang pasif ke iman yang aktif. Keimanan pasif yang kita maksud adalah keimanan yang terbatas pada rasa emosi (sentimen) semata. Ada emosi yang di dada. Ada pengakuan di akal. Tapi semua terbatas pada rasa dan pengakuan.
Keimanan seperti ini dikenal dalam hadits dengan “tamanni” (angan-angan) dan khayalan. Sabda Rasul: “keimanan bukan dengan angan-angan dan khayalan. Tapi apa yang tertanam kuat dalam dada dan dibuktikan oleh amal (karya dan inovasi).
Maka perubahan iman pasif ke iman aktif adalah perubahan pemahaman dan karakter keimanan yang bertumpu pada emosi/sentimen menjadi keimanan yang menjadi kekuatan tekad dalam mewujudkan berbagai Karya dan inovasi kehidupan. Seperti yang digambarkan dalam Al-Quran dengan “bagaikan pohon yang baik. Akarnya tertanam kokoh ke dalam tanah, dahannya tinggi ke atas langit dan memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya”.
Kedua, pentingnya umat ini melakukan perubahan pada cara pandang (mindset) tentang kehidupan. Akal pemikiran yang paham tentang kehidupan dengan pemahaman yang tepat. Di antaranya memahami bahwa kehidupan ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah ke berbagai ruang yang berbeda.
Tapi pada khutbah kali ini saya tekankan pentingnya membangun “mindset” atau cara pandang yang terbarukan tentang dunia dan kehidupan kita. Satu di antaranya yang penting adalah pentingnya menyadari bahwa dunia kita saat ini adalah dunai global yang bercirikan, di antaranya, kompetisi yang ketat. Bahwa manusia baik pada tataran kehidupan pribadi maupun kolektif tidak bisa menghindari kompetisi kehidupan dalam segala lininya.
Karenanya umat harus paham dan sadar. Tapi yang terpenting harus bersiap untuk menjadi bagian dari kompetisi dan menang. Jika tidak, maka umat hanya akan jadi penonton dan para akhirnya hanya jadi obyek dan korban kompetisi dunia global saat ini.
Ketiga, pentingnya umat ini melakukan perubahan perilaku dan karakter. Bahwa salah satu krisis keumatan saat ini adalah krisis ketauladanan. Manusia di berbagai belahan dunia saat ini sedang mencari ketauladanan itu.
Karena umat ini ditakdirkan menjadi umat tauladan (khaer ummah) atau umat terbaik maka harusnya umat melakukan pembenahan agar pada dirinya ada karakter dan perilaku yang menjadi tauladan bagi dunia. Ketauladanan itu bukan saja pada tataran individual (personal). Tapi juga yang penting adalah urgensi umat ini membangun ketauladanan pada tataran kehidupan kolektif. Baik pada tingkatan kebangsaan (nation) maupun pada tataran global keumatan.
Umat Islam Indonesia
Pada akhri khutbah ini kembali Saya menyampaikan pertanyaan retoris. Sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar dunia, di mana dan apa seharusnya peranan Indonesia?
Jawabannya adalah sebagai bangsa dengan penduduk terbesar Muslim dunia harus kita berada di garis terdepan untuk mewujudkan ketauladanan itu. Dan karenanya diperlukan komitmen Hijrah atau perubahan tadi.
Dengan semangat Hijrah dengan perubahan yang menjadi esensinya, Umat Islam Indonesia harus mampu berbenah diri menjadi lebih baik. Melakukan transformasi iman dari keimanan yang bersifat pasif kepada keimanan yang aktif dan berkarakter pohon yang baik. Solid mengakar, tinggi dalam karakter dan karya, dan dengan kontribusi nyata dalam kehidupan dan peradaban.
Senang dan bahagia karena di Jumatan kali ini saya dibersamai oleh Walikota Balikpapan dan Panglimata. Keduanya adalah figur Istimewa baik pada lini kebangsaan maupun keumatan. Semoga Allah menjaga. Amin! (*)
NYC Subway, 11 Juli 2023
* Presiden Nusantara Foundation